Ada jiwa yang resah juga gelisah
Ada jiwa yang merana dan sengsara
Ada jiwa yang harus rela dan merelakan
Dan ada pula jiwa yang harus ikhlas lalu mengikhlaskan.
Ada cinta yang setiap harinya hilang
Ada bahagia yang setiap detiknya berubah duka
Ada jutaan senyum yang hilang dipersekian detiknya
Dan tentunya ada bermiliar-miliar doa serta harapan yang dipanjatkan setiap detiknya.
Semua ingin hidup, semua ingin makan, dan semua butuh ketenangan
Lekas membaik Ibu Pertiwi.
24 Juni 2020
"We don't talk anymore, we don't talk anymore, We don't talk anymore, like we used to do" dering ponselku berbunyi di pagi hari nan fitri. Kulongok lalu kuambil ponselku di atas nakas, Mas Raihan suamiku yang jauh di sana, di belahan bumi Indonesia bagian Timur, sudah lima bulan lamanya kami 'tak berjumpa.
"Hallo, assalamualaikum sayang, Apa kabar? sapa Mas Raihan dari ponsel.
"Walaikumsalam Mas, maaf lahir batin ya, selama ini aku banyak salah sama Mas dan maaf, aku belum bisa pulang untuk berkumpul bersama di rumah," dengan nada sesenggukan aku berbicara.
"Mas, selalu maafin kamu sayang, walaupun sekarang ada yang namanya jarak di antara kita tapi Insyaallah ini akan segera berakhir. Mas, sama Ave baik-baik saja kok, ini Ave kangen sama Bunda katanya."
"Hay, sayangnya Bunda, baik-baik sama Ayah ya, tunggu Bunda pulang, Bunda sayang kalian, I will miss you sayang" aku tak kuat menahan bulir bening yang terus mengalir deras di pipiku.
"Iya Bunda, Bunda jaga dili (diri) Ave sayang Bunda, dan akan celalu(selalu) doain Bunda," love you bunda.
Averroes Al-Biruni, anak laki-lakiku satu-satunya saat ini yang berusia tiga tahun, yang sejak lima bulan lalu, aku tinggalkan bersama suamiku Raihan Al-Biruni. Rindu memang begitu menyiksa bagi insan yang lama 'tak berjumpa.
"Ya sudah saying, selamat bertugas ya, jaga kesehatan semoga Gusti Allah selalu melindungi mu," ucap Mas Raihan dengan nada lirih.
"Iya Mas, Assalamualaikum."
"Walaikumsalam."
Nyess ... seperti ada bongkahan es yang menghujani perasaanku kala ingin bertemu suami dan anak pun hanya melalui virtual tanpa bisa peluk cium. Sakit memang ketika kita dipisahkan oleh jarak, sama orang-orang terkasih. Sudah lima bulan aku di Ibu Kota menjadi relawan di RSPI Sulianti Saroso, berjuang menjadi garda terdepan untuk memerangi virus Covid-19 yang semakin menyebar luas di seluruh wilayah Indonesia bahkan di pelosok-pelosok daerah pun ikut terinfeksi.
*****
Jakarta, 15 Maret 2020
Selepas magrib aku izin keluar sebentar untuk sesekali meredam kebosanan dan kesedihan yang tiap hari menjadi bagian dari hidupku, sejenak mataku memandang ke poros ujung jalan Sunter Permai Raya, tak ada satupun kendaraan berlalu-lalang bahkan orang-orang yang sering hilir mudik pun tak ada, Jakarta kota metropolitan tempat manusia dari berbagai belahan dunia berkumpul, kini menjadi sunyi, sepi dan senyap bak kota mati yang ada hanya rentetan bangunan tua tak berpenghuni, tak ada peradaban, tak ada lagi istilah Jakarta macet-macetan.
Di ujung jalan netraku menatap sosok yang tak asing lagi seorang perempuan dengan kostum orange. Aku berjalan perlahan menuju ke arahnya, sejenak, aku tertegun dijarak kurang lebih dua meter, perempuan kostum orange itu kupandangi satu persatu detail tubuhnya, kucoba untuk menterjemahkan tentangnya, perempuan tua dengan jalan terseok-seok mungkin sudah lelah. Melihat fisik dan semangatnya air mataku pun tumpah ruah. Aku mendekatinya dan sedikit berbincang.
Allah, sungguh tak sanggup aku mendengar penuturannya mereka rela mati demi sesuap nasi untuk keluarga. Ia menumpahkan segala keluhnya tampak kentara bulir bening di pelupuk mata tuanya yang indah di bawah sepasang alis melengkung yang sudah mulai memutih hampir tumpah tapi sebisa mungkin ia tahan.
"Kalau mau nangis, nangis aja Bu jangan ditahan. Ibu umur berapa? saya salut diusia senja Ibu masih berjuang apalagi di tengah mewabahnya virus Covid-19 ini."
"Umur saya 60 tahun neng, sebenarnya sudah lelah dengan keadaan ini tapi saya harus tetap berjuang demi melangsungkan hidup."
