Mohon tunggu...
A Rita
A Rita Mohon Tunggu... -

Seorang sekretaris yang nggak seksi,\r\ningin nampang dan terkenal tapi minder,\r\ningin tenar tapi nggak lovable enough,\r\nseorang pemimpi sejati yang terus mencari jalan untuk meraih mimpinya,\r\n\r\ndan seorang Putri yang menginginkan cinta sejati,\r\n\r\nsekaligus spesialis cerita sedih dan mellow\r\n\r\nread my stories in\r\nkaryacinta-rita.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Novel] Di Penghujung Senja #1

30 Mei 2015   13:41 Diperbarui: 9 November 2015   17:20 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penghujung senja, adalah saat di mana Zuri hanya menjadi seorang perempuan yang  mencintai seorang lelaki bernama Han yang tidak ditakdirkan untuknya. Bukan menjadi seorang pribumi yang mencintai seorang Cina. Bukan pula menjadi seorang Muslim yang mencintai seorang Nasrani. Karena Zuri percaya bahwa Tuhan mencintai mereka dengan memberinya kehilangan sebagai penguji imannya dan rasa sakit sebagai pembersih dosa-dosanya…

 

Kisah ini bukan hanya sekedar mengangkat perbedaan. Tapi, merupakan cerita seseorang yang cinta kepada Tuhan dan agamanya, yang cinta kepada Ibu Bapaknya, yang cinta kepada persaudaraannya, serta kepada persahabatannya. Berlatar negeri Ranah Minang yang terkenal dengan budaya matrilinealnya, serta sebagian besar penduduknya yang beragama Islam. Kita akan merasakannya dari sudut pandang seorang perempuan sekarat bernama Zuri yang mengajak untuk menelisik setiap cerita di dalam catatan hariannya.

 

---

 

BAGIAN I

Daun yang Gugur

Padang, Juli 2011…

Suatu hari di sebuah kerajaan yang jauh sekali, hiduplah dua orang pangeran kembar bernama Sati, si sulung dan Kayo, si bungsu. Salah seorang dari mereka akan menjadi raja menggantikan ayah mereka. Dewan kerajaan sepakat akan memilih Sati untuk menjadi penerus karena ia cerdas tapi sayangnya si sulung sudah sakit-sakitan semenjak kecil. Sehingga, Kayo harus menggantikan kakaknya menjadi raja. Sayangnya, Kayo yang seorang petualang menolak untuk menjadi raja sampai ia menemukan cara untuk menyembuhkan sang kakak dari penyakitnya.

Tersebutlah di hutan belantara yang luas dan menakutkan, terdapat legenda Batu Bertuah yang konon bisa menyembuhkan penyakit apa saja. Berbekal pengetahuan itu Kayo masuk ke hutan bersama pengawalnya untuk mencari Batu Bertuah. Hutan itu sangat berbahaya. Dari dua puluh pengawal yang dibawa Kayo hanya tinggal beberapa orang yang dapat masuk ke hutan dalam karena serangan hewan buas dan beracun. Kayo menyerah melihat keadaan pengawalnya sehingga memutuskan untuk keluar dari hutan namun kemudian mereka tersesat. Satu persatu pengawalnya tewas diserang harimau sehingga Kayo sangat putus asa.

Saat ia mengira ajalnya sudah dekat, ia meminta maaf kepada sang kakak di dalam hatinya karena tidak dapat menemukan Batu Bertuah untuk menyelamatkannya. Ia juga menyesal sekarang kerajaan mereka benar-benar tidak punya penerus. Tapi, Kayo diselamatkan oleh seseorang di dalam hutan. Yaitu seorang perempuan tidak bernama yang selalu dikelilingi kupu-kupu. Legenda Batu Bertuah mengatakan bahwa hutan dijaga oleh sesosok roh pohon yang berwujud seorang gadis. Tapi, ternyata kekuatan penyembuh itu ada di dalam diri sang gadis yang telah menyembuhkan luka-luka Kayo hanya dengan sentuhan tangannya.

Kayo pun memohon pada sang gadis untuk bisa membawanya ke istana dan menyembuhkan Sati. Karena kesungguhan Kayo, sang gadis bersedia dibawa ke istana. Setelah Sati disembuhkan, Kayo dan sang gadis mulai jatuh cinta. Kayo memberinya nama Ramo Ramo karena ia berwujud cantik seperti kupu-kupu. Tapi, mereka tidak tahu bahwa Sati yang telah menjadi raja merasa sangat cemburu. Ia memaksa Ramo Ramo menikah dengannya dan jika ia menolak seluruh hutan tempat tinggalnya akan dihancurkan. Ramo Ramo pun menolak Kayo yang kemudian patah hati dan memutuskan meninggalkan istana untuk berpetualang.

Selama kepergian Kayo, Sati mulai memaksa Ramo Ramo untuk menunjukan di mana Batu Bertuah berada karena penyakit itu kembali menjadi-jadi ketika Ramo Ramo berada jauh darinya. Ramo Ramo menolak dan ingin kembali ke hutan, lalu Sati menebangi hutan untuk mencarinya tapi tak pernah menemukannya. Sati mulai mengancam, jika ia tidak mendapatkan Batu Bertuah, Kayo akan dibunuh. Tidak punya pilihan, Ramo Ramo pun mencabut Batu Bertuah dari perutnya, di mana ternyata Batu Bertuah tersimpan selama ini. Sang gadis pun berubah menjadi batu dengan lubang menganga di perut di depan Kayo yang tiba-tiba baru kembali dari petualangan.

Perkelahian pun terjadi antara Sati dan Kayo memperebutkan Batu Bertuah. Kayo berhasil mengalahkan sang kakak dan merampas Batu Bertuah walaupun harus melukainya. Ia mengembalikan Batu Bertuah ke lubang di mana batu itu dicabut Ramo Ramo dari perutnya. Ramo Ramo hidup kembali dan Sati yang terluka memerintahkan semua pengawal menangkap Kayo dan Ramo Ramo yang berusaha kabur dari istana.

Mereka lari ke hutan. Tapi, hutan telah dibinasakan oleh Sati. Tak ada tempat untuk bersembunyi, hingga mereka menemukan jalan buntu –sebuah pinggir jurang yang dalam dan terjal. Ramo Ramo pun mengatakan sesuatu pada Kayo, ia bisa mengembalikan hutan seperti semula dengan kekuatannya tapi sebagai gantinya ia harus kehilangan nyawanya. Tapi, Kayo tidak ingin berpisah lagi darinya untuk beberapa masa yang akan datang sampai mereka bisa betemu lagi –mereka akan bereinkarnasi bersama. Jadi mereka pun melompat kedalam jurang lalu berubah menjadi batu saat menghempas daratan. Lalu pecah menghempas bebatuan lain di daratan.

Seketika hutan yang gersang karena dibakar kembali bertumbuh dengan hijaunya. Pengawal Sati yang mengejar mereka pun tersesat dan diserang oleh hewan buas yang marah.

“Apa yang terjadi pada Sati?" seorang anak bertanya padanya dan Aku tersenyum.

“Kehilangan semua kuasanya sampai mati oleh penderitaan dan kesepian…," jawabnya.

“Lalu bagaimaa dengan kerajaannya?" tanya anak lain yang kepalanya botak dan mengenakan piyama hijau muda.

“Kerajaan itu tidak ada lagi karena tidak punya pewaris tahta. Orang-orang mulai meninggalkannya dan negeri itu mulai diabaikan. Hutan tumbuh dengan liar dan kerajaan pun menghilang sama seperti Batu Bertuah yang tersimpan dengan aman di dalamnya…," jelas Aku lagi, menatapi satu persatu anak yang mendengarkan dengan penuh perhatian. Seakan mereka terbawa lalu tampak tak puas karena… “Ceritanya selesai”

"Yah….," beberapa kedengaran serentak mengeluh. Tampaknya mereka tidak suka dengan akhir yang seperti itu, namun melanjutkan cerita hanya membuat ia lupa bahwa anak-anak sudah harus beristirahat begitu juga dirinya.

"Ceritanya kita lanjutkan besok ya?" ujar dr. Nira yang ikut mendengarkan dongeng itu sambil membantu seorang anak naik ke ranjangnya.

"Janji?" tanya seorang bocah perempuan lain penuh harap dari balik selimutnya.

Aku mengangguk, sambil bersiap meninggalkan bangsal itu, kembali ke tempatnya. Yaitu sebuah ruang kecil yang hanya punya satu tempat tidur di mana hanya ada dirinya seorang.

“Jadi kamu sama sekali tidak pernah memikirkan kelanjutannya?" dr. Nira yang mengantar masih bertanya juga.

Aku menggeleng. Ia hanya tersenyum dari tempat tidurnya. Baginya cerita itu hanya sebuah cerita. Segala hal di dunia ini memiliki akhir, begitu juga dengan sebuah kehidupan yang menopang keseluruhan cerita.

“Menurut aku bagaimana kalau mereka bereinkarnasi kembali?" dokter  wanita itu bertanya lagi.

Aku terkekeh, sambil menggeleng. "Reinkarnasi itu tidak ada," kata Aku, tapi… setahunya hanya orang Tionghwa mempercayai adanya kehidupan kembali setelah mati.

Dokter itu pun tersenyum. "Paling tidak reinkarnasi itu ada di dalam dongeng bukan?" katanya, terlihat agar Aku melanjutkan dongengnya. "Seperti keajaiban yang kamu baca di dalam buku dan dalam cerita yang pernah kamu buat”

Aku kembali tertawa, tapi terdengar getir. Ia memandang dokter itu dengan sedih. "Tapi, betapapun itu nyata bagi aku, itu hanya sebuah tulisan di atas kertas," jelasnya.

Dokter itu hanya menatap, sebelum ia menghembuskan nafas lalu mengangguk. “Tapi, bicara tentang  reinkarnasi…kalau seandainya itu ada…kamu ingin dilahirkan kembali menjadi apa?" dia bertanya tiba-tiba dan tak khayal membuat Aku kembali berpikir.

 “Kupu-kupu," jawabnya, kemudian.

“Apa?" sang dokter terlihat tidak percaya dengan jawabannya. "Kamu tidak ingin menjadi manusia lagi? Atau disatukan dengan orang yang sangat kamu cintai di kehidupan mendatang?”

Aku menggeleng. "Kupu-kupu mempunyai siklus kehidupan yang singkat," jelasku. "Dalam satu masa hidup dia mengalami beberapa fase perubahan yang berbeda…, seperti manusia bukan?”

Sang dokter terpana menatapnya. "Ya, aku lupa kamu memang suka sekali dengan kupu-kupu…," katanya dan Aku pun tersenyum lagi. Lalu dokter itu berdiri, teringat bahwa sudah saatnya bagi pasien untuk beristirahat.

Matahari telah pergi memenuhi kerinduan belahan dunia lain kepadanya untuk kembali esok hari. Ia tak bisa tinggal lebih lama karena tak ditakdirkan untuk pilih kasih. Seperti Tuhan menakdirkan sepasang hati yang harus meninggalkan begitu masanya habis. Tapi, berterima kasihlah kepada matahari yang bisa kembali. Tetapi cinta, ia tidak kembali, ia hanya tertinggal namun dalam bentuk yang lain –kenangan.

Aku terdiam, menyaksikan langkah dokter itu sambil berharap ia akan kembali membuka pintu itu dan mendengarkan semua ceritanya hingga usai. Setiap hari hanya menulislah penghibur satu-satunya yang ada di tempat bagai penjara ini. Sesekali ada perawat berbaju putih yang tak terlalu ramah menemaninya berkeliling untuk melihat lebih banyak lagi orang-orang tak berdaya melebihi dirinya. Mereka semua menunggu, entah keajaiban atau kematian di mana kematian adalah sebuah kepastian. Akan tetapi, aku tidak ingin menunggu dengan putus asa, memandang keluar jendela, menyaksikan daun-daun pepohononan di halaman rumah sakit tepat di depan jendela kamarnya berguguran tak dapat melawan angin.

Dedaunan itu mengingatkannya kepada kodrat manusia sebenarnya, ia tak dapat menentang, hanya menjalani. Apakah manusia hidup hanya untuk mati seperti dedaunan itu? Yang melewati satu masa kehidupan, lahir, tumbuh, dan mati di dalam tanah?

***

Ada satu berkas di atas meja. Dibandingkan dengan berkas-berkas bersampul biru dan merah yang lainnya, berkas itu tampak  istimewa. Ia terpisah dari tumpukan itu dalam keadaan terbuka. Ada banyak lembaran hasil diagnosa yang dikumpulkan di dalamnya. Sampul depan berkas berwarna kuning itu, bertuliskan satu nama, aku. Gadis itu tidak punya nama panjang. Hanya nama sang ayah tertera di belakang namanya, Sharif.

Berdasarkan berkas itu, bisa diketahui bahwa Aku sudah dirawat sejak empat bulan yang lalu dengan diagnosa brain symptomps. Dia datang ke rumah sakit dalam keadaan pingsan setelah muntah-muntah dan sempat tidak sadarkan diri selama beberapa hari. Sekarang, ia berada di ruang khusus perawatan penyakit dalam dan tidak sembarangan orang yang bisa membesuk.

Dari beberapa data yang ada di berkas itu juga, tercatat ada sanak keluarga yang mengurusnya. Seorang kakak perempuan bernama Nazia. Tidak ada ayah atau ibu, yang menurut kabarnya meninggal beberapa waktu yang lalu dalam kejadian naas 30 September 2009. Aku tercatat sebagai lulusan cum laude perguruan tinggi negeri jurusan Sastra Bahasa Inggris. Namun begitu, ia belum pernah mempunyai pekerjaan. Dan sekarang entah bagaimana pula ia akan memiliki sebuah pekerjaan sementara mungkin sisa hidupnya akan ia habiskan di tempat pesakitan ini?

Gadis yang malang…

***

 “Menulis terus," tegur Nazia ketika malam hampir larut sementara Aku masih bergelut dengan pulpen dan buku catatannya. "Waktunya istirahat”

Aku mengalihkan sepasang mata yang sebenarnya telah mengantuk itu dari lembaran buku, kepada wajah kakak perempuannya. “Iya, Uni. Sedikit lagi," katanya.

“Kamu tidak boleh tidur larut malam. Ingat kata dr. Nira," Nazia kembali mengingatkan. Dipandangnya wajah adik kesayangannya itu dengan seksama, ia merasa tidak tega jika malam ini harus pulang ke rumah.

Aku pun menutup buku catatannya dengan patuh. Ia pun menaruhnya di atas meja lalu bersiap untuk berbaring dan tertidur untuk meredakan kecemasan sang kakak. “Uni pulang saja," ujarnya. "Masih ada perawat yang jaga. Lagipula Uni sudah menemani Aku selama tiga malam. Kasihan Bli yang harus mengurus Safira dan Alisa sendirian”

Nazia mengangguk, berusaha tersenyum. "Ya, maafkan Uni tidak bisa tinggal," katanya. "Besok pagi, Uni datang lagi, ya?”

Aku mengangguk-angguk mengerti. Lalu ia melepas kepergian sang kakak dengan sudut matanya sebelum itu terpejam dengan lelah. Tak ada lagi kamar sepi dengan bau obat yang begitu kuat, semua itu perlahan lenyap, namun  sebenarnya Nazia masih berdiri di depan pintu.

Tidak jelas apa yang ia tunggu di sana, di saat seharusnya ia pulang ke ruma di mana suami dan anak-anaknya menunggunya. Tetapi, ia tidak menunggu siapapun. Ia hanya terlalu sedih untuk melangkah pulang. Ia hanya terlalu takut bilamana esok pagi, aku tidak pernah terbangun lagi.

Ah, adiknya itu sangat ia cintai. Terkenang masa kecil mereka di rumah yang telah hancur itu. Terkenang, bagaimana ia begitu menyayanginya sampai Nazia merengek-rengek di depan Aku sambi mengatakan bahwa ia tidak ingin adiknya tumbuh besar. Usianya sepuluh tahun, ketika Aku lahir. Saat itu, ia ingin Aku tetap menjadi bayi yang lucu karena ia sangat menyayanginya. Tapi, sekarang mereka sama-sama telah dewasa. Namun rasanya masih sama dengan saat-saat itu, ia tidak ingin kehilangan adiknya walau ia tahu bahwa Aku sudah tak punya banyak waktu. Maka, ia pun menyesal karena suatu hari pergi meninggalkannya…

Setetes demi setetes air mata jatuh di pipinya yang memucat. Ia memeluk dirinya sendiri dengan penuh penyesalan. Ia tidak bisa menangis di depan Aku. Ia tidak bisa menunjukan bahwa ia sangat takut. Karena jika akhirnya Aku pergi, dia akan sendirian. Karena ibu dan ayah juga telah mendahului. Bahkan di saat Nazia belum sempat meminta maaf karena telah mengecewakan mereka. Terbayang sudah hari itu di pelupuk matanya, hari ketika ia meninggalkan rumah selepas perdebatan panjang yang tak pernah usai antara ia dan ayahnya.

Semua itu karena cinta.

Tidak ada yang salah dengan cinta. Ia hanya tak piih-pilih akan lekat pada siapa. Termasuk pada Nazia muda saat itu. Pada umur di penghujung belia, sembilan belas tahun, Nazia telah jatuh cinta kepada seseorang. Seseorang itu tak lain adalah lelaki beragama Hindu yang berasal dari Bali. Nazia yang saat itu bekerja di sebuah agen perjalanan wisata bertemu dengan Made lalu jatuh cinta sedang ia sendiri tumbuh dalam budaya muslim yang taat dari keluarga Bapaknya yang berasal dari Padang Panjang –negeri dengan julukan serambi Mekkah. Ayah Nazia dan Aku adalah anak lelaki yang dibesarkan dalam lingkungan pesantren. Hubungan berbeda etnis, masih dapat diterima bilamana keduanya masih beragama Islam. Namun, perbedaan agama adalah harga mati yang tidak bisa ditoleransi.

Nazia memang keras hati. Dia sudah memohon, meminta agar langkahnya di-ridhai. Tapi, yang ia dapatkan adalah penolakan yang berulangkali disampaikan ayah. Made sudah datang beberapa kali ke rumah memohon restu tapi ia malah diusir. Made tak pantas dengan putri sulung kebanggaannya. Maka ia memberi Nazia pilihan, pergi dengan lelaki itu atau terbuang dari keluarganya.

Yakin dengan cintanya, Nazia meninggalkan rumah karena tak ada juga pengertian dari sang ayah. Ibu dengan tangisnya yang tiada henti pernah memohon pada Nazia untuk memikirkannya sekali lagi. Menikah beda agama adalah dosa besar. Jangankan manusia, Tuhan pun tak akan merestuinya. Tapi, Nazia sudah bulat dengan keputusan itu walaupun dengan jujur ia mengakui sangat berat untuk pergi. Namun, ini takdirnya. Meskipun ia harus meninggalkan adik yang begitu disayanginya.

“Uni mau pergi ke mana?" Aku merengek di depan pintu saat Nazia tengah mengemasi semua baju-bajunya ke dalam tas. "Jangan pergi…”

Betapa terakut hatinya melihat Aku menangis. Adik lucunya yang terpaksa harus ia tinggalkan juga. Usianya masihlah kecil saat itu. Sembilan tahun. Ia masih belum mengerti apa-apa. Ia masih belum mengerti bahwa ayah terlalu keras padanya dan jika di usia seperti ini ayah masih saja memaksakan kehendaknya, satu persatu orang di rumah ini akan pergi.

“Uni hanya pergi sebentar, Dik…," ujarnya, sambil membelai rambut lurus Aku yang berponi.

Mata anak itu sudah merah sekali. Suaranya pun parau karena tak bisa diam.

Nazia mulai menyeret kopernya keluar kamar melewati Aku yang masih menangis di ambang pintu. Terngiang rengekannya saat ia berlari mengejar Nazia hingga ke pintu namun ibu menariknya menjauh agar membiarkan Nazia pergi. Hari itu, Nazia tak bisa melupakannya. Malahan sekarang malah bangkit menjadi rasa bersalah tak terbayar terlebih ketika ia tahu bahwa selepas kepergiannya dari rumah, aku adalah pengemban misi sang ayah yang telah ia gagalkan.

Aku telah tumbuh menjadi gadis yang pendiam. Yang menjadikan belajar adalah nafasnya untuk bisa hidup dalam impian ayah. Harapan ayah yang terlalu besar terhadapnya menjadikannya tidak berpendirian sendiri. Sesungguhnya, Nazia sangat kasihan padanya, namun apa boleh buat. Aku adalah boneka kesayangan ayah, bukan seorang putri baginya. Ayah terlalu keras. Tidak ada seorang pun yang boleh berhubungan dengan Nazia, bahkan menyebut namanya saja begitu diharamkan. Maka, dengan sekuat tenaga ia bertahan hanya agar tidak perlu pulang menemui keluarganya karena sudah pasti ia tak diakui. Bertahun-tahun setelah itu pun, masih enggan bagi Nazia untuk pulang bahkan untuk sekedar memberi kabar.

