Mohon tunggu...
Cerpen

Tokai Watch

16 Juli 2018   22:02 Diperbarui: 16 Juli 2018   22:23 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Buset, buset, kenapa dah tuh orang rame-rame demo di depan kantor kita?"

"Mana, mana"

"Eh iya emang salah apa yak, kita kan bukan kantor pemerintahan"

"Bukan juga rumah pejabat"

"Bukan juga toko martabak!"

"Kita kan cuma pabrik jam! Kok kita yang didemo ya?"

Segerombol massa dengan pakaian warna warni, tidak seragam, berteriak-teriak di depan pabrik jam ternama asal negara tangga, TOKAI WATCH. Massa yang tampak tidak terorganisir tersebut tidak membawa atribut-atribut khas demo, seperti yang biasa dibawa oleh orang-orang yang mau unjuk rasa. Seragam pun tidak, pakaian yang mereka kenakan sungguh heterogen. 

Ada yang pakai pakaian formal, laiknya mau ke kantor; sampai ada yang pakai seragam sekolah SMA. Ini memang anggotanya diambil secara acak atau bagaimana sih, yang lihatnya saja bingung.

"Sudah percuma kalian membodohi kami!"

"Buat apa jualan jam kalau jam nya sendiri pada nggak bisa dipake!"

"Stop menipu kami dengan angka-angka yang pasti! Buktinya sampai sekarang janji ketemu belum terealisasi!"

Sorakan sempat terhenti sebentar, tapi akhirnya lanjut makin keras, saat manajer kantor TOKAI WATCH diumpankan keluar, oleh atasannya tentunya. Mana mau atasan, dan bos-bos, apalagi pemilik, langsung turun tangan menanggapi amuk massa seperti ini. 

Enakan menerima laporan saja nantinya, lalu memberikan jawaban yang diplomatis, dan eksekusinya dibalikin lagi sama manajer perusahaan. Sungguh kasihan para manajer, padahal sudah petantang-petenteng di depan bawahan, tapi nyawanya lah yang paling terancam saat ini.

"Assalam---"

"AH SUDAHLAH NGGAK USAH SOK AGAMIS ANDA PENIPU ULUNG!"

Muka Girsang, si manajer baru, tertekuk masam.

"Ada apa ya bapak-bapak dan ibu demo di sini?"

"OH TAK SADAR MEREKA INI RUPANYA"

"Kalian penipu!"

"Kalian pemberi janji palsu!"

"Saya menunggu 3 jam gara-gara percaya dengan benda yang anda buat!"

Yang tadinya tertekuk masam, muka Girsang mengembung bingung.

"Ini jam buatan kalian kan!"

"Ini juga kan!"

"Ini juga!"

Masing-masing pedemo mengeluarkan jam tangan mereka, yang mampu diidentifikasi Girsang semuanya bermerk perusahaannya. Beberapa dapat dikenalinya sebagai produk KW, tapi tampaknya bukan saat yang tepat untuk mempertanyakan orisinalitas barang di tengah kericuhan seperti ini.

"Kami merasa ditipu. Oleh angka-angka yang ada di jam buatan kalian. Kami merasa banyak kerugian, karena percaya dengan angka-angka yang ada di jam ini!"

"Anak saya terlantar karena saya telat jemput ke sekolah!"

"Saya terlambat datang ke pernikahan mantan saya!"

"Anak saya yang baru lahir tidak langsung diadzankan bapaknya karena saya terlambat!"

Girsang mulai melihat titik terang dari permasalahan. Tampaknya beberapa jam berfungsi dengan tidak seharusnya, sehingga beberapa dari peunjuk rasa ini mengalami keterlambatan untuk datang ke agenda masing-masing.

"Ooh jadi bapak ibu mau komplain atas produk kami yang rusak, kalau begitu kami bisa gan---"

"Dasar keturunan ular beludak! Makanya dengar sampai selesai!"

"Iya!"

"Kami bukan mau komplain soal produk. Kami mau komplain soal angka-angka di jam ini! Semuanya menipu dan tidak tepat, iya kan bapak, ibu!"

"Iya!"

"Jahanam! Brengsek!"

