Mo, hanya dua meter ia di hadapannya. Ia mencoba tersenyum tapi kaku. Dan semua hal yang pernah terikat erat seperti terlepas dari simpulnya. Kulitnya memanggil rasa, matanya mencecap selera. Di bisa merasakan bagaimana kulit wajahnya di tangannya dulu, bagaimana tiap helaian rambutnya tersisir jarinya, ia suka diperlakukan begitu, bagaimana hidung dan lidahku melesap ke pipi dan telinganya. Lama… aku terdiam, dia juga.
‘Hi.’ Katanya lagi.
‘Hi.’ Balas Di, cuma itu. Lalu ia berjalan mendekat ke arah Di, mengambil bungkus keripik kentang yang ada di tangan Di dan meletakkannya di keranjangnya. Di menyumpah diri sendiri dalam hati. Mengapa tidak ada orang lain di gang ini selain kami?
Mo
Aku melihatnya. Untuk pertama kali dalam bertahun ini aku melihatnya lagi. Bermainkah pandanganku? Tidak! Ini nyata. Aku memang berharap bertemu dia di kota ini suatu hari namun tidak menyangka Tuhan mengabulkannya. Dia di sana. Dengan… entah siapa. Sudahlah. Dia di sana, tersenyum dengan tarikan bibir yang takkan pernah kulupa. Gerakan kepala dan permainan tangan yang sangat dirinya. Namun kakiku tetap terpaku di tempatnya. Tak ada kesempatanku bahkan hanya untuk menyapa. Ia telah berdua dan tak seharusnya ku ada. Melihatnya saja aku sudah bersyukur kalau ia baik saja, walau hati perih. Lalu aku melihat temannya pergi, menjauh. Kini hanya akulah tantangan satu-satunya. Ya aku sendiri yang tak berani mendekatinya. Hingga entah bagaimana aku hanya membiarkan pikiranku membawa kakiku mendekatinya. Cukup dekat hingga aku lewat di belakangnya, dan ia masih memakai parfum yang sama, tapi ia tidak menyadariku ada. Ia masih asyik dengan belanjaannya. Sampai aku merasa, sudah matikah aku hingga ia tidak melihatku. Lalu ia berhenti, menyadari. Dan sesuatu dalam diriku mendorong untuk menyapa. Sekedar hallo tak apalah.
“Hallo Di.” di sanalah, pandangan kami lalu bertemu. Ciut sudah diriku. Apakah ia marah? Sedih? Senang? Ah tak mungkin senang. Terkejut? Ya pastinya terkejut. Dan benar ia hanya mematung saja. Aku mengulang kembali sapaanku.
“Hallo Di.”
“Hi.” dan semuanya seperti runtuh di hadapanku.
“Apa kabar?” pertanyaan klise.
“Baik saja.” jawaban standar.
“Belanja ya?” pertanyaan bodoh.