Mohon tunggu...
Riki Tsan
Riki Tsan Mohon Tunggu... Dokter - Dokter Spesialis Mata

Eye is not everything. But, everything is nothing without eye

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Artikel Utama

Kritik Terhadap Model Hubungan Dokter-Pasien: Perspektif Teori Keadilan Bermartabat

11 Agustus 2023   00:32 Diperbarui: 20 Agustus 2023   07:15 1146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dr.Riki Tsan,SpM

Pengetahuan tentang adanya hubungan antara dokter dan pasien telah dikenal sejak zaman Yunani Kuno, 18 abad sebelum Masehi, dengan ditemukannya sebuah dokumen yang dikenal dengan nama Codex Hammurabi (Piagam Hammurabi).

Salah satu isi dari Piagam Hammurabi yang berhubungan dengan Hukum Kesehatan adalah adanya hubungan hukum antara dokter atau tabib dengan pasien perihal ganti rugi, yang berbunyi:

'Seorang dukun (tabib) yang pasiennya meninggal dunia ketika sedang menjalani operasi, dijatuhi hukuman berupa kehilangan tangannya dengan cara dipotong (Dr.H.Desriza Rahman SH,MHKes, Aspek Hukum Informed Consent dan Rekam Medis dalam Transaksi Terapeutik hal. 20)

Hubungan antara dokter dan pasien merupakan hubungan yang sangat pribadi karena didasarkan atas kepercayaan dari pasien terhadap dokter.

Hubungan yang sangat pribadi itu, oleh Wilson digambarkan seperti hubungan antara pendeta dan jamaahnya yang sedang 'curhat', mencurahkan perasaannya atau isi hatinya. (Dr.Hj Endang K,SH,MHum,Transaksi Terapeutik dalam Upaya Pelayanan Tenaga Medis di Rumah Sakit, hal.97)

Belakangan, Szas dan Hollender (1956) dan juga Solis menganalisis perkembangan hubungan dokter dan pasien dalam 3 model/pola/fase, yakni model Activity-Passivity/Paternalistik, model Guidance-Cooperation dan model Mutual Participation (Solis,Legal Medicine 1980,hal 33)

Kita akan menguraikan secara singkat masing masing model hubungan dokter dan pasien berikut ini.

1. Model Activity-Passivity Relation/Paternalistik 

Secara historis, model Aktif-Pasif atau Paternalistik ini merupakan model klasik yang sudah dikenal sejak profesi kedokteran mulai mengenal Kode Etik, yakni sejak zaman Hippokrates, beberapa abad yang silam.

Model hubungan Paternalistik adalah hubungan yang hanya semata mata berfokus kepada kegiatan yang dilakukan oleh seorang dokter terhadap pasiennya. Hubungan ini terwujud sedemikian rupa sehingga pasien itu tidak dapat melakukan fungsi dan peranannya secara aktif.

Solis di dalam Legal Medicine mengatakan: 'There is no interaction between physician and patient because the patient is unable to contribute activity. This is the characteristic pattern in emergency situation when patient is unconscious'

Dalam model Paternalistik ini, sesungguhnya tidak ada interaksi antara dokter dan pasiennya karena pasien tersebut tidak dapat memberikan kontribusi apapun sama sekali.

Model seperti ini mirip dengan situasi gawat darurat dimana pasien dalam keadaan tidak sadar. Pasien hanya sekadar menerima pelayanan atau tindakan medis, yang tidak dapat memberikan respon dan tidak berperan sama sekali.

Prototipe hubungan Aktif-Pasif ini seperti hubungan orang tua dengan anaknya yang masih kecil. Si anak hanya menerima semua hal yang dilakukan oleh orangtuanya kepada dirinya. Seluruh hubungan anak dan orang tuanya hanya tergantung kepada si orang tua yang dianggap tahu apa yang terbaik buat anaknya, Father Knows Best.

Pola dasar hubungan Paternalistik menempatkan dokter pada pihak yang sepenuhnya berkuasa. Menurut Jones dan Marmor, hubungan ini memberikan dokter suatu perasaan superior dan menjadikan dokter menguasai seluruh keadaan. 

Dalam penelitiannya, keduanya menemukan bahwa para dokter tidak lagi mengidentifikasi pasien mereka sebagai manusia hidup, tetapi hanya sebagai benda biomedik yang tidak memiliki kesadaran dan kehendak.

Karena itulah tidak berlebihan kalau Jones, seorang sosiolog, menyebut dokter sebagai God Complex, karena memikul tanggung jawab tunggal terhadap segala risiko yang mungkin timbul akibat tindakan yang dilakukannya. Pada model ini, fokus utama hubungan antara dokter dan pasien hanyalah berpusat kepada aspek medis saja, belum menyentuh aspek hukum.

2. Model Guidance-Cooperation

Dalam model Guidance-Cooperation (Membimbing dan Bekerjasama), dokter berperan memberikan nasehat dan bimbingan kepada pasien. Adapun peran pasien adalah dalam bentuk kerjasama yakni melaksanakan apa yang diinginkan oleh dokter. Disini dokter tidak lagi menganggap pasiennya sebagai benda biomedik belaka, namun dianggap dapat diajak bekerjasama dalam upaya penyembuhan penyakitnya.

Model hubungan seperti ini mirip dengan hubungan orang tua dan anak remajanya. Orang tua memberikan nasihat dan bimbingan, sedangkan si anak yang sudah remaja itu akan bekerjasama dengan orang tuanya dengan mengikuti nasihat dan bimbingan orang tuanya. Orang tua sudah mulai membuka ruang dialog dengan anaknya walaupun keputusan akhir tetap berada di tangan si orang tua.

Solis di dalam Legal Medicine, mengatakan:

Although the patient is ill, he is conscious and has the feeling and aspiration of his own. Since he is suffering from pain, anxiety and other distressing symptoms, he seeks help and is ready and willing to cooperate. The physician considers himself in a position of trust.

Dalam konteks hubungan dokter dan pasien, pasien yang sakit berada dalam keadaan sadar. Dia membutuhkan bantuan dokter serta siap untuk bekerja sama. Disini, pasien sudah mulai diajak bicara oleh dokternya.

Namun, pasien hanya sekadar diberi penjelasan tentang penyakitnya, pengobatan ataupun tindakan medis yang akan dilakukan oleh dokter terhadap dirinya, karena keputusan akhir tetap berada pada kewenangan dokter. Dokter menganggap dirinya berada dalam posisi yang harus dipercaya.

Pada model semi paternalistik ini mulai timbul aspek hukum walaupun masih didominasi oleh aspek medis.

3. Model Mutual Participation

Model Mutual Participation atau model hubungan Saling Berperan Serta adalah model hubungan dokter dan pasien yang dikenal sekarang ini. Model ini berpijak kepada struktur sosiologis yang semakin demokratis dimana telah terjadi pergeseran nilai nilai terkait hubungan antara dokter dan pasien. Munculnya kesadaran bahwa semua manusia memiliki kesetaraan hak, kedudukan dan martabat yang sama di depan hukum.

Hubungan dokter dan pasien yang semula berada pada fase paternalistik (superior versus inferior), bergeser ke arah fase semi paternalistik dan kini berada fase kesetaraan dimana aspek hukum telah mensejajarkan diri dengan aspek medis.
Hubungan dokter dan pasien kini diikat dengan sebuah perikatan hukum yang didasarkan atas perjanjian kedua belah pihak.

Sebagaimana sudah kita ketahui, hubungan antara dokter dan pasien berawal saat pasien datang ke praktek dokter dan mengeluhkan masalah kesehatannya untuk mendapatkan pertolongan dari dokter tersebut.