Dan sekarang, aku sudah sangat terlambat untuk bermimpi –mengejar  mimpinya di dunia nyata. Ia sudah tak punya banyak waktu.

Tuhan, apakah doa seorang yang seperti hamba ini masih dapat Engkau kabulkan? Bukanlah keinginanku untuk melepaskan pertalian darah yang abadi itu. Bukan pula keinginanku, menjadi sebatang kara bilamana kau renggut ia dariku… Maafkan hamba-Mu yang telah begitu salah dan gegabah dalam hidup. Jika keajaiban-Mu itu ada, selamatkanlah dia…

“Uni?" dr. Nira terlihat dari kejauhan dan tentu tengah menuju kemari. Mungkin saja ia ingin memastikan apakah Aku kembali melanggar aturannya dengan tetap menulis di malam hari.

Nazia segera menyeka air mata sedihnya. Namun, betapapun ia tersenyum, dr. Nira tentu sadar bahwa untuk ke sekian kalinya, wanita ini menangisi adik keakugannya.

“Aku sudah tidur?" tanya dr. Nira, sesaat mengabaikan gurat merah di mata Nazia yang berlinang.

Nazia mengangguk dengan cepat, sambil menjauh dari pintu.

“Aku tahu berat rasanya menghadapi saat-saat yang seperti ini," kata sang dokter. "Namun begitu, tidak ada salahnya bagi kita untuk memberi Aku semangat. Itu akan menjadi lebih dari obat-obatan mana pun, Uni”

“Aku tahu… karena itu aku tidak ingin Aku melihat aku menangis,"  jelasnya.

“Oh ya, Uni, kebetulan kita bertemu…ingin memberitahu sesuatu," kata dr. Nira, sekarang ada kesedihan di wajahnya. "Aku sudah merekomendasikan Aku untuk dipindahkan ke rumah sakit di Jakarta. Di sana ia akan mendapatkan perawatan yang jauh lebih baik. Peralatan dan fasilitasnya lebih lengkap. Aku juga sudah menghubungi rekan aku di sana. Dia akan membantu…”

Nazia tampak kaget. Terbayang olehnya, tidak aka nada dokter yang baik seperti dr. Nira yang sangat memperhatikan Aku seperti adiknya sendiri. Bahkan Nazia sendiri sebagai kakak tidak sebegitu perhatiannya pada Aku.  “Jakarta?”

“Uni jangan khawatir.," jelas dr. Nira. "Rekan aku itu punya reputasi yang bagus di Jakarta dan aku rasa akan lebih baik bagi Aku ditangani olehnya”

Tapi, belum tentu ia bisa seperti dr. Nira. Apalagi jika dokter itu seorang lelaki.

“Baiklah," Nazia mengangguk. "Tapi, apa Aku mau dipindahkan? Dia saja pulang dari Jakarta karena tidak mau mati di negeri orang, kalau kembali ke sana… apa dia akan setuju?”

Dr. nira pun terdiam. “Aku juga bingung, Uni…," katanya. "Dua tahun, aku bertahan itu saja sudah keajaiban. Dia tak mau diperlakukan seperti orang sakit…”

Nazia ikut diam, lalu menarik nafas. "Mungkin kita bisa membicarakanya esok hari, dr. Nira. Aku harus segera pulang," jelasnya. "Lusa, suami dan anak-anak aku akan kembali ke Ubud. Liburannya sudah selesai jadi mereka harus ke sekolah…”

Dr. Nira melirik jam tangannya, sudah jam sembilan malam. Ia pun mengangguk, melepas Nazia yang sedih pergi dari hadapannya. Lalu, seperti biasanya ia harus memastikan bahwa Aku tidak mencuri-curi waktu untuk melanjutkan tulisannya di saat ia harus beristirahat di malam hari.

Dengan pelan, ia membuka pintunya. Begitu menemukan Aku memang sudah terlelap di bawah selimut, ia baru merasa lega. Pasien yang satu ini kadang memang lain. Menulis begitu membuatnya kecanduan. Mengarang cerita adalah bakat alaminya sampai-sampai ia merasa bahwa setelah mati ia akan hidup di salah satu cerita yang pernah ia tulis. Entah dari mana ia mendapatkan inspirasi untuk menulis fiksi yang imajinatif. Cerita pangeran kembar itu misalnya.

Namun, satu kali, aku pernah bercerita bahwa ia pernah bertemu dengan sepasang lelaki kembar berwajah rupawan. Itu pertama kalinya Aku mengenal orang kembar namun semua menjadi sangat traumatis, terlebih, ketika salah satu dari mereka akhirnya meninggal dunia. Itu adalah kematian pertama yang pernah Aku saksikan dengan mata kepalanya sendiri. Ia melihat banyak darah menggenang, wajah yang menegang dan tubuh yang remuk redam. Hal itu tidak bisa ia lupakan hingga saat ini. Ada banyak hal yang terjadi setelahnya.

Aneh sekali, pikir dr. Nira, saat menemukan sebuah buku dalam pelukan Aku yang ia bawa dalam tidurnya, seperti seorang anak kecil yang biasa memeluk boneka beruang kesayangan. Buku itu bukan sembarang buku. Bukan buku dengan penokohan lelaki sempurna pemilik perusahaan besar yang jatuh cinta pada gadis biasa. Sebuah  karya klasik yang dikenal banyak orang, tapi tak semua orang pembaca yang suka membacanya berulang-ulang. Tenggelamnya Kapal Van der Wijck, karya Buya Hamka yang begitu terkenal pada zaman-zaman di mana Aku bahkan belum lahir. Dari sekian banyak buku yang telah Aku baca, mengapa hanya buku itu yang ia peluk? Beberapa kali dr. Nira bahkan melihatnya membaca buku itu.

Ya, pastilah buku itu sangat istimewa baginya.

Namun, dr. Nira lebih penasaran dengan buku catatan yang Aku taruh di atas meja. Tertutup rapi, dengan pulpen di atasnya. Inilah buku yang selalu ia tulisi dengan berbagai macam gaya bahasa, namun semua hanya mengungkapkan kesedihan. Buku agenda terakhir yang dr. Nira hadiahkan kepadanya telah habis ditulisi dengan cerita Batu Bertuah. Seingatnya buku itu bersampul merah dan tempelan bunga edelweiss kering di bagian depan sebagai hiasan. Tapi, yang ada di meja itu adalah sebuah buku agenda tebal bersampul motif batik yang sebagian besar lembarannya telah ditulisi. Mungkin Nazia yang membelikannya.

Sejak kapankah Aku mulai menulis ini?

Dr. Nira mengambil buku itu, membaca halaman pertama yang tampak seperti sebuah judul. KE MANA AKU PERGI?

Mengapa ia bertanya seperti itu? dr. Nira pun membalik halama berikutnya. Di bagian paling atas paragraph pertama, tertulis nama tempat dan tanggal –bukan tanggal sekarang. PADANG, 3 APRIL 2006…

Hari ini aku harus ke kampus. Ada dua jadwal mata kuliah yang tidak bisa dilewatkan –Grammar dan English Proficiency. Grammar dimulai jam 09.45 dan English Proficency jam 13.00. Aku punya rentang waktu istirahat yang panjang sampai kelas yang terakhir. Dan hari ini, aku tidak akan bertemu Attar di kelas karena dia sudah mengambil dua mata kuliah itu kemarin. Saat aku masuk kelas Grammar,  Attar sudah selesai dengan mata kuliah Writing-nya dan biasanya akan menghabiskan waktu bersama sang kekasih sampai kelas berikutnya.  Jadi, setelah kelas Grammar selesai aku berencana masuk ke  perpustakan.

Tulisan ini tampak seperti sebuah buku harian yang ditulis ulang. Tapi… melihat tulisan itu telah menguning di atas kertas putih, dr. Nira merasa bahwa ini adalah sebuah buku harian lama. Dengan kejadian dan keadaan yang sangat aktual pada masa itu. Tentunya buku ini akan banyak menjelaskan tentang apa yang sebenarnya telah terjadi kepadanya…

***

 

Prev.                  Next

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun