"Menangislah selagi bisa, Bu. Penyesalan dan kesedihan itu memang pasangan sejati."
Dengan lunglai aku menengadahkan kedua telapak tangan, berandai-andai air mataku masih bisa menetes ke situ.
"Saya menyesal, Pak," ujarku setelah beberapa saat. "Saya menyesali kehidupan dan kematian saya. Saya tidak ada artinya untuk siapa pun. Bahkan anak-anak saya pada akhirnya melupakan saya."
"Memang benar, Bu. Anak Ibu yang sulung sepertinya menentang bapaknya kawin lagi, tapi dia masih perlu uang bapaknya. Kuliah tidak murah, Bu, dan dia terlalu malas untuk bekerja sambilan."
Aku mendengus. Memang benar kata pepatah: "kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah".
"Kenapa tidak balas dendam saja, Bu?"
"Maksud Bapak?"
"Gentayangan saja. Hantui mereka. Jangan bikin mereka hidup tenang. Jangan bikin mereka lupa sama Ibu. Siksa mereka dengan gangguan siang dan malam."
Hatiku menyambut hangat ide gila itu. Sebenar-benarnya aku ingin membalas dendam pada suamiku, tapi pada anak-anakku, apakah aku akan tega?
"Mereka pindah ke kota sebelah. Mulai dari awal lagi, kata Bapak. Saya dengar sendiri dari mulutnya waktu dia minta surat keterangan pindah domisili."
"Rumah saya?"