“Ya, seperti yang kau lihat.” I don’t care, should I.
“Kamu gimana kabarnya?” Damn! Kenapa harus nanya?
“Ya, baik. Baik.” Mo tersenyum, Di juga. Keduanya senyum yang dipaksa.
“Di, kamu sendirian?”
“Aaa… gak, sama Udin,” matanya melacak keberadaan udin, “tadi dia ada di… oh ya dia ke atas sebentar.”
Mo mengangguk. Di tak mau memulai percakapan. Sepertinya begitu lebih baik.
“Engg… Aku kemari, ke kota ini maksudnya, karena ada kerja. Trus aku jalan-jalan ke sini. Dan… aku liat kamu, dan kamu masih menggetarkan hatiku, ya udah aku datangi.” Di masih dengan ekspresinya. Alis terangkat sebelah dengan sedikit saja senyum, hanya tarikan kecil di sudut bibir. Dan ia merasa sudah saatnya pergi. Tak baik untuk perasaannya.
“Mo… aku mau nyu…”
“Aku nginap di hotel Garuda.” Mo memotong, takut tak ada momen yang tertinggal lagi. “Aku berharap kamu bisa datang dan kita bisa bicara. Besok.”
Di tercekat. Ia tak menyangka undangan ini.
“ Besok malam, kamu datang atau tidak aku akan tetap menunggu. Kamar 320. Dan aku berharap kamu benar datang.” Lanjut Mo. Di tak menjawab. Pandangannya serasa kosong. Ia terpaku di sana selama beberapa detik untuk kemudian berbalik dan pergi meninggalkan Mo. Mo tampak kecewa namun ia masih menyimpan asa untuk esok dan bertekad menunggu.