Pencitraan Politik di Era Media Sosial: Mendekatkan atau Menjauhkan dari Substansi?
Rizki Maulana Akbar
Mahasiswa
Media sosial telah menjadi salah satu inovasi terbesar dalam sejarah komunikasi manusia. Platform-platform seperti Instagram, Twitter, TikTok, dan Facebook memungkinkan interaksi instan antara pengguna dari berbagai latar belakang, termasuk politisi dan masyarakat. Di Indonesia, transformasi ini sangat terasa dalam dinamika komunikasi politik. Media sosial tidak hanya menjadi sarana penyampaian informasi, tetapi juga alat utama untuk membangun citra politik, meraih simpati publik, dan memperkuat loyalitas pemilih.
Namun, media sosial juga membawa tantangan baru. Sifatnya yang interaktif dan berbasis visual sering kali mendorong politisi untuk lebih fokus pada pencitraan daripada substansi. Di sisi lain, algoritma platform ini cenderung memperkuat konten sensasional yang memancing emosi, daripada diskusi yang mendalam. Artikel ini akan membahas bagaimana pencitraan politik di media sosial memengaruhi opini publik, memperburuk polarisasi politik, dan berkontribusi terhadap tantangan demokrasi di Indonesia.
Pencitraan Politik: Strategi, Teknik, dan Contoh Nyata
Pentingnya Narasi Visual dalam Politik Modern
Di era media sosial, citra visual menjadi senjata utama dalam strategi komunikasi politik. Sebuah gambar sederhana dapat menyampaikan pesan yang lebih kuat daripada ribuan kata. Dalam konteks ini, politisi sering kali menggunakan foto dan video untuk menunjukkan sisi personal mereka, menciptakan kesan bahwa mereka adalah "orang biasa" yang peduli pada rakyat kecil.
Salah satu contoh terkenal adalah kampanye visual Presiden Joko Widodo (Jokowi). Melalui unggahan di Instagram dan platform lainnya, Jokowi sering menampilkan dirinya sedang berinteraksi langsung dengan masyarakat. Misalnya, video dirinya sedang makan di warung kecil atau blusukan ke pasar tradisional telah menjadi ciri khasnya. Strategi ini berhasil menciptakan citra bahwa Jokowi adalah pemimpin yang sederhana dan merakyat, meskipun kebijakan yang diambil sering kali membutuhkan diskusi lebih dalam tentang dampaknya pada masyarakat.
Selain Jokowi, banyak politisi lain yang mengikuti jejak serupa. Selama Pilkada 2020, misalnya, beberapa kandidat menggunakan TikTok untuk menyampaikan pesan mereka melalui video pendek yang humoris dan menghibur. Meskipun strategi ini efektif dalam menarik perhatian publik, sering kali kontennya minim substansi, hanya berfokus pada visual yang menarik.
Framing dan Manipulasi Persepsi Publik