Kupeluk Ibu Sukarsih tanpa ada jarak lalu aku merengkuhnya kubiarkan ia menumpahkan segala rasa, asa yang menjadi beban nya.
Keluar dari rumah sakit tadi aku membawa cukup masker dan peralatan medis lainnya, aku berniat memberi Ibu Sukarsih masker agar ia tetap sehat karena ia perempuan tangguh pejuang nafkah yang luar biasa.
"Bu, ini saya ada masker, hand sanitizer, dan beberapa vitamin nanti Ibu pakai saat lagi bekerja ya, agar Ibu tetap sehat, dan ini ada sedikit uang buat tambah-tambah membeli beras."
Ibu Sukarsih terus merengkuhku dengan erat, matanya mendidih hingga airnya meluap kemana--mana, bicaranya terbata-bata, aku tak tega melihatnya. Malam sudah semakin larut, angin malam terus menelisik ke sumsum tulang, semilirnya menembus dinding jaket yang kupakai.Â
Setelah beberapa lama berpelukan tanpa jeda Ibu Sukarsih pun berpamitan ingin pulang. Ia pulang dengan secerca kebahagian yang berkahnya luar biasa. Mata tuanya tampak bahagia, senyum di bibir yang mulai keriput pun merekah bak mendapat berlian segunung.Â
Jika ditelusuri begitu banyak rakyat Indonesia yang butuh perhatian dari pemerintah. Dampak Covid-19 ini begitu tampak jelas tumpang tindihnya antara masyarakat atas, menengah dan bawah seperti Ibu Sukarsih. Semoga segera membaik Negeri ini.
*****
Perlahan bayangan Ibu Sukarsih menghilang, aku masih saja termenung di jalanan hingga seketika aku teringat suami dan anakku dirumah. Aku menjadi relawan di Jakarta atas restu dan rida suami, jika boleh memilih aku tak akan pergi tapi malam itu mas Raihan bilang.
"Dik, kamu kan dokter spesialis paru, pasti kamu sangat dibutuhkan, apa nggak sebaiknya kamu ke Jakarta jadi relawan disana," pinta mas Raihan.
"Tapi, Jakarta kan jauh Mas, gimana dengan Ave dan Mas siapa yang mau mengurus," jelasku.
"Tenang, ada mas yang akan jagain Ave, Dik ini saatnya kamu dedikasikan ilmu dan dirimu untuk Bangsa,Negara dan Umat."
Tak ada aksara aku memikirkan perkataan Mas Raihan, setelah aku pikir-pikir perkataanya memang bener aku harus mendedikasikan diriku dan bermanfaat bagi umat.
*****
Wiuu ... wiu ... wiuu, bunyi sirine ambulan semakin jelas terdengar begitu tahu tujuannya akan ke rumah sakit tempat ku bertugas. Lariku semakin kencang karena aku yang akan memeriksanya diawal pasien datang.
"Dokter Meera, segera ke ruangan ya," perintah Dokter Hexsa.
"Baik Dok."
Setelah usai memeriksa dan menyiapkan kebutuhan isolasi untuk pasien positif Covid-19. Aku sempat berbincang-bicang dengan dr. Hexsa Orion,Sp.PD. dokter muda spesialis penyakit dalam. Kita membincangkan tetang kejadian di Surabaya bagaimana akibat ketidak kejujuran pasien itu membuat fatal hingga membuat banyak dokter terinfeksi dan ada perawat yang meninggal hingga pemakamannya ditolak dengan warga sekitar.
*****
Sungguh miris bukannya dirangkul malah diasingkan. Plis bagi yang mempunyai gejala sama seperti ciri-ciri terpaparnya Covid-19 dan yang baru bepergian dari luar Negeri atau daerah harus jujur pada tenaga medis, jangan takut jujur karena kejujuran anda sama saja bakti anda pada Indonesia tercinta tapi kebohongan kalian itu akan membunuh banyak orang meskipun dengan cara tidak langsung.
26 Juni 2020
Sejak sore tadi pikiranku gundah, ingin menelpon kerumah tapi belum ada waktu karena aku masih begitu sibuk dengan tugas di rumah sakit. Jam tepat menunjukkan pukul 01:30 ku lihat ponsel ada 20 panggilan tak terjawab dan 10 panggilan vidio pun tak terjawab tak lain dari suamiku.Â
Aku semakin bertanya-tanya kenapa sebanyak itu Mas Raihan menghubungiku? adakah hal penting atau hanya sekedar ingin melepas rindu? tak menunggu waktu lama aku segera menghubungi balik Mas Raihan melalui panggilan vidio. Satu kali nihil tak ada jawaban, apa mungkin sudah tidur karena sudah larut malam. Beberapa menit kemudian setelah berkali-kali ku telpon akhirnya Mas Raihan mengangkat.
"Assalamualaikum sayang, maaf lama mas tadi sudah tidur."
"Walaikumsalam, lho Mas, kok kayak di rumah sakit? Mas kenapa?" dengan rasa khawatir aku terus memperhatikan seluruh ruangan yang terlihat dari ponselku.
"Iya sayang, Mas lagi di Rumah Sakit, tadi Mas menghubungimu berkali-kali ya ini, mau ngasih tau kalau Mas sekarang dirawat," jelas Mas Raihan.
"Mas, sakit apa? Terus Ave sama siapa?" Mas jangan bikin khawatir deh," aku terus mencecar Mas Raihan dengan berbagai pertanyaan.
"Kamu tenang ya, jangan panik. Mas sama Ave positif Covid-19."
"Mana mungkin, Mas dan Ave terpapar dari mana? Mas itu di rumah terus nggak kemana-mana kan?" aku masih belum percaya dengan pernyataan Mas Raihan.
"Kemarin Galih teman kantor Mas silaturahmi ke rumah, pas Mas tanyain dia abis bepergian keluar daerah atau nggak jawabnya nggak jadi, ya Mas bolehin kerumah. Terus besoknya si Ave demam sama sesak napas juga jadi aku bawa ke Rumah Sakit sekalian aku juga minta dites Covid-19 ternyata hasilnya kami berdua positif terinfeksi."
"Ya Allah, kenapa Mas Galih jahat banget nggak mau jujur kalau abis bepergian keluar daerah, Mas gimana dengan Ave aku ingin melihatnya, di sini ada anak-anak juga terinfeksi, aku sedih melihatnya. Sekarang anakku yang terpapar, aku tak bisa merawat bahkan melihat pun tak bisa," aku terus menyalahkan diriku yang tak bisa diandalkan keluarga di saat anak dan suamiku terpapar Covid-19 aku tak bisa merawat mereka lantaran aku ada di Jakarta dan mereka ada di Kalimantan.
"Percayalah sayang kami akan selalu baik-baik saja di sini banyak tim medis yang berjuang sepertimu, kamu di Jakarta tenang saja Mas dan Ave akan segera membaik. Kamu terus semangat ya, menjadi garda terdepan buat Indonesia tercinta ini," Mas Raihan terus memberiku semangat.
Air mataku kian luruh, hati kian riuh semangat mulai rapuh ketika virus menyerang suami dan anakku, mereka salah satu alasan kenapa aku ada di Jakarta untuk membantu menyembuhkan luka Ibu Petiwi tercinta. 10 hari sudah suami dan anakku dirawat tiba-tiba aku mendapat kabar dari Sofia ia salah satu temanku yang kebetulan merawat Mas Raihan saat isolasi.
*****
Pesan singkat dari dr Sofia
Hay Meera tetap semangat dan jangan putus asa ya, jaga dirimu baik-baik di Jakarta, maafkan aku yang tidak bisa menjaga suami dan anakmu. Dengan berat hati aku sampaikan ini padamu hari ini suami dan anakmu telah berpulang ke pangkuan Tuhan maafkan kami tim medis yang tidak bisa menyelamatkan orang-orang terkasihmu. Semoga Surga tempat Mas Raihan dan Averroes. Dan semoga kamu selalu diberi ketabahan dan kesabaran oleh Tuhan.
Salam sayang dari dr Sofia dan tim medis di Kalimantan.
Seketika hatiku benar-benar hancur membaca isi pesan dari Sofia, air mataku tumpah ruah pendirian dan semangatku luruh redam, sempat ingin marah pada Tuhan kenapa harus anak dan suamiku yang menjadi korban. Aku disini berjuang kenapa Tuhan tak memberiku kesempatan untuk bertemu kembali dengan anak dan suamiku, 5 bulan tak bertemu bahkan hanya untuk sekedar melihat peristirahatan terakhirnya pun aku tak bisa. Napasku kian sesak detak jantungku tak berfungsi normal hingga aku jatuh tak sadarkan diri. Setelah perasaanku mulai tenang dan aku sudah bisa menetralkan emosiku aku kembali membuka ponsel ada kiriman beberapa foto dari dr Sofia.
Isi pesan dan foto dari dr Sofia
Ini foto, kemarin Mas Raihan memintaku untuk mengirimkannya padamu, ia sempat akan memberimu kejutan dan semangat melalui sebuah puisi yang ia buat khusus untuk istri yang paling ia cintai. Ini aku kirim puisi terahir dari mas Raihan ya Meer semoga ini bisa mengobati kesedihan kamu.
Begitu pesan dari dr Sofia aku pun membaca puisi dari Mas Raihan. Puisi Mas Raihan berhasil membuat bulir beningku luruh lagi, dalam keadaan sakitpun kamu masih tetap romantis Mas, insya Allah aku ikhlas kamu pergi mas karena hidup memang perihal ditinggalkan atau meninggalkan dimana semua ada pengorbanan. Terima kasih Mas kamu terus menjaga buah cinta kita hingga kini Ave memilih ikut
pergi bersamamu terus jaga buah cinta kita ya Mas sampai aku menyelesaikan semua urusan dunia dan akhiratku sampai nanti Allah menyuruhku pulang dan bertemu kalian.
**********************S E K I A N********************
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI