Pencitraan yang berlebihan juga berkontribusi terhadap erosi kepercayaan publik terhadap komunikasi politik. Ketika masyarakat merasa bahwa politisi hanya fokus pada citra, tanpa tindakan nyata yang mendukung klaim mereka, tingkat kepercayaan terhadap institusi politik menurun.
Fenomena ini diperburuk oleh maraknya hoaks dan disinformasi. Informasi palsu yang menyebar luas melalui media sosial sering kali menciptakan kebingungan di kalangan masyarakat, membuat mereka sulit membedakan mana informasi yang benar dan mana yang tidak.
Tantangan Keaslian dalam Komunikasi Politik
Peran Hoaks dan Disinformasi
Salah satu tantangan terbesar dalam menjaga keaslian komunikasi politik adalah maraknya hoaks dan disinformasi. Menurut laporan Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO), jumlah hoaks yang beredar di Indonesia meningkat signifikan selama masa kampanye politik.
Hoaks sering kali dirancang untuk menjatuhkan reputasi politisi atau menciptakan ketakutan di kalangan masyarakat. Misalnya, pada Pemilu 2019, beredar klaim palsu tentang latar belakang agama dan etnis kandidat tertentu yang dirancang untuk memengaruhi persepsi publik.
Tekanan untuk Menyesuaikan Diri dengan Algoritma
Di era digital, politisi sering kali merasa tertekan untuk menyesuaikan diri dengan algoritma media sosial. Algoritma ini cenderung memprioritaskan konten yang sensasional dan kontroversial, sehingga politisi yang ingin mendapatkan perhatian harus menciptakan konten yang sesuai.
Namun, pendekatan ini sering kali mengorbankan substansi. Politisi lebih fokus pada menciptakan konten yang viral daripada menyampaikan visi atau program kerja mereka. Dalam jangka panjang, strategi ini dapat merusak kredibilitas mereka di mata publik.
Solusi untuk Meningkatkan Kualitas Komunikasi Politik di Era Media Sosial
Pendidikan Literasi Media