HAMBATAN LEMBAGA SWADAYA MASYARAKAT (LSM) DALAM PEMBERANTASAN KORUPSI
Hambatan-hambatan eksternal ini sebagai berikut:
A. Intimidasi fisik dan/ atau psikis
Guna mengungkap adanya tindak pidana korupsi upaya intimidasi seringkali
menimpa masyarakat maupun kelompok masyarakat yang melakukan advokasi dan
memerangi tindak pidana korupsi. Tidak jarang pula hambatan peran masyarakat tersebut
menyasar fisik,bahkan ancaman pembunuhan terhadap pelapor maupun keluarganya.
Berdasarkan hasil wawancara dengan Lais Abid selaku Anggota Badan Pekerja dan
Anggota Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa salah satu bentuk kendala yang dihadapi terhadap peran serta masyarakat dalam mengungkap tindak pidana korupsi yakni: intimidasi terhadap kelompok-kelompok masyarakat yang melakukan advokasi tindak pidana korupsi, “membeli” idealisme kelompok masyarakat yang melakukan advokasi dan memerangi tindak pidana korupsi; intimidasi terhadap masyarakat yang akan melakukan pelaporan tindak pidana korupsi bahkan intimidasi ini juga berupa intimidasi fisik seperti ancaman pembunuhan terhadap yang bersangkutan atau keluarganya (wawancara dengan Lais Abid, selaku Anggota Badan Pekerja dan Anggota Divisi Investigasi ICW, 7 Agustus 2017).
Menurut Ismunarno, S.H., M.Hum selaku Dewan Pakar Pusat Studi Transparansi Publik dan Anti Korupsi (PUSTAPAKO) Universitas Sebelas Maret menyatakan bahwa intimidasi seringkali terjadi kepada masyarakat dalam mengungkap tindak pidana korupsi, bahkan tidak hanya menimpa masyarakat saja akan tetapi aparat penegak hukum pun dapat terkena intimidasi ini. Salah satu contohnya yakni apa yang dialami oleh Novel Baswedan.
Bahkan yang dialami masyarakat pun hampir serupa. Misalkan kasus yang terjadi di Karanganyar, dimana masyarakat yang ingin mengungkap adanya korupsi bencana alam (tanah longsor) di Tawangmangu mendapatkan intimidasi dari preman. Tidak hanya sampai disitu bagi masyarakat yang ingin melapor bila
tidak dibekali dengan bukti yang kuat dapat dikasuskan dengan pencemaran nama baik, belum lagi teror-teror psikis maupun fisik lainnya yang siap menghadang (wawancara
dengan Ismunarno, S.H., M.Hum, Selaku Dewan Pakar PUSTAPAKO UNS, 7 September
2017).Serupa dengan apa yang diungkapkan Ismunarno, S.H., M.Hum. Lushiana Primasari, S.H., M.Hum selaku Sekretaris dan Bendahara Pusat Studi Transparansi Publik dan Anti Korupsi (PUSTAPAKO) Universitas Sebelas Maret juga mengatakan bahwa terdapat bentuk-bentuk intimidasi yang seringkali menimpa masyarakat diantaranya: ancaman fisik maupun psikis yang membahayakan bagi pelapor maupun keluarga; penyerangan terhadap aparat penegak hukum yang menangani tindak pidana korupsi; serta pelaporan kembali pelapor dengan ancaman pencemaran nama baik atau menggunakan UU ITE (wawancara dengan Lushiana Primasari, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris dan Bendahara PUSTAPAKO UNS, 13 September 2017).
Selain itu, menurut Eka Nanda Ravizki, S.H selaku Peneliti Muda Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) Universitas Gadjah Mada menyatakan bahwa bentuk intimidasi juga menimpa masyarakat yang ingin bersuara ketika terjadi tindak pidana korupsi.
Intimidasi yang sering kali terjadi adalah berupa pembubaran paksa kegiatan masyarakat, misal pembubaran demo. Selanjutnya adalah berupa diskriminasi.
Sering terjadi pada PNS (aparat pemerintah) atau aparat penegak hukum yang ingin melaporkan tindak pidana korupsi justru malah didiskriminasi berupa dikucilkan. Bahkan, kadang,hingga menyangkut kenaikan jabatan atau mutasi terhadap mereka yang dianggap vokal melaporkan tindak pidana korupsi (wawancara dengan Eka Nanda Ravizki, S.H, selaku Peneliti Muda PUKAT UGM, 7 Agustus 2017).
B. Kurang responsifnya aparat penegak hukum
Respon dari aparat penegak hukum yang tidak baik,menjadi salah satu hambatan
yang membuat peran masyarakat kurang optimal. Hal ini disampaikan oleh Lais Abid
selaku Anggota Badan Pekerja dan Anggota Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch
(ICW) yang menyatakan bahwa,selama ini peran serta masyarakat dalam pencegahan
dan pemberantasan korupsi sudah cukup efektif dan cukup banyak inisiatif masyarakat
akan hal itu. Bahkan tanpa adanya penghargaan atas upayanya itu. Yang membuat masyarakat frustasi bukan karena masyarakat tidak mendapatkan penghargaan, namun kebanyakan peran serta masyarakat dalam bentuk pemberian informasi atau laporan kepada aparat penegak hukum justru tidak disambut baik dan positif oleh aparat penegak hukum.
Selanjutnya beliau juga menyatakan bahwa penghargaan kepada masyarakat yang berperan serta atas upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi belum saatnya diterapkan (wawancara dengan Lais Abid, selaku Anggota Badan Pekerja dan Anggota Divisi Investigasi ICW, 7 Agustus 2017). Pernyataan serupa juga disampaikan oleh penggiat anti korupsi Lushiana Primasari, S.H., M.Hum yang menyatakan bahwa salah
satu hambatan bagi masyarakat dalam berpartisipasi guna mengungkap tindak pidana
korupsi yakni laporan dugaan tindak pidana korupsi pada suatu lembaga yang tidak
ditindaklanjuti (wawancara dengan Lushiana Primasari, S.H., M.Hum, selaku Sekretaris
dan Bendahara PUSTAPAKO UNS, 13 September 2017). Munculnya Putusan Mahkamah Konstitusi yang menghambat
Berdasarkan hasil wawancara dengan Lais Abid selaku Anggota Badan Pekerja dan
Anggota Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) terkait dengan putusan
Mahkamah Konstitusi No. 20/ PUU- XIV/ 2016 menyatakan bahwa “Putusan MK ini secara jujur menjadi penghambat bagi pelaporan atau usaha pengungkapan tindak pidana korupsi terutama yang dilakukan oleh masyarakat, dikarenakan semua rekaman atau dokumen elektronik dan hasil cetaknya tidak bisa dianggap otentik dan sah, atau tidak
memiliki kekuatan hukum yang mengikat (berarti bukan dianggap bukti), karena barangkali diperoleh masyarakat tidak melalui ketentuan hukum.
Namun demikian seharusnya sebagai petunjuk awal (bukan barang bukti) aparat penegak hukum bisa menerimanya untuk dilakukan penelusuran dan penyelidikan lebih lanjut” (wawancara dengan Lais Abid, selaku Anggota Badan Pekerja dan Anggota Divisi Investigasi ICW, 7 Agustus 2017).
C. Kurangnya perlindungan hukum terhadap pelapor. Berdasarkan hasil wawancara dengan Lais Abid selaku Anggota Badan Pekerja dan Anggota Divisi Investigasi Indonesia Corruption Watch (ICW) menyatakan bahwa seharusnya pelapor dilindungi atas aktivitas advokasi atau pelaporan tindak pidana
korupsi. Misalnya dengan melaksanakan Pasal 25 UU No. 31 Th 1999 jo UU No. 20 Tahun
2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi atau SK Bareskrim No.B/345/III/2005 atau dengan menggunakan bentuk-bentuk perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) sesuai UU No. 16 Tahun 2006 jo UU No. 31 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Namun,pada kenyataannya perlindungan terhadap pelapor kasus korupsi masih sangat minim.Masih banyak pelapor kasus korupsi yang diproses dalam kasus pencemaran nama baik (wawancara dengan Lais Abid, selaku
Anggota Badan Pekerja dan Anggota Divisi Investigasi ICW, 7 Agustus 2017).
Menurut penggiat anti korupsi Ismunarno, S.H., M.Hum juga menyatakan hal serupa,
dimana bagi masyarakat yang ingin melapor bila tidak dibekali dengan bukti yang kuat
dapat dikasuskan dengan pencemaran nama baik. Selanjutnya beliau juga menyatakan
semestinya untuk pelaporan terkait dengan kasus yang extra ordinary crime seperti
narkoba, atau tindak pidana korupsi dan mungkin juga tindak pidana lainnya yang kira-kira high class, atau white collar crime. Laporannya tertutup bukan terbuka, walaupun
ada LPSK. Karena LPSK sendiri jangkauannya juga terbatas, jumlah anggotanya juga
hanya beberapa orang, dan prosedur untuk mendapatkan perlindungan dari LPSK juga
panjang. Jadi,tidak dapat serta merta meminta kemudian diberikan. Disini juga masih
terdapat sebuah pertanyaan apakah masyarakat telah benar-benar dilindungi atau tidak karena pada kenyataannya terkadang antara apa yang seharusnya dengan apa yang
senyatanya masih berbeda. Misalkan, memang benar ada LPSK akan tetapi berapa orang
yang telah dilindungi LPSK bahkan sampai saat ini pun LPSK masih belum ada di tingkat-tingkat kabupaten (wawancara dengan Ismunarno, S.H., M.Hum, selaku Dewan Pakar
PUSTAPAKO UNS, 7 September 2017).
Serupa dengan pernyataan tersebut, menurut penggiat anti korupsi Lushiana Primasari, S.H.,M.Hum juga menyatakan bahwa pelaporan kembali oleh terlapor kepada pelapor dengan ancaman pencemaran nama baik atau menggunakan UU ITE telah menjadi salah satu hambatan bagi masyarakat dalam mengungkap tindak pidana korupsi.
Menurutnya perlindungan terhadap whistleblower atau pelapor tindak pidana korupsi di Indonesia, saat ini masih lemah, terdapat sejumlah pelapor kasus korupsi yang terancam tuduhan pencemaran nama baik atas langkah mereka melaporkan tindak pidana korupsi tersebut.
Pelapor atau whistleblower merupakan salah satu pendukung dalam pengungkapan dan penegakan tindak pidana korupsi, sehingga Negara harus hadir memberikan perlindungan.
Pelapor harus dilindungi dan didampingi oleh LPSK agar segera mendapat perlindungan dan mengawasi jalannya peradilan yang memeriksa perkara tindak pidana
korupsi yang dilaporkan. Jika pelapor tidak dilindungi, dikhawatirkan akan akan terbentuk
opini di masyarakat bahwa menjadi pelapor tindak pidana korupsi justru merugikan karena
mengancam pribadi dan keluarga pelapor karena rentan terhadap pembalasan dari pihak
yang dilaporkan, sehingga bisa menyurutkan langkah pelapor lain yang akan mengungkap
dugaan tindak pidana korupsi. Beliau juga menambahkan regulasi yang berkaitan dengan
peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi masih belum
efektif, hal ini karena secara kelembagaan belum memadai untuk mendukung melindungi
masyarakat dalam hal ini adalah pelapor; masih terbatasnya pemberian layanan
perlindungan terhadap pelapor karena terbatasnya kewenangan lembaga-lembaga terkait, terbatasnya koordinasi dan kerjasama antarlembaga dalam pelaksanaan pemberian
perlindungan terhadap pelapor (wawancara dengan Lushiana Primasari, S.H., M.Hum,
selaku Sekretaris dan Bendahara PUSTAPAKO UNS, 13 September 2017).
Menurut Eka Nanda Ravizki, S.H peran masyarakat menjadi nisbi akibat minimnya sistem pendukung terutama dalam bentuk aturan. Misalnya system whistleblower dan penjaminan kerahasiaan pelapor. Selain itu sistem keterbukaan informasi publik yang belum baik akan membuat masyarakat akan semakin sulit mendapatkan informasi.
Kurangnya wadah pelaporan juga suatu masalah. Masyarakat kebanyakan akan bingung terkait kemana akan melaporkan apabila terjadi korupsi (wawancara dengan Eka Nanda Ravizki, S.H, selaku Peneliti Muda PUKAT UGM, 7 Agustus 2017).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H