Sakura masih terpaku di balkon apartemen miliknya. Sudah dua bulan lamanya Katara tak kunjung membalas surat yang ia kirimkan. Tak seperti biasanya yang selalu membalas surat dengan cepat dan selalu mengirimkan foto-foto keseharian Katara lewat surat.
Zaman sudah canggih, tapi Sakura dan Katara memilih untuk saling berkirim surat. Mereka tidak pernah bertukar nomer telepon atau bahkan akun sosial media mereka. Pertama kali mereka berkenalan saat Sakura mengunjungi sebuah tempat di Sulawesi Barat. Pertemuan pertama di Bandara Sultan Hasanuddin  itu menjadi sebuah pertemuan yang penuh arti. Sakura dan Katara langsung akrab dan begitu dekat.
"Bagaimana kalau kita saling berkirim surat?" Sakura begitu antusias, sementara Katara hanya mengernyitkan dahi mendengar ucapan Sakura hari itu. Tapi kemudian keduanya sepakat untuk saling berkirim surat. Sakura memberikan secarik kertas alamat tinggalnya di Jakarta, begitu juga sebaliknya dengan Katara yang memberikan alamat tinggalnya di daerah PolMan (Polewali Mandar).
Sejak pertemuan itu, mereka sering berkirim surat lewat Pos Indonesia. Ada kebahagiaan tersendiri bagi Sakura ketika menerima surat balasan dari Katara. Namun, sudah lama Katara tidak membalas surat dari Sakura. Hal ini membuat Sakura menjadi resah. Ingin sekali ia datang ke alamat yang tertera di amplop surat ia kirimkan. Agar ia tahu mengapa tiba-tiba Katara tak lagi membalas surat-surat kirimannya.
"Sakura, sudah siap?" Suara ibunya, Maruko membuyarkan lamunannya.
Sakura menghela napas kecewa. Tangan kanannya masih menggenggam amplop kecil berwarna cyan yang siap ia kirimkan ke alamat rumah Katara.
Hari ini, kedua orang tua Sakura kembali berpindah tempat. Pekerjaan yang membuat mereka harus sering berpindah. Begitu juga dengan Sakura. Itulah sebabnya Sakura tidak pernah memiliki sahabat yang akrab dengannya. Awalnya ia bersekolah di sekolah umum ketika nenek dan kakeknya masih hidup. Namun, ketika mereka sudah tiada. Sakura harus ikut kedua orang tuanya berpindah-pindah dan akhirnya memilih pendidikan informal.
Hari ini mereka bersiap menuju Yokohama, Jepang. Entah untuk berapa lama. Sebulan, dua bulan, tiga bulan atau bahkan bertahun-tahun. Sakura sendiri tidak bisa menebaknya.
"Ayo ...!" Sekali lagi Maruko mengingatkan Sakura agar bergegas, mereka harus tiba di Bandara tepat waktu.
Sakura menganggukkan kepalanya. "Mampir ke kantor Pos dulu ya, Ma."
Maruko mengangguk, merangkul putri kesayangannya. Ia paham dengan perubahan anaknya beberapa bulan belakangan ini. Ia sering mampir ke kantor pos untuk mengirim surat, juga sering menerima surat. Ia hanya belum bertanya siapa orang yang berkirim surat dengannya. Wanita atau laki-laki? Bagi Maruko, rona wajah bahagia Sakura lebih penting ia saksikan ketimbang bertanya siapa someone yang sering berkirim surat dengannya.