Mohon tunggu...
Rizky Iman
Rizky Iman Mohon Tunggu... -

Lulusan Fakultas Sastra Universitas Islam Sumatera Utara, saat ini bekerja di salah satu instansi pemerintah.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Simpanan Waktu

24 April 2012   06:25 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:11 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Sang Raja Jin tergeletak di tempat tidur Di. Novel sufi Irving Karchmar itu baru saja selesai dibacanya. Sementara 'Tonight, Not Again' mengalun dari mulut Jason Mraz di notebooknya yang terbuka. Deadline untuk menyelesaikan naskah buku terbarunya tinggal dua bulan lagi namun ia merasa buntu sekali. Di luar hujan gerimis. Entah kenapa ia ingin keluar berhujan-hujanan. Ia ambil mantelnya dan keluar walau tak tahu harus kemana.

Di memanggil sebagian kenangan yang di otaknya, dari dua bulan lalu.

“Dari dulu aku tak pernah meminta padamu sebelumnya. Karena aku tahu siapa diriku, aku tahu siapa dirimu. Aku tahu posisi kita di mana walau aku tak tahu bagaimana kelanjutannya. Tapi kini aku meminta hal yang sangat sederhana darimu. Yang kita berdua tahu kalau itu sangat mungkin diwujudkan. Tidak materi, tidak puisi. Sedikit keistimewaan yang seharusnya bisa menyatakan kalau kau memang ada perhatian padaku. Sedikit perhatian dari semua perhatian yang seharusnya bisa kuminta darimu. Tapi tidak! Namun mengapa sedikit perhatian itu masih tidak bisa? Apakah itu masih terlalu berat?”

“Kau tahu posisiku  dan kita tidak bisa bersama selamanya.” Mo memegang bahu Di.

Di menghela nafas, “Ya, lagi-lagi jawaban mengambang.” lalu berbalik dan pergi tak melihat ke belakang lagi.

“Di ayolah…, aku punya istri dan keluarga.”

Di tersenyum, ia mengiyakan.

“Dan kau punya dia juga.” lalu pergi. Seminggu sebelum itu ia melihat sendiri Mo dengan pacarnya yang lain itu. Berciuman dalam klab malam. Dan mereka bertengkar hebat setelahnya. Mo meninggalkannya.

“Di!” Mo memanggil tapi Di terus berjalan. Ia menaikkan kerah mantelnya berharap kerah itu akan menutupi seluruh wajahnya, bahkan kalau perlu seluruh tubuhnya. Waktu itu hujan gerimis, dingin, sama seperti saat ini.

Dan semua yang tertahan keluar sudah, perlahan-perlahan. Namun ia berusaha untuk tidak terisak. Tak banyak orang yang berjalan di trotoar,  “Syukurlah” pikirnya.

Di

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun