Mohon tunggu...
Riki Tsan
Riki Tsan Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Mata/Magister Hukum Kesehatan

Eye is not everything. But, everything is nothing without eye

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Pidana Medik Itu Bukan Pidana Umum

11 Februari 2024   19:13 Diperbarui: 12 Februari 2024   06:24 664
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Apalagi, ketidakpuasan ini disertai pula dengan komunikasi yang buruk, sikap arogan/keangkuhan pihak rumah sakit dan ketidakterbukaan atas informasi yang menyangkut penyakitnya, akan lebih mendorong pasien untuk melakukan tuntutan hukum terhadap dokter.

Ketidakpuasan pasien ini  semakin menguat ketika ketidakberhasilan pengobatan ataupun cedera yang dialami oleh pasien itu diakibatkan oleh kurang hati hatinya ataupun tidak cermatnya dokter dalam melakukan tindakan medis terhadap pasiennya.

Misalnya, dalam operasi tanam benang di permukaan wajah. Dokter spesialis kulit yang melakukannya - mungkin karena kurang hati hati atau tidak cermat -menggunakan jenis benang yang bukan seharusnya digunakan sehingga membuahkan hasil yang  tidak diharapkan seperti penyembuhan luka yang menjadi lebih lama  atau bekas luka yang menetap lama di permukaan wajah pasien.

Dalam suatu operasi katarak, mungkin karena kurang cermat misalnya, dokter mata memasukkan lensa tanam buatan yang tidak sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan sehingga mengakibatkan tajam penglihatan pasien menjadi  lebih buruk setelah operasi.

Ketiga.  Aparat Penegak Hukum kurang atau tidak memahami aturan perundang undangan yang terkait dengan Pidana Medik.

Sekitar tahun 2013, diberitakan ada seorang dokter spesialis yang bekerja di rumah sakit di daerah Jawa Tengah dilaporkan ke Polisi oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat. Pasalnya, dalam menjalankan praktiknya, dokter tersebut memiliki Surat Izin Praktik yang telah expired atau sudah kedaluarsa alias sudah tidak berlaku lagi.

Polisi menjerat si dokter dengan tuntutan pidana berdasarkan pasal 75-76 Undang Undang Praktik Kedokteran nomor 29 tahun 2004.

Kedua pasal itu memang mempidanakan dokter/dokter gigi dengan pidana penjara paling lama 3 tahun ataupun denda paling banyak Rp.100 juta jika dengan sengaja melakukan praktik tanpa memiliki Surat Tanda Registrasi ataupun Surat Izin Praktik (SIP).

Tuntutan ini dinilai amat menggelikan, soalnya pada tahun 2007, 6 tahun sebelum peristiwa itu terjadi (2013), pidana penjara yang terkandung di dalam kedua pasal tersebut sudah dihilangkan  sehingga tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat, lewat putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 4/PUU-V/2007.

Hal ini menimbulkan  tanda tanya besar. Bagaimana mungkin Polisi  bisa mempidanakan seorang dokter berdasarkan pasal pasal yang sudah dihapus unsur pidananya ?.

Hal yang sama juga pernah terjadi terhadap dr. Bambang Suprapto SpB, seorang dokter spesialis bedah yang berpraktik di sebuah rumah sakit di Madiun pada tahun 2014.
Beliau dipidana penjara 1 tahun 6 bulan karena tidak memiliki SIP dalam menangani pasiennya berdasarkan pasal pasal pidana yang telah dihapus 7 tahun sebelum Putusan itu dibacakan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun