Hati Di serasa meleleh perlahan. Tubuhnya seperti melorot tanpa tulang. Seperti suntikan beberapa jarum kecil di otaknya dan ia masih saja seperti tak percaya apa yang baru dialaminya barusan. Bergegas ia berpegangan pada eskalator naik dan tak berani melihat kembali ke belakang. Ia berharap berjumpa Udin segera.
Di
Hari ini theme songnya adalah Spending My Time miliknya Roxette. Entah kenapa sedari ia bangun tidur pagi tadi lagu itu teus menerus berulang di otaknya bahkan kini di saat ia sedang menuju hotel tempat Mo menginap. Kamar 320. Ada rasa tidak yakin ketika aku menaiki lift ke lantai 3. Bahkan aku masih menunggu dan memencet tombol ‘buka’ lift tersebut. Untungnya tak ada orang lain yang akan naik lift ini.
Di menyusuri lorong sambil mencari nomor 320 dengan panduan urutan kamar. 315, 316, … 319… 320. Dan hatiku berdegup semakin kencang. Di mengetuk pintu kamar itu, berat sekali, rasanya pengetuk pintu itu terbuat dari logam angkasa luar yang terpatri di sana. 2 detik, 3 detik,… sesuatu bersuara dari dalam sebelum pintu kamar itu terbuka dan… di sanalah dirimu, membuka pintu dengan wajah yang tak ku lihat selama beberapa tahun ini. Mereka berpandangan dalam beberapa detik, 1 atau dua sepertinya, namun rasanya seperti selamanya.
‘Hey… silahkan masuk.’ Kata Mo, mencoba tersenyum walau Mo sendiri tahu kalau itu sangat-sangat dipaksakan. Di juga begitu. Sebagian darinya ingin agar tidak melanggar batas pintu dan tetap ada di luar. Sebagian yang lain ingin semua rasa terutarakan. Dan ia menang, menyuruh Di untuk melangkah masuk ke dalam kamar membuat yang lainnya terlambat untuk ditarik kembali. Kamar itu kamar standar, Queen-size-bed, lampu meja berbentuk guci dengan ukiran art nuvo. Tak ada cermin di kamar, hotel ini sangat mengandalkan feng shui sepertinya. Cermin besar di kamar tidur sebaiknya di tiadakan karena bisa menimbulkan ketidakharmonisan pasangan. Jendela yang besar memenuhi satu sisi dinding kamar yang menghadap ke arah pemandangan kota malam hari. Mo sepertinya sengaja membuka semua tirainya agar pemandangan indah itu bisa terlihat.
Di tak tahu harus berbuat apa, karenanya Di langsung mengambil tempat dekat dengan jendela besar itu, berdiri membelakangi pemandangan kota dan memandang Mo, tidak, ia mengalihkan wajahnya ke arah lain sehingga mata mereka tak harus bertubrukan.
‘Silahkan duduk,’ Mo menyuruh Di duduk di ranjang sementara dirinya sendiri mengambil kursi yang ada di dekatnya. Suasana masih kaku.
“Bagaimana kabarmu hari ini?”
“Langsung saja Mo. Apa yang akan kita bicarakan sekarang?”
“Aku kangen kamu.” Tapi Di tak bergeming.
“Terlambat kan untuk itu. Tak ada kangen-kangen dan semacamnya. Kau tau itu, aku tau itu.”