“Kayanya gua juga pernah denger, yang kaya gitu. Hantu yang suka niru orang lain,” ucap Jati sambil menggaruk-garuk keningnya.
“Iya ya, kayanya pernah ada kasus lain yang mirip,” Ori membuang puntung rokok, lalu menghabiskan sisa kopinya. Sejenak mereka berpikir dan berusaha mengingat-ingat, sampai akhirnya Genta angkat bicara.
“Kalau soal itu, gue tau,” ucap Genta singkat. Jati dan Ori menoleh ke arah Genta.
“Tadi katanya nggak punya cerita apa-apa?” ujar Jati.
“Hantu peniru itu,” ucap Genta, “biasanya meniru wujud orang yang kita kenal, bisa teman, pacar, atau keluarga. Dan dia itu cuma muncul waktu malam-malam, nggak pernah siang.”
Ori mengerutkan kening dan mendengarkan Genta dengan serius. Sementara itu Genta melanjutkan lagi ceritanya.
“Soalnya, kalau siang hari, dia ngikutin orang yang bakal ditirunya. Waktu siang dia nguping pembicaraaan orang itu, mata-matain setiap kegiatannya, pokoknya nyari informasi selengkap-lengkapnya. Pastinya dia itu nggak keliatan, namanya juga hantu atau jin. Nah, pas matahari terbenam, barulah dia berubah wujud, terus ngundang teman atau kenalan orang yang dia tiru, ngajak ngobrol, jalan-jalan, atau apa aja yang biasa orang itu lakuin. Dia bakal mainin orang itu sampai dia puas, dan kalo dia udah puas… dia tinggal ngasih kejutan. Ya kaya lidah panjang tadi, atau kaki yang ngambang, atau menghilang tiba-tiba. Semacam itu deh,” ucap Genta tenang.
Ori memegang dagunya sendiri dan mulai bergumam, seperti sedang berpikir atau berusaha meresapi cerita Genta.
“Lo tau dari mana tentang semua itu?” tanya Ori.
Genta hanya tersenyum. Melihat reaksi yang janggal itu, Ori dan Jati saling pandang satu sama lain.
“Mau nakut-nakutin ya? Kampring ah, nggak lucu!” ucap Jati sambil terkekeh geli. Genta ikut terkekeh.