by dr. Riki Tsan, SpM ( mhs STHM Prodi MHKes )
Pada suatu hari di sekitar tahun 1989,  Yulius Amran Rajulin menyetir mobil colt pick up di Jalan A.Yani Kota Pemalang. Ia berbelok ke kiri memasuki Jalan KH Makmur.Â
Sesaat setelah membelok, tiba tiba ada seorang anak lelaki berusia 2 tahun bernama Fahmi Asikin berlari lari menyeberangi jalan tersebut. Ia terkejut, panik dan tak dapat menguasai kenderaannya, lalu menabrak anak tersebut dan kemudian anak itu meninggal dunia.
Yulius dituntut secara pidana karena kelalaiannya menyebabkan matinya orang lain. Di Pengadilan Negeri Pemalang ia dibebaskan dari dakwaan, namun di tingkat Kasasi, Mahkamah Agung memutuskan ia terbukti secara sah dan meyakinkan telah bersalah melakukan kejahatan karena kealpaannya menyebabkan orang lain mati.Â
Yulius dihukum dengan pidana penjara selama 6 bulan (Alasan Penghapus Pidana, Teori dan Studi Kasus, 2012, hal. 121)
Tahun 2010. Dua puluh satu tahun setelah terjadinya kasus  Yulius, di Rumah Sakit Umum Prof Dr. Kandouw Malalayang, Manado, tiga orang dokter ; dr Dewa Ayu Sasiary (dr. Ayu), dr. Hendry Simanjuntak dan dr. Hendy Siagian menangani pasien Julia Fransiska Maketey (Siska) yang berada dalam keadaan hamil dengan kondisi  gawat darurat.Â
Saat itu, dr. Ayu memutuskan untuk melakukan operasi kandungan seksio cesaria (sc) cito terhadap ibu Siska dibantu oleh 2 orang koleganya itu.
Dalam tindakan operasi yang mereka lakukan, bayi di dalam rahim berhasil diselamatkan, namun nyawa ibunya tak tertolong dan meninggal dunia . Diduga kematian ibu Siska disebabkan  munculnya faktor risiko berupa emboli udara, yang tidak bisa diketahui/diperkirakan.
Dokter Ayu dkk dituntut secara pidana dengan dugaan kelalaian yang menyebabkan matinya orang lain. Pengadilan Negeri Manado membebaskan mereka lewat Putusan yang dibacakan pada 22 September 2011.
Namun , di tingkat kasasi, Mahkamah Agung (MA) memvonis ketiga dokter tersebut telah terbukti melakukan kesalahan karena kelalaian seperti diatur di dalam Pasal 359 Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP).Â
Majelis kasasi menjatuhkan pidana penjara masing-masing 10 bulan lewat Putusan MA yang dibacakan pada tanggal 18 September 2012.
(https://putusan3.mahkamahagung.go.id/direktori/putusan/9e48e293e14434de31d0e42541aea526.html)
--
Pelajaran apa yang dapat kita petik dari kedua peristiwa di atas ?. Mari kita cermati dan telaah.
Baik terhadap Yulius maupun terhadap dr. Ayu dkk hakim memvonis mereka telah melakukan 'kejahatan/kriminal' dengan kesalahan karena kelalaian berdasarkan pasal 359 KUHP yang menyebabkan orang lain meninggal dunia dan karena itu mereka harus dijatuhi pidana penjara.
Pasal 359 KUHP tersebut berbunyi, 'Barang siapa karena kesalahannya (kealpaannya) yang menyebabkan orang lain mati, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau pidana kurungan paling lama satu tahun '.Â
Jadi, Hukum Pidana Umum diberlakukan baik terhadap kasus tabrakan Yulius maupun terhadap kasus medis ( tindakan operasi sc cito ) dr. Ayu dkk.
Kita terusik dengan pertanyaan, ' apakah dr. Ayu dkk yang  telah  berupaya bersungguh sungguh untuk membantu menyelamatkan nyawa pasiennya, namun pasien tersebut meninggal dunia karena dugaan faktor risiko yang tidak bisa diketahui/diperkirakan, dapat dikatakan telah melakukan perbuatan 'kriminal/kejahatan' dan disamakan dengan kelalaian Yulius  di jalan raya yang menabrak orang lain dan menyebabkan kematian orang tersebut ?'
' Apakah layak para dokter tersebut  dijatuhi hukuman dengan mendekam di balik jeruji besi penjara sama seperti si supir  ?. Akal sehat dan hati nurani  kita rasanya sulit untuk bisa menerimanya  !'
Dengan pernyataan terakhir ini, kita masuk ke dalam pertanyaan mendasar yakni  apakah penerapan Hukum Pidana Umum terhadap kasus kasus medis ( yang kita sebut sebagai Pidana Medik atau Tindak Pidana Medik ), sama persis dengan penerapan Hukum Pidana terhadap kasus kasus umum  yang bukan kasus medis ?.
Dr. dr. Nasser, Sp.D.V.E, D. Law di dalam kuliah Tindak Pidana Medik ( Medical Crime ) pada tanggal 3 Februari 2024 yang disampaikan secara daring kepada mahasiswa STHM Prodi MHKes Angkatan-V mengatakan bahwa dalam penerapan  Hukum Pidana ( Criminal Law ) di Indonesia sampai saat ini semua Tindak Pidana Medik itu masih disamakan dan diperlakukan sebagai Tindak Pidana Umum yang menjadi kewenangan Polisi untuk melakukan penyelidikan dan penyidikannya.
Selama ini Polisi telah sering menangani kasus kasus medis yang mereka perlakukan sebagai Tindak Pidana Umum.
PENYEBAB TUNTUTAN HUKUM
Pertanyaan kita ialah kenapa para Tenaga Medis (dokter/dokter gigi) sering dilaporkan oleh pasien maupun keluarganya kepada Polisi atas dugaan kesalahan/kelalaian dalam melakukan tindakan medis , Â dan dengan begitu mudahnya Polisi memperlakukan mereka sebagai pihak yang telah melakukan Tindak Kejahatan Pidana ?.
Dr. Nasser mengemukakan 4 penyebab.
Pertama. Ekspektasi ( harapan ) yang keliru terhadap upaya penyembuhan yang dilakukan oleh dokter.
Pasien dan keluarganya menganggap bahwa upaya yang dilakukan oleh dokter dalam melakukan pengobatan haruslah selalu menghasilkan kesembuhan.
Padahal, sebagaimana diketahui bahwa dalam hubungan perjanjian/perikatan yang mengikat dokter dan pasiennya - yang lazim dikenal dengan Kontrak Terapeutik - titik beratnya adalah pada upaya maksimal yang harus dilakukan oleh dokter ( inspanning verbintennis ) dan bukan ditujukan kepada hasil pengobatan yang berupa kesembuhan penyakit pasien ( resultaat verbintennis ).
Ketidakpahaman akan tujuan pengobatan dan harapan yang keliru  terhadap  pelayanan kesehatan/tindakan medis yang diberikan oleh dokter ini umumnya diakibatkan oleh komunikasi yang jelek antara dokter dengan pasien dan keluarganya.
Di dalam kuliahnya, Dr. Nasser sempat menyebutkan penelitian yang pernah dilakukan  terhadap beberapa kasus tuntutan pasien terhadap dokter. Penelitian tersebut membuktikan bahwa munculnya tuntutan pasien terhadap dokter lebih diakibatkan oleh kurangnya komunikasi ataupun komunikasi yang tidak baik diantara dokter dengan pasiennya.
Kedua. Ketidakpuasan terhadap tindakan medis yang dilakukan oleh dokter.
Tidak dapat dipungkiri, ada sikap maupun perilaku  dari sebagian para dokter yang memaksa pasien untuk melayangkan tuntutan hukum terhadap mereka.
Ketidakberhasilan dalam penyembuhan atau munculnya cedera dan bahkan kematian acap kali disebut sebut sebagai 'biang keladi'pemicu munculnya ketidakpuasan dari pasien/keluarganya atas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh dokter.Â
Apalagi, ketidakpuasan ini disertai pula dengan komunikasi yang buruk, sikap arogan/keangkuhan pihak rumah sakit dan ketidakterbukaan atas informasi yang menyangkut penyakitnya, akan lebih mendorong pasien untuk melakukan tuntutan hukum terhadap dokter.
Ketidakpuasan pasien ini  semakin menguat ketika ketidakberhasilan pengobatan ataupun cedera yang dialami oleh pasien itu diakibatkan oleh kurang hati hatinya ataupun tidak cermatnya dokter dalam melakukan tindakan medis terhadap pasiennya.
Misalnya, dalam operasi tanam benang di permukaan wajah. Dokter spesialis kulit yang melakukannya - mungkin karena kurang hati hati atau tidak cermat -menggunakan jenis benang yang bukan seharusnya digunakan sehingga membuahkan hasil yang  tidak diharapkan seperti penyembuhan luka yang menjadi lebih lama  atau bekas luka yang menetap lama di permukaan wajah pasien.
Dalam suatu operasi katarak, mungkin karena kurang cermat misalnya, dokter mata memasukkan lensa tanam buatan yang tidak sesuai dengan ukuran yang telah ditentukan sehingga mengakibatkan tajam penglihatan pasien menjadi  lebih buruk setelah operasi.
Ketiga. Â Aparat Penegak Hukum kurang atau tidak memahami aturan perundang undangan yang terkait dengan Pidana Medik.
Sekitar tahun 2013, diberitakan ada seorang dokter spesialis yang bekerja di rumah sakit di daerah Jawa Tengah dilaporkan ke Polisi oleh sebuah Lembaga Swadaya Masyarakat. Pasalnya, dalam menjalankan praktiknya, dokter tersebut memiliki Surat Izin Praktik yang telah expired atau sudah kedaluarsa alias sudah tidak berlaku lagi.
Polisi menjerat si dokter dengan tuntutan pidana berdasarkan pasal 75-76 Undang Undang Praktik Kedokteran nomor 29 tahun 2004.
Kedua pasal itu memang mempidanakan dokter/dokter gigi dengan pidana penjara paling lama 3 tahun ataupun denda paling banyak Rp.100 juta jika dengan sengaja melakukan praktik tanpa memiliki Surat Tanda Registrasi ataupun Surat Izin Praktik (SIP).
Tuntutan ini dinilai amat menggelikan, soalnya pada tahun 2007, 6 tahun sebelum peristiwa itu terjadi (2013), pidana penjara yang terkandung di dalam kedua pasal tersebut sudah dihilangkan  sehingga tidak lagi memiliki kekuatan hukum yang mengikat, lewat putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 4/PUU-V/2007.
Hal ini menimbulkan  tanda tanya besar. Bagaimana mungkin Polisi  bisa mempidanakan seorang dokter berdasarkan pasal pasal yang sudah dihapus unsur pidananya ?.
Hal yang sama juga pernah terjadi terhadap dr. Bambang Suprapto SpB, seorang dokter spesialis bedah yang berpraktik di sebuah rumah sakit di Madiun pada tahun 2014.
Beliau dipidana penjara 1 tahun 6 bulan karena tidak memiliki SIP dalam menangani pasiennya berdasarkan pasal pasal pidana yang telah dihapus 7 tahun sebelum Putusan itu dibacakan.Â
Tahukah anda siapa yang telah 'menghadiahkan' pidana penjara tersebut buat dr. Bambang ?.
Pidana penjara ini dijatuhkan oleh sebuah institusi pengadil hukum tertinggi di negeri ini yang bernama Mahkamah Agung. Â Believe it or not !!
( https://news.detik.com/berita/d-2687735/astaga-ma-penjarakan-dokter-bambang-dengan-pasal-yang-sudah-dihapus-mk ).
Dalam kasus yang lain, seorang dokter pernah dilaporkan oleh pasiennya ke Polisi dan dituduh telah melakukan tindak pidana  gara gara kekeliruan si dokter dalam memberikan obat cairan infus  kepada pasiennya yang dirawat di rumah sakit.
Anehnya, tuntutan ini diterima oleh Polisi, padahal  tindakan  dokter tersebut tidak menimbulkan kerugian apapun terhadap pasien tersebut.
Mungkin pak Polisi lupa bahwa unsur kerugian sebagai akibat dari suatu perbuatan pidana, Â yang dalam kasus medis dapat berupa cedera, kecacatan ataupun kematian adalah unsur yang super penting dan harus terpenuhi di dalam suatu tindak pidana.
Keempat. Penafsiran hukum yang sempit.
Dalam kasus dr. Ayu dkk seperti yang telah ditulis di atas, tuntutan pidana terhadap mereka didasarkan atas Delik Materil dengan unsur kelalaian berdasarkan pasal 359 KUHP. Apa sih yang dimaksud dengan Delik Materil itu ?.
Kata Delik yang merupakan sinonim dari Tindak Pidana -mengacu kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia- adalah perbuatan manusia yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang undang  tindak pidana
Prof. Dr. Teguh Prasetyo,SH,MSi mengatakan (Hukum Pidana, 2019, hal. 59) , 'Delik Materil adalah suatu delik dimana titik beratnya pada akibat yang dilarang dan delik itu dianggap selesai jika akibatnya sudah selesai, bagaimana cara melakukan perbuatan itu tidak menjadi masalah'
Delik ini dianggap telah selesai dengan ditimbulkannya akibat yang dilarang dan diancam dengan hukuman oleh undang-undang (Dasar Dasar Hukum Pidana Indonesia, 1984, hal. 213)
Kembali kepada kasus dr. Ayu dkk.
Hasil pemeriksaan Visum et Repertum terhadap jenazah mengungkapkan adanya emboli ( gelembung ) udara yang masuk ke dalam bilik kanan jantung ibu Siska sehingga menghambat aliran darah yang masuk ke paru parunya yang menyebabkan kegagalan fungsi jantung  dan kemudian berakhir dengan kematiannya.
Dakwaan kelalaian pada perbuatan yang mengakibatkan munculnya emboli udara sebagai faktor resiko penyebab kematian ini tidak dapat dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum,  demikian hubungan antara rangkaian tindakan di dalam operasi tersebut dengan munculnya emboli udara sama sekali tidak terbukti.
Misalnya dipertanyakan apa penyebab, bagaimana terjadinya dan darimana munculnya emboli udara yang mengakibatkan kematian pasien itu ?. Pertanyaan pertanyaan ini tidak bisa terjawab. Â Ini berarti, tidak ada hubungan antara rangkaian tindakan operatif dengan emboli udara yang menyebabkan kematian pasien itu.
Dengan perkataan lain, Delik Materil yang didakwakan itu tidak pernah dapat dibuktikan oleh Jaksa. Nah, atas dasar inilah, Pengadilan Negeri Manado membebaskan dr. Ayu dkk.
Namun, di tingkat kasasi, Jaksa Penuntut Umum mengubah substansi kelalaian menjadi kelalaian dalam pengurusan SIP sehingga mereka didakwakan menjalankan praktik tanpa memiliki SIP.Â
Tuduhan lain adalah memalsukan tanda tangan pasien di dalam lembar persetujuan tindakan medis (Â Informed Consent ). Mahkamah Agung, akhirnya memvonis mereka telah melakukan kesalahan dengan adanya kelalaian dan dipidana penjara selama 10 bulan.
Menurut Dr. Nasser, merubah penafsiran terhadap unsur kelalaian  dalam pengurusan administrasi praktik/pelayanan kesehatan ( seperti SIP dan Informed Consent )  menjadi kelalaian dalam tindak pidana/kejahatan menunjukkan kesempitan dalam menafsirkan hukum dan aturan perundang undangan yang berkaitan dengan kasus kasus medis. Disini, tercium aroma 'paksa' untuk mempidanakan para terdakwa.
Lebih lanjut beliau menegaskan, bahwa asas asas keadilan di dalam Tindak Pidana Medik tidak akan pernah dapat dicapai jika semua kasus kasus medis  ditangani sebagai Tindak Pidana Umum.
Pada keadaan seperti inilah, lanjut beliau, kita dapat merasakan pentingnya pemahaman yang baik dan mendalam terhadap Hukum Pidana Medik dan Tindak Pidana Medik. Â
KEADILAN, KEPASTIAN DAN MANFAAT HUKUM
Gustav Radbruch ( 21 November 1878 -- 23 November 1949 ) yang pernah menjabat sebagai Menteri Hukum di negara Jerman sekaligus juga sebagai pakar hukum, politikus dan filsuf hukum menuturkan bahwa ada tiga tujuan hukum yaitu keadilan, kepastian dan kemanfaatan (Â Keadilan Bermartabat, Prof.Teguh Prasetyo, SH,MSi, 2023 )
Menurut hemat kami,  'pemaksaan' penerapan pidana umum terhadap kasus kasus medik yang disamakan dengan penerapan pidana umum terhadap kasus kasus umum yang bukan kasus medis, disamping dapat mencederai rasa keadilan, juga berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum.
Hal ini dapat berdampak pada munculnya keresahan di kalangan para tenaga medis/kesehatan karena adanya upaya yang cenderung mendeskreditkan profesi mereka, apalagi disertai dengan viralnya tudingan tudingan sebagian masyarakat dengan menggunakan istilah malapraktik yang sangat tendensius dan cenderung memojokkan itu.Â
Pada akhirnya, kondisi seperti ini dapat mengakibatkan menurunnya rasa percaya ( trust ) masyarakat terhadap para dokter dan Tenaga Kesehatan , yang pada gilirannya akan merugikan  banyak pihak.
Segera setelah dr. Ayu dkk divonis pidana penjara oleh MA,  ribuan dokter melakukan demonstrasi dan menganjurkan mogok nasional untuk memprotes putusan -yang mereka sebut sebagai upaya  'kriminalisasi'- terhadap kolega mereka dr. Ayu dkk tersebut ( Dosen Dokter Ayu Ikut Demo di Jakarta - Nasional Tempo.co )
KESIMPULAN
Berangkat dari uraian panjang lebar di atas, kita dapat mengambil kesimpulan sebagai berikut :Â
- Komunikasi yang baik antara tenaga medis/kesehatan dengan pasien/keluarganya adalah cara terbaik untuk mengurangi kemungkinan tuntunan hukum yang diakibatkan oleh ketidakpuasan dan harapan yang keliru dari pasien atas pelayanan kesehatan yang diberikan oleh Tenaga Medis/kesehatan.
- Tindak Pidana Medis tidak dapat diperlakukan sama seperti Tindak Pidana Umum.
- Jangan memperlakukan Pidana Medik sebagai Pidana Umum. Karena, Pidana Medik itu bukan Pidana Umum !
Salam sehat buat kita semua
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H