Lastri mengangguk, "iya, begitu."
Masih dengan senyum yang selalu menghiasi wajahnya. Aku cengar-cengir melihat cara Nia mengakrabkan diri dengan orang baru.
"Eh, kata ibu penjaga penginapan, katanya dekat sini ada supermarket. Kita jalan-jalan, yuk? Cari-cari apaaa gitu?", Farah memecah keseruan kami.
"Oh, iya? Hayu atuh kita kemon!", Nia semangat sekali mendengar ada supermarket di kota kecil ini.
"Aku mau cari sandal gunung. Takut jalannya nanti berlumpur." Nia sudah ada rencana apa yang mau dibeli.
"Mbo Lastri mau ikut ga?", ajak Nia.
"Engga, saya disini aja.", jawab Lastri, sopan sekali dengan menganggukan sedikit kepalanya, tak lupa senyum manis menghiasi wajahnya. Duh, mbo jegeg!
***
Hari ketiga di penginapan, masing-masing kami mulai dijemput. Semakin siang, penginapan semakin sepi. Satu per satu guru pergi meninggalkan penginapan, dijemput kepala sekolahnya masing-masing. Tinggal aku dan Farah, juga beberapa teman yang belum dijemput karena lokasi tugas mereka sangat jauh. Sebagian teman-teman bertugas di ujung Indonesia, berbatasan dengan negara Timor Leste. Butuh persiapan yang matang. Apalagi temanku, Farah, bertugas seorang diri. Dosen-dosen kami tidak berani melepasnya begitu saja.
"Pak, gimana ini? Kenapa mahasiswi kami ditempatkan sejauh ini? Mana tugasnya sendirian pula!", ujar Pak Mul, sedikit protes kepada orang dinas.
"Aduh, bapak.. minta maaf e.. Data yang bapak kasih, ini tidak ada keterangan lelaki atau perempuan. Maka itu kami main tebak sa.. Farah Aziz. Ini nama lebih cocok untuk laklaki. Jadi kami kira ibu Farah ini laklaki. Kami minta maaf e bapak..", jelas salah satu orang dinas yang menemui kami saat itu, khas dengan logat daerahnya.
Orang sini biasa bicara cepat, sehingga beberapa huruf terdengar menyatu. Kata laki-laki seakan terdengar "laklaki".