"Itu realitas kyai", ucap hud-hud meyakinkanku. "Aku perwujudan merpati yang bersarang dicelah-celah batu bersama pasanganku. Berkat Allah swt pasanganku bertelur. Kami saksi hidup bersama laba-laba dengan tebaran jaring menutup mulut gua".
Hud-hud terbang pindah hinggap dipagar besi. Semakin siang perbincangan kami kian mendalam. Panas matahari dengan tiupan angin selatan memenuhi tanah lapang. Orang-orang menyelamatkan diri dengan beteduh dibawah beringin kurung. Pengasuhku leyeh-leyeh meletakkan badan dikursi panjang.
Sebuah mobil berhenti. Keluarlah pria setengah baya bersama sopirnya membawa bingkisan sekarung jagung dan kangkung segar.
"Pengikutmu datang, kyai". Hud-hud hinggap dipunggungku. Aku menyambut mereka. Mereka menyodorkan hasil hasil bumi. Dengan nikmat aku santap pemberiannya. Siang itu memaksa aku lahap.
"Kultus individu. Manusia telah me-tuhan-kanmu kyai. Itu syirik". Hud-hud tidak mampu mengendalikan ocehannya. Nafsu makanku tereduksi. Bagai parang menyayat hati.
"Bukan salahku"
"Tapi kyai menikmati", sindirnya.
Ocehannya tajam. Aku menjauhi hidangan. Gerakanku yang tiba-tiba mengagetkan hud-hud hingga ia kelabakan terbang kebingungan.
"Sepertinya kyai Slamet sudah kenyang bos"
"Ia kayaknya". Pria itu memanggil pengasuhku. Terjadi pembicaraan. Pria itu mengeluarkan dompet. Keluarlah lembar-lembar puluhan ribu dan berpindahtangan ke pengasuhku. Tak lama kedua pria itu pergi meninggalkan deru. Pengasuhku tersenyum menang.
"Senyum artifisial", oceh hud-hud. Ia sekali lagi mencoba hinggap ke punggungku. Tapi dengan kasar aku menolak.