Keberadaan Ibu Ida Dayak ini segera saja viral dan menjadi isu percakapan nasional.
Banyak yang pro dan tak sedikit pula yang kontra.Â
Tentu saja, yang paling keras menyuarakan penolakan terhadap praktik pengobatan ala Ibu Dayak ini datang dari kalangan dokter, perawat dan insan insan kesehatan lainnya.
Setidaknya, mereka mempersoalkan 2 hal.
Pertama, mereka menganggap bahwa praktik praktik semacam ini dianggap tidak valid (sahih) dan tidak dapat 'dicerna' lewat penalaran medis. Bahasa kerennya, tidak berpijak  kepada  Evidence Based Medicine (EBM) atau pengobatan berbasiskan bukti bukti ilmiah, sehingga berpotensi mencederai pasien.
Kedua, mereka mempertanyakan bagaimana mungkin Pemerintah memberikan izin buat praktik praktik 'perdukunan atau para normal' yang 'tidak masuk akal' seperti ini.
Saya akan mencoba  'mengulik' seluk beluk di seputar praktik  Mak Engkoh, Ibu Ida Dayak dan praktik praktik 'para normal' sejenis lainnya dilihat dari 'kacamata'  Undang Undang Kesehatan Omnibus (UU Kesehatan) nomor 17 tahun 2023 yang baru saja disahkan oleh DPR dan diundangkan di dalam Lembaran Negara.
PENGAKUAN NEGARAÂ
Kini, Mak Engkoh, Ibu Ida Dayak dan 'bestie bestie' Â mereka bolehlah tersenyum lega. Pasalnya, keberadaan mereka telah diakui negara lewat Undang Undang Kesehatan Omnibus yang baru itu. Masa Iya ?.
Mari kita buka Bab VIII tentang Sumber Daya Manusia Kesehatan.
Sumber Daya Manusia Kesehatan terbagi atas 3 jenis (pasal 197), yakni Tenaga Medis, Tenaga Kesehatan dan Tenaga Pendukung atau Penunjang Kesehatan.
Yang termasuk di dalam kelompok Tenaga Medis  adalah dokter, dokter gigi beserta spesialis dan subspesialis masing masing.