“Saya nggak kenal! Dan, itu bukan urusanmu!” potongnya, ketus.
Darahku mendidih. Aku mempercepat langkah, tak peduli apakah mereka tertinggal atau tidak.
Kulihat Suwung masih asyik dengan rantingnya di tempat semula saat aku meninggalkannya.
“Wung, ada yang nyari kamu!” Tanganku menunjuk ke arah aku datang.
Suwung menoleh, lalu kembali asyik dengan kerjaannya. Tak acuh.
Gadis cantik itu menarik napas panjang saat sampai. “Kamu Suwung?” tanyanya tanpa basa-basi, setelah mengatur napas.
Suwung menghentikan kegiatannya. Ia memandang Si Gadis. Bibirnya menyunggingkan senyum. Tapi, tak ada kata keluar dari sana. Lalu, Suwung kembali asyik dengan rantingnya.
“Saya Ariani.” Gadis itu menjulurkan tangannya ke Suwung.
Suwung tak menyambut. Ia asyik dengan rantingnya. “Garis takdir. Rakyat miskin. Tuhan menghilang!” kata Suwung. Pelan tapi jelas.
Gadis itu berjalan ke belakang Suwung. Sejenak ia memperhatikan tengkuk pemuda itu. Lalu, “Kamu adalah orang yang saya cari. Kamu harus ikut saya!”
Gadis itu menyambar tangan Suwung. Ranting di tangan Suwung dirampas, lalu dicampakkannya. Suwung memberontak. Ia menghentakkan tangan gadis itu dengan keras. Hampir saja gadis itu terpelanting jika ia tidak sigap menyeimbangkan diri. Napasnya memburu, mungkin kaget dengan reaksi Suwung.