Apa memang matanya yang merabun secara dini, atau otak para pedemo ini yang mulai panas karena terlalu lama terterpa sinar matahari. Akhir-akhir ini peunjuk rasa sering bertindak di luar rasionalitas, mengedepankan niatan primitif mereka untuk memenangkan kehendak semata.

"Dengan segala hormat, bapak, ibu, angka-angka di jam ini baik-baik saja, semuanya sesuai urutan, bahkan tidak ada cacat dalam penampakannya"

"Pintar juga kau berkelit! Padahal cuma manajer!"

"Iya cuma manajer!"

"Apalagi pimpinannya! Bajingan pasti!"

Mimpi apa Girsang sampai hidupnya penuh caci maki, dari awal bekerja, sampai puncaknya hari ini.

"Masalahnya ini loh pak manajer yang pintar bersilat lidah. Kami merasa tertipu dengan angka yang tertulis di jam ini. Angka-angka ini tidak tepat guna! Tidak juga tepat melambangkan waktu yang berjalan! Sering kali kami merasa ditipu karena angka di jam ini terlalu, terlalu...apa ya, terlalu tepat!"

Mabok. Masa jam yang bekerja secara tepat dijadikan masalah. Apa memang jaman ini begitu edan sampai-sampai yang benar dijadikan masalah?

"Iya! Jam ini terlalu tepat. Kalau bapak manajer masih bingung, begini loh. Saya janjian bertemu dengan teman kemarin jam 12 siang. Sekalian makan siang katanya. Karena saya punya jam, jam tangan, atau arloji apalah  namanya, ya saya berangkat dari rumah saya pukul 11.30, supaya pas sampai di tempat tujuan jam 12 siang. Ya, jam anda memang terlampau tepat, jam 11.58 saya tiba di sana."

"Lalu, apa masalahnya?" Sampai di detik ini, belum terlihat bagi Girsang benang merahnya.

"Tapi, teman saya baru datang sekitar 1 jam kemudian. Saya menunggu dalam penuh kegelisahan. Katanya jam 12, memang jam anda tepat mengatakan saat itu jam 12, tapi mengapa teman saya belum datang? Dia malah datang satu jam kemudian? Saya merasa ditipu karena harus menunggu satu jam, hanya karena menuruti jam anda yang begitu tepat! Akibatnya apa? Saya terlambat jemput anak saya sekolah!"

Lah itu kan salah temannya situ yang terlambat satu jam, kenapa sewotnya sampai keakuratan jam buatan pabrik saya, pikir Girsang.

"Saya, saya juga mau mengadu! Anak saya, itu yang baru lahir, tidak bisa langsung saya adzankan karena saya terlambat datangnya! Begini cerita singkatnya, saya janjian bertemu dengan selingkuhan saya, maksudnya teman saya, jam 11 malam di karaoke. 

Karena saya, lagi-lagi menuruti jam buatan perusahaan anda yang sungguh tepat, saya berangkat pukul 21.45, setelah izin dari istri saya yang sedang menunggu waktunya melahirkan, alasan saya karena tiba-tiba dipanggil dari kantor yang sedang lembur. 

Tapi apa, karena ketepatan jam anda, saya tiba di karaoke pukul 21.59, dan selingkuhan, maksud saya teman saya, baru datang satu setengah jam kemudian! Saya padahal sudah berjanji dengan istri saya untuk kembali pukul 00.00, tapi karena jam anda yang terlalu tepat, saya harus terbuang waktu satu setengah jam, ditambah lagi waktu satu jam yang saya habiskan di atas perut selingkuhan, maksud saya teman saya!"

"Pokoknya perusahaan anda telah membuat suatu parameter yang salah. Sungguh terlalu dibuat dalam 12 bagian. Terlalu sering meleset! Terlalu sering kami merasa tertipu!"

"Janjian jam enam saya harus menunggu sampai jam delapan!"

"Saya malah sampai besoknya!"

"Jam buatan anda terlalu tepat!"

"Minimal waktu kita terbuang paling sedikit setengah jam karena jam anda terlalu tepat!"

***

Girsang jadi manajer cuma beruntung. Bawaan nasib, ditambah kemauan untuk bekerja (baca:menjilat) sana sini, membuat karir Girsang setidaknya tidak seburuk rekan-rekannya yang nyangkut di pabrik sebagai tukang pasang kaca, jarum, dan perkakas jam serta arloji. 