Hubungan ini mewujudkan suatu kontrak atau perjanjian antara dokter dan pasien yang lazim dikenal dengan istilah Perjanjian Terapeutik, Perikatan Terapeutik, Transaksi Terapeutik atau—istilah yang dipakai oleh Dr. M.Nasser SpKK, staf pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Militer Jakarta—Kontrak Terapeutik, yang diterjemahkan dari istilah berbahasa Inggeris Therapeutic Contract

Kontrak Terapeutik adalah perjanjian antara dokter dengan pasien berupa hubungan hukum yang melahirkan hak dan kewajiban bagi kedua belah pihak, yang tidak harus berbentuk perjanjian tertulis.

Dasar dasar perjanjian di dalam Kontrak Terapeutik mengacu kepada kaidah kaidah hukum perjanjian nasional yang memuat ketentuan umum perihal perikatan atau perjanjian seperti yang termaktub di dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata Buku III tentang perikatan (Van Verbintennisen).

Misalnya, pada pasal 1313 tentang defisini perikatan, pasal 1320 tentang syarat syarat sahnya suatu perjanjian atau perikatan dan berbagai pasal pasal lainnya.

Namun demikian, Kontrak Terapeutik berbeda sama sekali dengan perjanjian pada umumnya. Perbedaannya terletak pada objek perjanjiannya.

Pada Kontrak Terapeutik, tujuan utama perjanjian bukanlah terletak pada hasil yang berupa kesembuhan pasien (resultaat verbintenis), namun terletak pada upaya maksimal atau proses atau upaya yang dilakukan untuk kesembuhan pasien (inspaning verbintenis).

Setelah menguraikan ketiga model hubungan dokter dan pasien di atas, kita akan menganalisis dan mengkritik ketiga model ini dengan menggunakan Teori Keadilan Bermartabat yang digagas oleh Prof. Dr.Teguh Prasetyo,SH,MSi. Seterusnya, kita mencoba menawarkan sebuah model baru dalam hubungan dokter dan pasien yang berpijak kepada prinsip, asas dan pemahaman terhadap Teori Keadilan Bermartabat.

DOKUMENTASI PRIBADI
DOKUMENTASI PRIBADI

TEORI KEADILAN BERMARTABAT

Teori Keadilan Bermartabat adalah sebuah teori hukum yang digagas oleh Prof. Dr.Teguh Prasetyo,SH,MSi, Guru Besar Ilmu Hukum di Universitas Pelita Harapan dan Sekolah Tinggi Hukum Militer (STHM) Jakarta. Prof. Teguh sendiri telah menulis lebih dari 50 buku terkait Ilmu Hukum dan berbagai aspek yang terkait dengan hukum.

Khusus tentang Teori Keadilan Bermartabat, Prof.Teguh telah menuangkannya di dalam bukunya yang berjudul Keadilan Bermartabat, Perspektif Teori Hukum, yang diterbitkan pada bulan Juni tahun 2021.

Buku setebal 201 halaman itu memuat semua aspek yang berkaitan dengan Teori Keadilan Bermartabat. Tidak mungkin kita menampilkan semua aspek tersebut di sini.

Kita hanya akan memaparkan inti sari dari Teori Keadilan Bermartabat ini yang dicuplik dari buku tersebut, disertai dengan buku buku lainnya yang ditulis oleh Prof.Teguh seperti buku Filsafat,Teori dan Ilmu Hukum, Pemikiran Menuju Masyarakat yang Berkeadilan dan Bermartabat (2020), dan buku Ilmu Hukum & Filsafat Hukum, Studi Pemikiran Ahli Hukum Sepanjang Zaman (2020)

Pertanyaan yang 'menggelitik' ialah kenapa kita harus memilih Teori Keadilan Bermartabat yang digagas Prof.Teguh sebagai pisau analisis untuk 'membedah' ketiga model hubungan dokter dan pasien yang selama ini telah kita kenal dan kita yakini keajegannya?

Jawabnya sederhana, Karena Teori Keadilan Martabat digali dari jiwa bangsa (Volgsgeist) kita sendiri yakni Pancasila yang telah menjadi falsafah bangsa, pandangan hidup (way of life), sumber dari sumber segala kesepakatan serta sumber dari segala sumber hukum. Dengan kata lain, Pancasila mencerminkan jati diri kita, entah itu sebagai pribadi maupun sebagai masyarakat dari sebuah bangsa yang merdeka dan berdaulat.

Lalu, apa yang dimaksud dengan Teori Keadilan Bermartabat itu sendiri?

Teori Keadilan Bermartabat adalah suatu nama dari teori hukum atau yang dikenal dalam literatur berbahasa Inggeris dengan konsep Legal Theory, Jurisprudence atau Philosophy of Law.

Sebagaimana halnya sebuah teori, Teori Keadilan Bermartabat disamping sebagai alat (tool) yang digunakan untuk menjelaskan dan menganalisis fenomena atau peristiwa yang terjadi, juga memiliki nilai manfaat buat manusia dan masyarakat, dengan tujuan pokok keadilan yang memanusiakan manusia atau keadilan yang nge wong ke wong.

Namun, sebagai suatu hasil dari proses kegiatan berfikir yang berdisiplin dan mentaati kaidah kaidah keilmuan, Teori Keadilan Bermartabat dapat juga kita sebut sebagai suatu pemikiran atau filsafat.

Terkait dengan hal ini, Teori Keadilan Hukum Bermartabat melakukan pendekatan terhadap hukum secara filosofis atau dengan kata lain memahami hukum dengan cinta kepada kebijaksanaan sesuai dengan arti dari filsafat itu sendiri. Pemikiran filsafati akan membawa kepada pemahaman dan pemahaman membawa kepada tindakan yang layak, baik dan benar.

Dilihat dari sudut pemikiran filsafati, ada beberapa ciri khusus yang dapat kita serap dari Teori Keadilan Bermartabat ini.
Pertama, bahwa Teori Keadilan Bermartabat adalah suatu usaha untuk memahami atau mendekati pikiran Tuhan. Dalam penafsiran saya, yang dimaksud dengan 'pikiran Tuhan' itu adalah 'kehendak' Tuhan'.

Kedua, berfikir secara radikal namun tidak dogmatis serta tidak skeptis.
Berfikir secara radikal diartikan sebagai pendekatan atau pola pikir yang mendorong pemikiran yang mendalam, inovatif dan revolusioner terhadap suatu isu atau konsep. Orang yang berfikir secara radikal cenderung mencari solusi diluar norma atau pemikiran konvensional.

Ketiga, dalam berfikir secara mendasar harus bertanggung jawab terhadap hati nurani yang dikaruniakan Tuhan kepada manusia.

Itulah sebabnya—merujuk kepada ciri ketiga ini—Teori Keadilan Bermartabat berpandangan bahwa akal budi, karsa dan rasa merupakan pemegang otoritas tertinggi (imperium) bagi manusia dalam menjalani kehidupannya di dunia ini. Sehingga, prinsip Teori Keadilan Bermartabat dalam memanusiakan manusia (nge wong ke wong) itu dapat kita katakan juga sebagai upaya mendayagunakan kesempatan yang diberikan Tuhan untuk membantu sesama hambaNya lewat kegiatan berfikir.

Terkait dengan persoalan keadilan dalam perspektif Teori Keadilan Martabat, marilah kita lihat kembali kepada Pancasila.

Pancasila sebagai falsafah bangsa dalam perspektif hukum berarti bahwa Pancasila sebagai landasan untuk menilai suatu keadilan. Keadilan hukum dalam perspektif Pancasila adalah keadilan yang dilandasi oleh sila kedua yaitu Kemanusiaan yang Adil dan Beradab.

Dengan dilandasi sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab ini, kita dapat menegaskan bahwa keadilan hukum yang dimiliki bangsa Indonesia adalah keadilan yang memanusiakan manusia. Keadilan berdasarkan sila kedua Pancasila itulah yang menjadi landasan utama dari asas asas Teori Keadilan Bermartabat.

Saya mencoba merangkum asas asas yang dianut oleh Teori Keadilan Bermartabat. Asas asas tersebut adalah sebagai berikut:

  • Setiap orang diperlakukan sama dan setara di muka hukum dengan tidak menciptakan pembedaan perlakuan (Asas Kesetaraan)
  • Keadilan harus dapat menyeimbangkan antara hak dan kewajiban (Asas Keseimbangan)
  • Keadilan selalu terkandung di dalam hukum. Apabila tidak ada keadilan, maka tidak ada hukum. Adapun kekuatan moral diyakini sebagai kekuatan untuk memegang teguh prinsip keadilan ini (Asas Keadilan Moral)
  • Keadilan yang wajib disediakan sistem hukum adalah keadilan yang berdimensi spiritual yang berada di kedalaman konsep kemerdekaan (Asas Keadilan Spiritual)

 ANALISIS/KRITIK

Berangkat dari paparan di atas, marilah kita 'mengulik' ketiga model hubungan dokter dan pasien lewat Teori Keadilan Bermartabat, sebagai berikut:

1. Model Hubungan Activity-Passivity (Paternalistik)—menurut hemat saya—tidak selaras dengan prinsip dan Asas Kesetaraan dari Teori Keadilan Bermartabat, karena di dalam model ini dokter dan pasien tidak berada dalam posisi yang setara serta tidak tegasnya hak dan kewajiban keduanya (tidak memenuhi Asas Keseimbangan).

Terlebih lagi, di dalam model Paternalistik ini, pasien hanya diperlakukan sebagai benda biomedik belaka, yang tentu saja berlawanan dengan prinsip dan hakikat Teori Keadilan Bermartabat yang bertujuan memanusiakan manusia (nge wong ke wong).

2. Di dalam model Guidance-Cooperation (Membimbing dan Bekerjasama), hubungan dokter dan pasien sedikit lebih baik dinandingkan model yang pertama.

Di satu sisi, pasien sudah diberikan ruang dialog untuk menyampaikan pendapatnya dan bekerjasama secara aktif berkaitan dengan pelayanan/tindakan medis yang diberikan oleh dokter. Di sini, dokter berperan memberikan nasehat, bimbingan dan memberikan penjelasan tentang tindakan medis yang akan dilakukannya kepada kepada pasien.

Namun, di sisi lain, keputusan tindakan medis apa yang akan dilakukan terhadap pasien, tetap berada di tangan dokter. Pasien tidak dapat memilih keputusan mana yang terbaik buat dirinya.

Menurut pendapat saya, kondisi seperti ini masih belum sejalan dengan Asas Kesetaraan dan Asas Keseimbangan, serta upaya untuk memberikan pelayanan medis yang Adil dan Bermartabat, walaupun sudah ada sedikit kemajuan dibandingkan dengan model hubungan Paternalistik.

3. Model hubungan Mutual Participation (Saling Berperan Serta) digadang gadang sebagai model paling ideal dan fase terbaik saat ini dalam konteks hubungan dokter dan pasien dibandingkan kedua model atau kedua fase sebelumnya.

Dalam model hubungan Saling Berperan Serta, dokter dan pasien memiliki kekuasaan yang hampir setara dan saling membutuhkan. Hak hak pasien akan dijamin dengan dokter diharuskan menjalankan kewajiban kewajibannya. Hubungan dokter dan pasien pada model atau fase ini adalah hubungan kontraktual yang mengikuti aturan hukum nasional di bidang perjanjian dan perikatan.

Apabila hubungan dokter dan pasien tidak berjalan dengan baik, maka akan menyebabkan ketimpangan antara hak dan kewajiban kedua belah pihak sehingga akan menimbulkan implikasi hukum. Umumnya pihak pasien selalu merasa dalam posisi yang dirugikan sehingga menuntut tanggung jawab dokter dalam pelaksanaan pelayanan/tindakan medis

Dalam perkembangannya selanjutnya, hubungan dokter dan pasien dalam model Saling Berperan Serta ini lebih terpusat kepada hukum kontraktual semata, lebih banyak berbicara soal tuntutan tanggung jawab dokter ataupun soal hak dan kewajiban kedua belah pihak, khususnya jika terjadi konflik, sengketa ataupun gugatan pasien terhadap dokter ke pengadilan.

Dalam perspektif Teori Keadilan Bermartabat, walaupun hubungan dokter dan pasien sudah memenuhi Asas Kesetaraan dan Asas Keseimbangan, namun, menurut pendapat kami, belum memenuhi Asas Keadilan Moralitas, Asas Keadilan Spiritual dan prinsip pokok Keadilan Bermartabat yang memanusiakan manusia dan menjadikan hati nurani atau akal budi, karsa dan rasa sebagai pemegang kendali tertinggi dalam hubungan antara dokter dan pasien.
Hubungan dokter dan pasien hanya semata mata hubungan perikatan yang kaku, tidak berjiwa, kering dan steril dari nuansa keluhuran budi

Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini. Di antaranya ialah:

  • Pemahaman ajaran hukum murni terhadap hubungan antara dokter dan pasien yang semata mata mengkaji 'law as it is written in the books', yang berorientasi positivistik dan doktrinal atau dogmatis. Pandangan semacam ini bertolak dari pemikiran bahwa hukum hanyalah sekedar norma norma positip di dalam sistem perundang undangan.
  • Proses penerapan hukum kesehatan yang cenderung menganut paham positivisme telah mengesampingkan aspek aspek moral, etik, keluhuran budi,welas asih serta aspek spiritual sehingga membutakan mata hati dan nurani para pihak dalam konteks hubungan dokter dan pasien.
  • Pergeseran corak layanan kedoteran yang mulanya bersifat kemanusiaan, sejalan dengan perkembangan waktu, berubah menjadi utilitarianistik dan materialistik dengan orientasi bisnis dan keuntungan ekonomi. Hal ini juga dipicu dengan maraknya perkembangan dan pertumbuhan industri di bidang pelayanan kesehatan dengan investasi dana yang sangat besar.

MENGGAGAS MODEL BARU 

Berdasarkan analisis dan kritik di atas, penulis menyimpulkan bahwa ketiga model hubungan dokter dan pasien bukanlah model hubungan yang dicita-citakan (ideal) dan lini masa hari ini, karena belum dapat memenuhi prinsip, asas, dan tujuan pokok dari Teori Keadilan Bermartabat.

Bertolak dari kesimpulan ini, kami menawarkan sebuah paradigma atau teori baru, dalam hubungan dokter dan pasien yang bercorak kemanusiaan sebagai pengejawantahan pikiran dan kehendak Tuhan, yang lebih mengedepankan asas asas keadilan, norma norma moralitas dan etik, hubungan kekeluargaan, keluhuran budi dan spiritualitas.

Teori Hubungan dokter dan pasien ini kami sebut dengan Teori Hubungan Keadilan Bermartabat atau, bahasa kerennya, Dignified Justice of Relationship Theory.

Teori ini akan menjadi model baru atau fase keempat dalam hubungan dokter dan pasien untuk melengkapi model model hubungan dokter dan pasien lainnya yang telah ada selama ini.

Terakhir, saya ingin mengutip apa yang disampaikan Prof.Dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD terkait hubungan dokter dan pasien ini seperti termaktub di dalam Harian KOMPAS, 5 November 2014, sebagai berikut:

Era yang memposisikan dokter lebih tinggi telah berlalu. Dokter dan pasien sekarang posisinya sejajar. Alangkah lebih baik, jika hubungan keduanya menjurus kepada persahabatan.

Kita harus menghindari hubungan dokter dan pasien yang kental dengan nuansa bisnis. Semua tindakan diperhitungkan dari aspek bisnis.
Layanan kedokteran merupakan layanan kemanusiaan dan tetap harus menjunjung tinggi nilai nilai kemanusiaan.

Terima kasih

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun