"Bu, ini saya ada masker, hand sanitizer, dan beberapa vitamin nanti Ibu pakai saat lagi bekerja ya, agar Ibu tetap sehat, dan ini ada sedikit uang buat tambah-tambah membeli beras."
Ibu Sukarsih terus merengkuhku dengan erat, matanya mendidih hingga airnya meluap kemana--mana, bicaranya terbata-bata, aku tak tega melihatnya. Malam sudah semakin larut, angin malam terus menelisik ke sumsum tulang, semilirnya menembus dinding jaket yang kupakai.Â
Setelah beberapa lama berpelukan tanpa jeda Ibu Sukarsih pun berpamitan ingin pulang. Ia pulang dengan secerca kebahagian yang berkahnya luar biasa. Mata tuanya tampak bahagia, senyum di bibir yang mulai keriput pun merekah bak mendapat berlian segunung.Â
Jika ditelusuri begitu banyak rakyat Indonesia yang butuh perhatian dari pemerintah. Dampak Covid-19 ini begitu tampak jelas tumpang tindihnya antara masyarakat atas, menengah dan bawah seperti Ibu Sukarsih. Semoga segera membaik Negeri ini.
*****
Perlahan bayangan Ibu Sukarsih menghilang, aku masih saja termenung di jalanan hingga seketika aku teringat suami dan anakku dirumah. Aku menjadi relawan di Jakarta atas restu dan rida suami, jika boleh memilih aku tak akan pergi tapi malam itu mas Raihan bilang.
"Dik, kamu kan dokter spesialis paru, pasti kamu sangat dibutuhkan, apa nggak sebaiknya kamu ke Jakarta jadi relawan disana," pinta mas Raihan.
"Tapi, Jakarta kan jauh Mas, gimana dengan Ave dan Mas siapa yang mau mengurus," jelasku.
"Tenang, ada mas yang akan jagain Ave, Dik ini saatnya kamu dedikasikan ilmu dan dirimu untuk Bangsa,Negara dan Umat."
Tak ada aksara aku memikirkan perkataan Mas Raihan, setelah aku pikir-pikir perkataanya memang bener aku harus mendedikasikan diriku dan bermanfaat bagi umat.
*****