Pendidikannya tidak tinggi-tinggi amat, pernah masuk STM, tapi berhenti di tahun kedua karena menusuk gurunya sendiri dengan obeng. Tapi Girsang percaya, ikhtiar lah yang akhirnya mampu membawa manusia berkelindan dengan berkah yang dicurahkan Allah semata.

Dengan latar belakang kerjaan (dan jilatan) serta pendidikan tersebut, mana mampu Girsang menyelesaikan masalah ini sendiri. Dibawanya segera keluhan yang makin marak diteriakkan di luar kantor tersebut ke ruang direksi. 

Tempat para petinggi berkelakar tentang kopi, air terjun, simpanan, harga emas, pencalonan diri sebagai wakil rakyat, dan hal-hal lainnya yang tidak berhubungan dengan perusahaan jam yang mereka jalankan.

"Permisi, bapak-bapak"

"Laporkan sesingkat-singkatnya, Mas"

"Saya Girsang pak, bukan Masno"

"Oh iya, habis kalian manajer terlalu banyak sih, mana muka nya mirip-mirip lagi heh heh heh" Salah satu petinggi ketawa.

"Iya muka susah nya mirip-mirip heh heh heh"

Disambut yang lainnya seperti servis.

"Apalagi muka dua dan penjilatnya heh heh heh"

Mengesalkan sekali tawa orang tua ini.

"Anu, begini pak. Masyarakat komplain kalau jam buatan kita terlalu tepat"

Ruangan hening. Hanya gerak gugup girsang di atas karpet yang sesekali menimbulkan suara gesekan sepatu pantofel murahannya dengan alas lantai beludru.

"Ba, bagaimana bisa diulangi, Mas"

"Girsang nama dia."

"Iya, Girsang"

"Ini pak, jam kita terlalu tepat. Terlalu akurat lah istilahnya. Itu masalahnya."

Girsang tambah gugup karena ruangan masih lengang. Masing-masing dahi para petinggi coba melipat dirinya sedalam mungkin, entah memang sedang berpikir keras atau keras untuk seolah berpikir.

"Lalu apa ya masalahnya?"

"Masyarakat merasa dirugikan karena jam kita yang terlampau tepat membuat mereka, si konsumen, si pemilik jam, menjadi...apa ya, menjadi terlalu tepat waktu juga. Mereka kan mengikuti petunjuk jam kita."

"Lalu, apa salahnya menjadi tepat waktu?"

"Anu, yang jadi masalah, teman mereka, atau selingkuhan, atau siapapun itu yang memiliki agenda yang sama dengan mereka, seperti bertemu, makan siang, bersetubuh, atau apapun itu, bagaimana ya...tidak terlalu tepat waktu. Waktu mereka terasa terbuang."

Beberapa direktur manggut-manggut. Pelik juga masalah ini pikir segelintir dari mereka. Yang lain hanya manggut-manggut supaya terlihat mengerti. Padahal di pikirannya adalah tubuh molek siswi SMA yang baru saja semalam mereka gilir.

Satu direktur yang benar-benar waras, dan paling tua, walaupun sudah mulai tercemar, mulai angkat bicara. Di antara para petinggi, dialah yang memang meniti karir dari nol, kalau bukan dari minus, sebagai orang kepercayaan pemilik TOKAI WATCH.

"Aku bukan pakar waktu. Apalagi pakar jam. Aku hanya tahu bagaimana menuruti bos, menjilat pantatnya, dan mengejar promosi."

"Tapi bukan hanya sekali aku merasa kalau pembagian waktu menjadi 12 jam pada arloji atau jam dinding, itu terlalu...spesifik. Terlalu akurat."

Yang lain manggut-manggut lagi. Girsang berusaha mengangguk lebih banyak, agar terlihat antusias.

"Produksi jam yang terlalu akurat, dengan pembagian jam yang terlalu spesifik, agaknya memang kurang cocok di lingkungan kita. Di kota kita. Di provinsi, atau bahkan di negara kita. Orang-orang di sini memang tahu waktu, melek waktu, tapi tidak menghargainya."

Direktur senior ini tampaknya belum akan berhenti untuk membuahi isi pikirannya yang bernas.

"Solusi dari saya, bagaimana kalau pengaturan pembagian waktu di jam kita kita sederhanakan. Bikin saja jadi 5. Sesuai dengan waktu Shalat."

Grusak-grusuk mulai berdengung dalam ruangan. Beberapa petinggi mematut-matut jenggotnya yang tipis, gagal ditumbuhkan sekalipun dengan krim penumbuh rambut terkenal. Beberapa menggosok-gosok dengkul, selangkangan, ketiak, atau kepala gundul, tanda hanya mengerti materi ini separuh-separuh.

"Kita bikin saja penanda di jam, yang tadinya angka, jadi Subuh, Dzuhur, Azhar, Maghrib, dan Isya. Kan jadinya lebih fleksibel. Misal, yang tadinya dengan sistem penamaan jam konvensional mau ketemu jam 1 siang, bilang aja dengan sistem baru 'kita ketemuan ba'da dzuhur ya'. Beres. Waktu ketemuan makin fleksibel. Ya, fleksibilitas. Kelenturan. Layaknya karet. Jam dan waktu kok dibuat seperti karet ya heh heh heh, dasar manusia. Tapi itu agaknya solusi ideal."

Solusi telah ditelurkan. Kabar bagus (atau buruk) ini segera dihembuskan ke seluruh penjuru kantor, tentunya setelah demo di depan kantor dibubarkan dengan janji semua produk akan ditarik dan diganti rugi dengan produk yang baru, yang lebih fleksibel. Ya, fleksibel adalah kata kunci nya. Menjadi etos kerja baru bagi Girsang dan seluruh karyawan pabrik. Waktu harus lebih mengikuti perkembangan jaman, jangan cuma agama, heh heh heh. Waktu juga harus lentur, seperti karet.

***

Waktu itu sudah lima sampai enam bulan pasca produksi jam baru dengan skala ukur waktu shalat sebagai patokan beredar di masyarakat. Senyap yang biasa mengalasi jalanan sepi di depan kantor perlahan berganti jadi riuh. Riuh rendah, diselingi riuh tinggi, lalu rendah lagi. Ada orang yang demo lagi.

Bapak manajer Girsang, yang sudah diangkat menjadi kepalanya manajer manajer (atas jasanya meredakan demo enam bulan lalu), lagi-lagi disuruh keluar menangani konflik. 

Bapak sajalah, kata manajer lainnya, kan bapak penyelesai konflik tingkat tinggi. Wuih, kembang kempis hidung Girsang. Apalagi satu manajer perempuan yang baru diangkatnya bilang "kalau bapak bisa selesain demo yang satu ini, bapak boleh menyelesaikan 'saya' malam ini heh heh heh". Tambah sempit celana Girsang memikirkannya.

"Bangsat kalian tokai!"

"Heh, jangan kasar begitu, masa perusahaan ini dikatain kotoran"

"Memang namanya Tokai. TOKAI WATCH!"

Girsang baru saja menongolkan kepala saat gelombang protes memberondongnya dari luar.

"Kamu manajer yang kemarin!"

"Masih tak jera! Masih hobi menipu ya!"

"Padahal baru manajer!"

Padahal aku kan sudah kepalanya manajer-manajer. Dasar pelanggan tak pernah cari tahu.

"Mohon maaf. Ada apalagi ya bapak-bapak, ibu-ibu."

"Kalian masih menipu kami!"

"Jam produksi kalian masih...terlalu akurat!"

"Iya! Masih terlalu tepat! Masa saya janjian sama teman Ba'da Dzuhur dia datangnya Ba'da Azhar! Saya kan ngikutin jam kalian yang akurat ini! Percuma akurat tapi ternyata penipu! Kedok saja!"

Awalnya Girsang mengira ide yang ditawarkan bosnya yang paling senior dan paling berpengalaman itu sudah merupakan solusi terbaik. Namun memang tiada gading yang tak retak. Rupanya masih juga ada kelemahan.

"Mohon maaf bapak-bapak, bos-bos, anu, kita masih punya masalah yang sama seperti enam bulan lalu."

"Bah! Pantasan ada dengung-dengung dari bawah sana!"

"Aku kira dengung getar hape mahalku yang ada 4 ini tadi heh heh heh"

Girsang menyerahkan laporan unjuk rasa yang sudah dia susun rapi dan ketik sendiri. Laporan dalam bentuk tertulis menurutnya lebih bermartabat, dan membuat dirinya lebih terlihat pintar.

"Aduh, tulisan. Pak Goro ajalah yang baca."

"Lah Pak Goro kan sudah meninggal."

"Susah juga ya kehilangan orang yang pintar di antara kita-kita heh heh heh"

"Apa perlu dipanggilkan dukun medium heh heh heh"

"Girsang, menurutmu sajalah, mau diapakan masalah ini?"

Pertanyaan selalu mengundang kesempatan. Kesempatan naik jabatan, pikir Girsang. Dari hanya penyelesai konflik tingkat tinggi, sekarang dia bisa jadi salah satu petinggi. Sudah disangkanya, para tauke yang sudah malas berpikir (juga berdzikir) ini pasti akan menanyakan pendapat dirinya.

"Bagaimana pak, kalau kita bikin jadi tiga saja. Saran alm. Pak Goro yang brilian dulu kan jadi lima. Bagaimana kalau jadi tiga saja. Jadi Sarapan, Makan Siang, dan Makan Malam. Jadi ya misal contoh mau janjian jam 2, Ba'da Dzuhur, tapi si teman datangnya jam setengah 4, Ba'da Azhar, kan bisa diselesaikan dengan satuan 'Habis Makan Siang'."

Udara di ruangan berkebut cepat. Anggukan kepala para petinggi makin lama beresonansi dalam frekuensi yang makin kencang. Mereka tampak puas dengan jawaban Girsang. Beberapa mempertimbangkan menaikkan Girsang jadi pemimpin perusahaan, menggantikan Pak Goro yang sudah bersetubuh dengan bumi.

Untuk kedua kalinya, jam tangan, arloji, dan produk derivatnya mengalami perubahan desain. Cuma ada tiga patokan di situ. Sarapan, Makan Siang, dan Makan Malam. Sungguh fleksibel. Sungguh lentur. Bangga sekali hati Girsang memandang ide cemerlangnya, yang mampu membawanya ke puncak rantai makanan di perusahaan. Ini mah maha karya, gumamnya. Diriku memang penyelesai masalah dan penyelesai perempuan tingkat tinggi heh heh heh, ujarnya sambil membelai paha sekretarisnya yang putih.

Tidak menunggu waktu lama, bahkan lebih singkat dari sebelumnya, hanya dua sampai tiga bulan, pedemo sudah janjian lagi di depan kantor TOKAI WATCH. Mereka masih protes karena jam buatan perusahaan itu terlalu akurat. 

Janjian sehabis makan siang, ada yang datang sehabis makan malam. Manusia semakin parah saja dalam melenturkan waktu. Bagi mereka yang menghargai waktu, paling tidak menghargai jam yang sudah mereka beli dari TOKAI WATCH, tentu saja selalu merasa dirugikan. 

Berapa banyak yang mereka korbankan hanya karena jam TOKAI WATCH terlalu akurat dan teman-teman mereka terlalu "fleksibel". Korban waktu, korban perasaan, korban kenikmatan, korban syahwat, korban uang, korban jiwa, dan korban-korban lainnya. Bapak Presdir Girsang juga akhirnya menyerah. Mereka berhenti membuat jam. Terakhir kali dia mengusulkan saja sama pedemo, sama rekan kerjanya sekantor, bahkan sampai membuat konferensi pers.

"Kami TOKAI WATCH menyerah membuat jam. Jam kami selalu dikritik terlalu akurat. Jangan-jangan kalian yang hobi telat itu yang memang keparat!"

"Dibagi jadi 12 jam, jadi perkara. Dibuat jadi 5 pembagian waktu, jadi prahara. Dibuat jadi 3 klasifikasi berdasarkan waktu makan, jadi gara-gara. Memang manusia harus balik ke jaman purba."

Beberapa wartawan sibuk mencatat, merekam, mengambil foto, dan memikirkan headline yang kontroversial agar segera dapat ditulis di media daring haus traffic mereka.

 "Saya putuskan. Pakai saja matahari! Siang dan Malam! Kan gak repot! Kalau masih ngaret juga, bahkan melampaui hari yang ditentukan, ya teman kalian itu kurang beradab!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun