Untuk menjaga citra, beberapa politisi atau tim media mereka melakukan moderasi ketat pada komentar di media sosial. Komentar yang berisi kritik atau pertanyaan sulit sering kali dihapus, sehingga hanya dukungan positif yang terlihat oleh publik.
Narasi Parsial:
Fakta yang disajikan sering kali tidak sepenuhnya mencerminkan realitas. Misalnya, sebuah program yang belum terealisasi sepenuhnya dapat ditampilkan seolah-olah sudah berhasil, atau statistik tertentu digunakan secara selektif untuk menguatkan narasi positif.
Dampak Pencitraan terhadap Opini Publik dan Demokrasi
Fenomena Bubble Filter
Salah satu dampak terbesar media sosial adalah terciptanya fenomena bubble filter, di mana algoritma media sosial menampilkan konten yang sesuai dengan preferensi pengguna. Akibatnya, pengguna cenderung hanya melihat informasi yang memperkuat pandangan mereka, sementara pandangan yang berbeda diabaikan.
Dalam konteks politik, bubble filter dapat memperkuat polarisasi di masyarakat. Pendukung suatu kandidat hanya akan melihat konten yang mendukung narasi positif tentang kandidat mereka, sementara narasi negatif tentang lawan politik lebih menonjol. Fenomena ini tidak hanya menghambat dialog lintas kubu, tetapi juga memperkuat stereotip dan prasangka terhadap pihak lain.
Popularitas Mengalahkan Substansi
Di era media sosial, popularitas sering kali lebih penting daripada substansi. Politisi yang memiliki kemampuan menciptakan konten menarik cenderung lebih mendapatkan perhatian publik dibandingkan mereka yang fokus pada gagasan atau kebijakan.
Sebagai contoh, selama Pemilu 2019, banyak politisi muda yang mendapatkan popularitas besar melalui media sosial. Mereka menggunakan teknik pemasaran digital untuk menarik perhatian, seperti memanfaatkan hashtag atau bekerja sama dengan influencer. Namun, di balik popularitas tersebut, tidak selalu ada visi atau program kerja yang jelas.
Erosi Kepercayaan Publik terhadap Komunikasi Politik