Mohon tunggu...
Aristia PM
Aristia PM Mohon Tunggu... Guru - Hanya seorang guru yang belajar nulis

Skenario terbaik berasal dari takdir Sang Pencipta

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Lorosae | Bab 3 | Berpisah untuk Memulai

4 Januari 2019   20:17 Diperbarui: 4 Januari 2019   21:42 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

Di hari kedua, kami kedatangan kawan baru. Teman-teman guru dari Bali dan Lombok. Kami mulai berbaur, tidak lagi "bring kaditu bring kadieu" (kemana pergi selalu bersama)

Hidangan pertama yang kami santap di penginapan itu adalah tumis bunga pepaya dan sambal jeruk nipis. Bisa bayangkan rasanya? Seperti makan nasi yang rasanya netral dipadukan dengan tumis bunga pepaya yang pahit dicampur sambal jeruk nipis yang asem. Masih belum terbayang?  Ya begitulah, semua rasa bercampur aduk di lidah. Bersyukur, masih ada yang bisa dimakan.
***

Setelah pengarahan di aula, kami mendekati guru-guru yang baru datang.

"Asli Bali ya?", tanya Nia mulai  mengakrabkan diri dengan guru baru.


"Iya", jawab seorang guru berambut panjang sepinggang yang diikat sekenanya. Wajahnya hitam manis. Dan semakin manis saat ia tersenyum. Aku diam-diam mengamati matanya. Tidak seperti para penari Bali yang matanya melotot saat menari, hehe..

Nia dan guru manis yang bernama Lastri itu terlihat semakin akrab. Sesekali aku ikut tertawa mendengar percakapan mereka. Ya masa iya yang lain tertawa, terus aku cemberut? Ga lucu kan? Sementara ini, aku belum ada ide untuk sksd, sok kenal sok dekat.

"Eh, kalau bahasa Balinya apa kabar itu apa?", tanya Nia.

"Ken ken kabare?", jawab Lastri. Senyum manis selalu menghiasi wajah ayunya.

"Trus jawabnya gimana?"

"Becik-becik"

"Oh, becik-becik? Logatnya harus gitu ya?"

Lastri tertawa kecil. Geli mendengar logat Sunda yang kental dipaksakan berlogat Bali.

"Trus kalau kakak perempuan dipanggilnya apa? Kan kalau kakak laki-laki itu dipanggilnya Beli kan ya?"

"Iya, untuk laki-laki, Beli, untuk perempuan, Mbo".

"Lho? Mbo itu kalau di Jawa artinya ibu. Mbok, simboke.", aku menimpali

"Hehe.. Kalau di Bali, mbo itu ya kakak perempuan", jawab Lastri

Oh, senyummu itu Lastri. Selalu mewarnai. 

"Kalau mbo cantik? ", tanya Nia, penasaran.

"Mbo jegeg."

"Oh, mbo jegek?"

"Hihi.. Bukan. Je-geg, bukan jegek"

"Jegeg?"

Lastri mengangguk, "iya, begitu."

Masih dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Aku cengar-cengir melihat cara Nia mengakrabkan diri dengan orang baru.


"Eh, kata ibu penjaga penginapan, katanya dekat sini ada supermarket. Kita jalan-jalan, yuk? Cari-cari apaaa gitu?", Farah memecah keseruan kami.

"Oh, iya? Hayu atuh kita kemon!", Nia semangat sekali mendengar ada supermarket di kota kecil ini.

"Aku mau cari sandal gunung. Takut jalannya nanti berlumpur." Nia sudah ada rencana apa yang mau dibeli.

"Mbo Lastri mau ikut ga?", ajak Nia.

"Engga, saya disini aja.", jawab Lastri, sopan sekali dengan menganggukan sedikit kepalanya, tak lupa senyum manis menghiasi wajahnya. Duh, mbo jegeg!
***

Hari ketiga di penginapan, masing-masing kami mulai dijemput. Semakin siang, penginapan semakin sepi. Satu per satu guru pergi meninggalkan penginapan, dijemput kepala sekolahnya masing-masing. Tinggal aku dan Farah, juga beberapa teman yang belum dijemput karena lokasi tugas mereka sangat jauh. Sebagian teman-teman bertugas di ujung Indonesia, berbatasan dengan negara Timor Leste. Butuh persiapan yang matang. Apalagi temanku, Farah, bertugas seorang diri. Dosen-dosen kami tidak berani melepasnya begitu saja.

"Pak, gimana ini? Kenapa mahasiswi kami ditempatkan sejauh ini? Mana tugasnya sendirian pula!", ujar Pak Mul, sedikit protes kepada orang dinas.

"Aduh, bapak.. minta maaf e.. Data yang bapak kasih, ini tidak ada keterangan lelaki atau perempuan. Maka itu kami main tebak sa.. Farah Aziz. Ini nama lebih cocok untuk laklaki. Jadi kami kira ibu Farah ini laklaki. Kami minta maaf e bapak..", jelas salah satu orang dinas yang menemui kami saat itu, khas dengan logat daerahnya.

Orang sini biasa bicara cepat, sehingga beberapa huruf terdengar menyatu. Kata laki-laki seakan terdengar "laklaki".

"Ya terus? Bisa ditukar engga ini? Kami khawatir melepas mahasiswi kami di perbatasan"

"Sabar e bapak.. sabar.. Kami diskusi do.."

Menjelang zhuhur, sebuah motor berplat merah masuk ke penginapan. Pengendaranya menggunakan sepatu dan jaket kulit, berkaca mata hitam. Setelah melepas helmnya, dia mendekati dosen-dosen kami. Sepertinya dia meminta izin, sama seperti kepala sekolah yang lain.

Oh, ternyata, lelaki yang baru turun dari motor itu kepala sekolahku! Penampilannya parlente, sambil mengisap rokok sebatang, beliau menghampiri kami. Wajahnya agak sedikit sangar. Aku agak kikuk. Tapi bagaimanapun, aku harus tetap bisa bersikap sopan.

Beliau mengumpulkan guru-guru yang akan bertugas di Amarasi Timur.
"Bapak ibu dong, tunggu sabantar e, oto su dekat."

Aku memasang telinga baik-baik, mencoba mengerti apa yang beliau katakan. Walau kami pernah sedikit tahu tentang Bahasa Kupang, tapi pendengaran kami belum biasa.

Tak berapa lama, oto yang wujudnya lebih mirip mobil angkot warna putih, tiba di penginapan. Kami memasukan barang-barang bawaan ke dalam oto. Sepertinya barang bawaan Nia paling banyak. Kopernya lebih besar dari koperku, belum lagi tas ransel dan tas selempang yang menutupi badannya. Nampak seperti tas berjalan. Wow! Guru tangguh!

Sudah tengah hari, aku melirik jam tanganku. Disini tidak terdengar adzan. Kami harus memperkirakan sendiri waktu adzan pada lima waktu shalat.  

"Maaf, Pak, kira-kira perjalanan ke Amarasi Timur berapa jam ya?", tanyaku kepada kepala sekolah.

"Emm.. Tiga jam mangkali?"

Baiklah, sekarang sudah hampir jam 12 siang. Kalau perjalanan memakan waktu tiga jam, perkiraanku akan sampai di tempat tugas pada waktu asar. Aku harus shalat dulu sebelum memulai perjalanan.

Alhamdulillah, aku masih berada di wilayah penuh sinyal internet. Aku tinggal pasang aplikasi pengingat waktu shalat di telepon genggam dan laptopku, lalu alarm adzan akan berbunyi otomatis saat tiba waktu shalat selama terhubung ke jaringan internet.

Aku pamit sebentar kepada kepala sekolah dan teman-temanku untuk shalat zhuhur.  

"Maaf, Pak! Saya mohon izin shalat dulu.", aku meminta izin sesopan mungkin.

"Hoo.. Iya. Silakan.. Silakan!"

"Makasih, Pak."

Teman-temanku mengikutiku ke salah satu kamar yang sudah kosong di penginapan itu. Pompa air di penginapan sudah menyala sejak kemarin. Kami bisa wudhu dengan leluasa.

Guru yang bertugas di Amarasi Timur semua berjumlah delapan orang. Dua orang sudah lebih dulu dijemput kepala sekolahnya. Kami semua beragama Islam, kecuali tiga orang. Dua orang Hindu dan satu orang Katolik. Alhamdulillah, kepala sekolah yang beragama Kristen mengizinkan kami beribadah sebentar, padahal kendaraan sudah siap berangkat. Toleransi yang indah.

***
"Farah, nanti kalau dah sampai di tempat tugas, kontak aku ya.. Jaga diri baik-baik."

"Kamu juga, Ratih. Jaga diri baik-baik. Kita keep in touch yaa.. "

Aku pamit pada Farah. Kami berpelukan, seakan hari itu adalah perpisahan terakhir kami. Dari teman-teman kampus yang sejurusan, hanya aku dan Farah yang perempuan. Karena itulah kami harus saling menjaga, walau berpisah tempat.

Kami juga berpamitan dengan dosen-dosen yang sejak awal keberangkatan selalu membersamai kami. Aku mencium tangan mereka dan memeluknya, kecuali para bapak dosen. Bukan mahram. Cukup kutangkupkan kedua tanganku dan aku minta doa restunya. Dosen-dosen kami itu tidak beranjak dari penginapan sebelum kami dijemput semua.

"Jangan lupa, tuliskan kisah perjalanan kalian. Buat catatan harian. Kita bakal jadi saksi sejarah di Tanah Lorosae ini", begitu pesan beberapa dosen kepada kami.

Aku dan teman-teman se-kecamatan mulai menaiki angkot yang disebut oto oleh masyarakat sekitar menuju Kecamatan Amarasi Timur. Kami tidak tahu seperti apa Amarasi Timur itu. Yang kami tahu, beberapa desa di Kupang belum tersentuh listrik dan sinyal. Aku sudah mempersiapkan itu. Setidaknya untuk tiga malam, persediaan lilin masih cukup.

Kepala sekolah memberikan sedikit arahan untuk kami.
"Nanti bapak ibu dong turun di Pasar Oesao. Habis, naik lai, oto ke KCD di Pakubaun. Mengerti ko?"

"Oh, siap, Pak!", jawab salah satu teman kami yang bertubuh tinggi gempal, sebut saja namanya Kang Arya, seorang guru SD.

Kami meninggalkan penginapan tanpa kepala sekolah. Beliau pergi sendiri dengan motor trailernya.

 Kutinggalkan Farah yang masih belum dijemput. Dia melambaikan tangan ke arah oto yang kunaiki, lalu membalikan badan dan kembali berbaur dengan para dosen.
***

Dong = semacam kata ikutan, menunjukkan orang yang sedang dibicarakan/sedang diajak bicara berjumlah banyak

Lai = lagi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun