"Ya terus? Bisa ditukar engga ini? Kami khawatir melepas mahasiswi kami di perbatasan"
"Sabar e bapak.. sabar.. Kami diskusi do.."
Menjelang zhuhur, sebuah motor berplat merah masuk ke penginapan. Pengendaranya menggunakan sepatu dan jaket kulit, berkaca mata hitam. Setelah melepas helmnya, dia mendekati dosen-dosen kami. Sepertinya dia meminta izin, sama seperti kepala sekolah yang lain.
Oh, ternyata, lelaki yang baru turun dari motor itu kepala sekolahku! Penampilannya parlente, sambil mengisap rokok sebatang, beliau menghampiri kami. Wajahnya agak sedikit sangar. Aku agak kikuk. Tapi bagaimanapun, aku harus tetap bisa bersikap sopan.
Beliau mengumpulkan guru-guru yang akan bertugas di Amarasi Timur.
"Bapak ibu dong, tunggu sabantar e, oto su dekat."
Aku memasang telinga baik-baik, mencoba mengerti apa yang beliau katakan. Walau kami pernah sedikit tahu tentang Bahasa Kupang, tapi pendengaran kami belum biasa.
Tak berapa lama, oto yang wujudnya lebih mirip mobil angkot warna putih, tiba di penginapan. Kami memasukan barang-barang bawaan ke dalam oto. Sepertinya barang bawaan Nia paling banyak. Kopernya lebih besar dari koperku, belum lagi tas ransel dan tas selempang yang menutupi badannya. Nampak seperti tas berjalan. Wow! Guru tangguh!
Sudah tengah hari, aku melirik jam tanganku. Disini tidak terdengar adzan. Kami harus memperkirakan sendiri waktu adzan pada lima waktu shalat. Â
"Maaf, Pak, kira-kira perjalanan ke Amarasi Timur berapa jam ya?", tanyaku kepada kepala sekolah.
"Emm.. Tiga jam mangkali?"
Baiklah, sekarang sudah hampir jam 12 siang. Kalau perjalanan memakan waktu tiga jam, perkiraanku akan sampai di tempat tugas pada waktu asar. Aku harus shalat dulu sebelum memulai perjalanan.