3. Model hubungan Mutual Participation (Saling Berperan Serta) digadang gadang sebagai model paling ideal dan fase terbaik saat ini dalam konteks hubungan dokter dan pasien dibandingkan kedua model atau kedua fase sebelumnya.
Dalam model hubungan Saling Berperan Serta, dokter dan pasien memiliki kekuasaan yang hampir setara dan saling membutuhkan. Hak hak pasien akan dijamin dengan dokter diharuskan menjalankan kewajiban kewajibannya. Hubungan dokter dan pasien pada model atau fase ini adalah hubungan kontraktual yang mengikuti aturan hukum nasional di bidang perjanjian dan perikatan.
Apabila hubungan dokter dan pasien tidak berjalan dengan baik, maka akan menyebabkan ketimpangan antara hak dan kewajiban kedua belah pihak sehingga akan menimbulkan implikasi hukum. Umumnya pihak pasien selalu merasa dalam posisi yang dirugikan sehingga menuntut tanggung jawab dokter dalam pelaksanaan pelayanan/tindakan medis
Dalam perkembangannya selanjutnya, hubungan dokter dan pasien dalam model Saling Berperan Serta ini lebih terpusat kepada hukum kontraktual semata, lebih banyak berbicara soal tuntutan tanggung jawab dokter ataupun soal hak dan kewajiban kedua belah pihak, khususnya jika terjadi konflik, sengketa ataupun gugatan pasien terhadap dokter ke pengadilan.
Dalam perspektif Teori Keadilan Bermartabat, walaupun hubungan dokter dan pasien sudah memenuhi Asas Kesetaraan dan Asas Keseimbangan, namun, menurut pendapat kami, belum memenuhi Asas Keadilan Moralitas, Asas Keadilan Spiritual dan prinsip pokok Keadilan Bermartabat yang memanusiakan manusia dan menjadikan hati nurani atau akal budi, karsa dan rasa sebagai pemegang kendali tertinggi dalam hubungan antara dokter dan pasien.
Hubungan dokter dan pasien hanya semata mata hubungan perikatan yang kaku, tidak berjiwa, kering dan steril dari nuansa keluhuran budi
Ada beberapa faktor yang menyebabkan hal ini. Di antaranya ialah:
- Pemahaman ajaran hukum murni terhadap hubungan antara dokter dan pasien yang semata mata mengkaji 'law as it is written in the books', yang berorientasi positivistik dan doktrinal atau dogmatis. Pandangan semacam ini bertolak dari pemikiran bahwa hukum hanyalah sekedar norma norma positip di dalam sistem perundang undangan.
- Proses penerapan hukum kesehatan yang cenderung menganut paham positivisme telah mengesampingkan aspek aspek moral, etik, keluhuran budi,welas asih serta aspek spiritual sehingga membutakan mata hati dan nurani para pihak dalam konteks hubungan dokter dan pasien.
- Pergeseran corak layanan kedoteran yang mulanya bersifat kemanusiaan, sejalan dengan perkembangan waktu, berubah menjadi utilitarianistik dan materialistik dengan orientasi bisnis dan keuntungan ekonomi. Hal ini juga dipicu dengan maraknya perkembangan dan pertumbuhan industri di bidang pelayanan kesehatan dengan investasi dana yang sangat besar.
MENGGAGAS MODEL BARUÂ
Berdasarkan analisis dan kritik di atas, penulis menyimpulkan bahwa ketiga model hubungan dokter dan pasien bukanlah model hubungan yang dicita-citakan (ideal) dan lini masa hari ini, karena belum dapat memenuhi prinsip, asas, dan tujuan pokok dari Teori Keadilan Bermartabat.
Bertolak dari kesimpulan ini, kami menawarkan sebuah paradigma atau teori baru, dalam hubungan dokter dan pasien yang bercorak kemanusiaan sebagai pengejawantahan pikiran dan kehendak Tuhan, yang lebih mengedepankan asas asas keadilan, norma norma moralitas dan etik, hubungan kekeluargaan, keluhuran budi dan spiritualitas.
Teori Hubungan dokter dan pasien ini kami sebut dengan Teori Hubungan Keadilan Bermartabat atau, bahasa kerennya, Dignified Justice of Relationship Theory.
Teori ini akan menjadi model baru atau fase keempat dalam hubungan dokter dan pasien untuk melengkapi model model hubungan dokter dan pasien lainnya yang telah ada selama ini.