Mohon tunggu...
A Rita
A Rita Mohon Tunggu... -

Seorang sekretaris yang nggak seksi,\r\ningin nampang dan terkenal tapi minder,\r\ningin tenar tapi nggak lovable enough,\r\nseorang pemimpi sejati yang terus mencari jalan untuk meraih mimpinya,\r\n\r\ndan seorang Putri yang menginginkan cinta sejati,\r\n\r\nsekaligus spesialis cerita sedih dan mellow\r\n\r\nread my stories in\r\nkaryacinta-rita.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Novel] Di Penghujung Senja #1

30 Mei 2015   13:41 Diperbarui: 9 November 2015   17:20 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku mengalihkan sepasang mata yang sebenarnya telah mengantuk itu dari lembaran buku, kepada wajah kakak perempuannya. “Iya, Uni. Sedikit lagi," katanya.

“Kamu tidak boleh tidur larut malam. Ingat kata dr. Nira," Nazia kembali mengingatkan. Dipandangnya wajah adik kesayangannya itu dengan seksama, ia merasa tidak tega jika malam ini harus pulang ke rumah.

Aku pun menutup buku catatannya dengan patuh. Ia pun menaruhnya di atas meja lalu bersiap untuk berbaring dan tertidur untuk meredakan kecemasan sang kakak. “Uni pulang saja," ujarnya. "Masih ada perawat yang jaga. Lagipula Uni sudah menemani Aku selama tiga malam. Kasihan Bli yang harus mengurus Safira dan Alisa sendirian”

Nazia mengangguk, berusaha tersenyum. "Ya, maafkan Uni tidak bisa tinggal," katanya. "Besok pagi, Uni datang lagi, ya?”

Aku mengangguk-angguk mengerti. Lalu ia melepas kepergian sang kakak dengan sudut matanya sebelum itu terpejam dengan lelah. Tak ada lagi kamar sepi dengan bau obat yang begitu kuat, semua itu perlahan lenyap, namun  sebenarnya Nazia masih berdiri di depan pintu.

Tidak jelas apa yang ia tunggu di sana, di saat seharusnya ia pulang ke ruma di mana suami dan anak-anaknya menunggunya. Tetapi, ia tidak menunggu siapapun. Ia hanya terlalu sedih untuk melangkah pulang. Ia hanya terlalu takut bilamana esok pagi, aku tidak pernah terbangun lagi.

Ah, adiknya itu sangat ia cintai. Terkenang masa kecil mereka di rumah yang telah hancur itu. Terkenang, bagaimana ia begitu menyayanginya sampai Nazia merengek-rengek di depan Aku sambi mengatakan bahwa ia tidak ingin adiknya tumbuh besar. Usianya sepuluh tahun, ketika Aku lahir. Saat itu, ia ingin Aku tetap menjadi bayi yang lucu karena ia sangat menyayanginya. Tapi, sekarang mereka sama-sama telah dewasa. Namun rasanya masih sama dengan saat-saat itu, ia tidak ingin kehilangan adiknya walau ia tahu bahwa Aku sudah tak punya banyak waktu. Maka, ia pun menyesal karena suatu hari pergi meninggalkannya…

Setetes demi setetes air mata jatuh di pipinya yang memucat. Ia memeluk dirinya sendiri dengan penuh penyesalan. Ia tidak bisa menangis di depan Aku. Ia tidak bisa menunjukan bahwa ia sangat takut. Karena jika akhirnya Aku pergi, dia akan sendirian. Karena ibu dan ayah juga telah mendahului. Bahkan di saat Nazia belum sempat meminta maaf karena telah mengecewakan mereka. Terbayang sudah hari itu di pelupuk matanya, hari ketika ia meninggalkan rumah selepas perdebatan panjang yang tak pernah usai antara ia dan ayahnya.

Semua itu karena cinta.

Tidak ada yang salah dengan cinta. Ia hanya tak piih-pilih akan lekat pada siapa. Termasuk pada Nazia muda saat itu. Pada umur di penghujung belia, sembilan belas tahun, Nazia telah jatuh cinta kepada seseorang. Seseorang itu tak lain adalah lelaki beragama Hindu yang berasal dari Bali. Nazia yang saat itu bekerja di sebuah agen perjalanan wisata bertemu dengan Made lalu jatuh cinta sedang ia sendiri tumbuh dalam budaya muslim yang taat dari keluarga Bapaknya yang berasal dari Padang Panjang –negeri dengan julukan serambi Mekkah. Ayah Nazia dan Aku adalah anak lelaki yang dibesarkan dalam lingkungan pesantren. Hubungan berbeda etnis, masih dapat diterima bilamana keduanya masih beragama Islam. Namun, perbedaan agama adalah harga mati yang tidak bisa ditoleransi.

Nazia memang keras hati. Dia sudah memohon, meminta agar langkahnya di-ridhai. Tapi, yang ia dapatkan adalah penolakan yang berulangkali disampaikan ayah. Made sudah datang beberapa kali ke rumah memohon restu tapi ia malah diusir. Made tak pantas dengan putri sulung kebanggaannya. Maka ia memberi Nazia pilihan, pergi dengan lelaki itu atau terbuang dari keluarganya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun