"Walaikumsalam."
Nyess ... seperti ada bongkahan es yang menghujani perasaanku kala ingin bertemu suami dan anak pun hanya melalui virtual tanpa bisa peluk cium. Sakit memang ketika kita dipisahkan oleh jarak, sama orang-orang terkasih. Sudah lima bulan aku di Ibu Kota menjadi relawan di RSPI Sulianti Saroso, berjuang menjadi garda terdepan untuk memerangi virus Covid-19 yang semakin menyebar luas di seluruh wilayah Indonesia bahkan di pelosok-pelosok daerah pun ikut terinfeksi.
*****
Jakarta, 15 Maret 2020
Selepas magrib aku izin keluar sebentar untuk sesekali meredam kebosanan dan kesedihan yang tiap hari menjadi bagian dari hidupku, sejenak mataku memandang ke poros ujung jalan Sunter Permai Raya, tak ada satupun kendaraan berlalu-lalang bahkan orang-orang yang sering hilir mudik pun tak ada, Jakarta kota metropolitan tempat manusia dari berbagai belahan dunia berkumpul, kini menjadi sunyi, sepi dan senyap bak kota mati yang ada hanya rentetan bangunan tua tak berpenghuni, tak ada peradaban, tak ada lagi istilah Jakarta macet-macetan.
Di ujung jalan netraku menatap sosok yang tak asing lagi seorang perempuan dengan kostum orange. Aku berjalan perlahan menuju ke arahnya, sejenak, aku tertegun dijarak kurang lebih dua meter, perempuan kostum orange itu kupandangi satu persatu detail tubuhnya, kucoba untuk menterjemahkan tentangnya, perempuan tua dengan jalan terseok-seok mungkin sudah lelah. Melihat fisik dan semangatnya air mataku pun tumpah ruah. Aku mendekatinya dan sedikit berbincang.
Allah, sungguh tak sanggup aku mendengar penuturannya mereka rela mati demi sesuap nasi untuk keluarga. Ia menumpahkan segala keluhnya tampak kentara bulir bening di pelupuk mata tuanya yang indah di bawah sepasang alis melengkung yang sudah mulai memutih hampir tumpah tapi sebisa mungkin ia tahan.
"Kalau mau nangis, nangis aja Bu jangan ditahan. Ibu umur berapa? saya salut diusia senja Ibu masih berjuang apalagi di tengah mewabahnya virus Covid-19 ini."
"Umur saya 60 tahun neng, sebenarnya sudah lelah dengan keadaan ini tapi saya harus tetap berjuang demi melangsungkan hidup."
Kupeluk Ibu Sukarsih tanpa ada jarak lalu aku merengkuhnya kubiarkan ia menumpahkan segala rasa, asa yang menjadi beban nya.
Keluar dari rumah sakit tadi aku membawa cukup masker dan peralatan medis lainnya, aku berniat memberi Ibu Sukarsih masker agar ia tetap sehat karena ia perempuan tangguh pejuang nafkah yang luar biasa.