Tidak menunggu waktu lama, bahkan lebih singkat dari sebelumnya, hanya dua sampai tiga bulan, pedemo sudah janjian lagi di depan kantor TOKAI WATCH. Mereka masih protes karena jam buatan perusahaan itu terlalu akurat.Â
Janjian sehabis makan siang, ada yang datang sehabis makan malam. Manusia semakin parah saja dalam melenturkan waktu. Bagi mereka yang menghargai waktu, paling tidak menghargai jam yang sudah mereka beli dari TOKAI WATCH, tentu saja selalu merasa dirugikan.Â
Berapa banyak yang mereka korbankan hanya karena jam TOKAI WATCH terlalu akurat dan teman-teman mereka terlalu "fleksibel". Korban waktu, korban perasaan, korban kenikmatan, korban syahwat, korban uang, korban jiwa, dan korban-korban lainnya. Bapak Presdir Girsang juga akhirnya menyerah. Mereka berhenti membuat jam. Terakhir kali dia mengusulkan saja sama pedemo, sama rekan kerjanya sekantor, bahkan sampai membuat konferensi pers.
"Kami TOKAI WATCH menyerah membuat jam. Jam kami selalu dikritik terlalu akurat. Jangan-jangan kalian yang hobi telat itu yang memang keparat!"
"Dibagi jadi 12 jam, jadi perkara. Dibuat jadi 5 pembagian waktu, jadi prahara. Dibuat jadi 3 klasifikasi berdasarkan waktu makan, jadi gara-gara. Memang manusia harus balik ke jaman purba."
Beberapa wartawan sibuk mencatat, merekam, mengambil foto, dan memikirkan headline yang kontroversial agar segera dapat ditulis di media daring haus traffic mereka.
 "Saya putuskan. Pakai saja matahari! Siang dan Malam! Kan gak repot! Kalau masih ngaret juga, bahkan melampaui hari yang ditentukan, ya teman kalian itu kurang beradab!"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H