Namun demikian seharusnya sebagai petunjuk awal (bukan barang bukti) aparat penegak hukum bisa menerimanya untuk dilakukan penelusuran dan penyelidikan lebih lanjut” (wawancara dengan Lais Abid, selaku Anggota Badan Pekerja dan Anggota Divisi Investigasi ICW, 7 Agustus 2017).
C. Kurangnya perlindungan hukum terhadap pelapor. Berdasarkan hasil wawancara dengan Lais Abid selaku Anggota Badan Pekerja dan Anggota Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa seharusnya pelapor dilindungi atas aktivitas advokasi atau pelaporan tindak pidana
korupsi. Misalnya dengan melaksanakan Pasal 25 UU No. 31 Th 1999 jo UU No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau SK Bareskrim No.B/345/III/2005 atau dengan menggunakan bentuk-bentuk perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) sesuai UU No. 16 Tahun 2006 jo UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Namun,pada kenyataannya perlindungan terhadap pelapor kasus korupsi masih sangat minim.Masih banyak pelapor kasus korupsi yang diproses dalam kasus pencemaran nama baik (wawancara dengan Lais Abid, selaku
Anggota Badan Pekerja dan Anggota Divisi Investigasi ICW, 7 Agustus 2017).
Menurut penggiat anti korupsi Ismunarno, S.H., M.Hum juga menyatakan hal serupa,
dimana bagi masyarakat yang ingin melapor bila tidak dibekali dengan bukti yang kuat
dapat dikasuskan dengan pencemaran nama baik. Selanjutnya beliau juga menyatakan
semestinya untuk pelaporan terkait dengan kasus yang extra ordinary crime seperti
narkoba, atau tindak pidana korupsi dan mungkin juga tindak pidana lainnya yang kira-kira high class, atau white collar crime. Laporannya tertutup bukan terbuka, walaupun