Pelan-pelan kubuka jendela yang menghadap ke taman belakang rumahku. Kutengok ke dalam, sekelebat saja. Kulihat empat orang sedang duduk santai mengelilingi meja makan.
Di ujung meja ada suamiku. Tujuh bulan kutinggalkan dan rambutnya tambah menipis. Ada garis kerutan di sekitar matanya, tanda dia sedang tertawa. Waktu aku pergi sepasang mata itu bengkak, air mata turun tak habis-habis. Sekarang ada binar jenaka, lega, dan ... cinta?
Tunggu, tunggu, apa yang sedang terjadi?
Aku menoleh ke ujung yang satu lagi tempat anakku yang sulung duduk. Dia tampak mencuri pandang ke arah seseorang. Keningnya berkerut, bibirnya terkatup. Aku tahu bahwa dia sedang menahan diri. Aku mendekatinya dan kurasakan aura di atas ubun-ubunnya. Panas, tanda kemarahan yang akan meledak.
Kuikuti pandangan tajam anakku itu dan mataku tertumbuk kepada anak bungsuku. Sambil memutar-mutar spageti dia terkekeh. Mulutnya belepotan karena bicara terlalu cepat. Dadanya naik-turun karena terlalu bersemangat. Senyumnya merekah ketika kepalanya ditepuk mesra oleh orang yang duduk di sebelahnya.
Dengan berisik kukitari meja makan itu. Sepuluh kali, dua puluh kali, lima puluh kali, semakin lama semakin cepat. Namun efek angin ribut yang kuinginkan tak kunjung tercipta, yang ada hanya angin sepoi-sepoi bertiup di ruang makan itu.
Anakku yang bungsu menggigil.
"Tolong tutup jendelanya, Mas," kata suamiku.
"Biar Adik aja yang tutup sendiri."
"Mas!" suamiku menukas. "Jangan bikin Papa malu!"
"Biar aku aja yang tutup, Sayang." Wanita itu bangkit dari kursinya dan menutup semua jendela yang kulewati tadi. Badannya tinggi langsing, rambutnya panjang sepinggang, gerak-geriknya cekatan. Begitu kembali ke meja makan, dia menggosok kedua bahu anakku yang bungsu.
"Ga kedinginan lagi 'kan, Nak?"
"Dia bukan anakmu."
"Mas."
"Siapa dia dan ngapain dia di sini?"
Aku menoleh ke arah suamiku. Pembawaannya biasanya tenang, namun kali ini tidak. Telinganya memerah dan jakunnya naik-turun tanda angkara-murka.
"Dia tamu Papa."
"Apa dia akan menggantikan Mama?"
"Jaga bicaramu, Mas!"
"Apa dia akan menggantikan Mama?" Suara anakku yang sulung meninggi seiring dengan tangisnya yang pecah.
"Aku tahu Papa akan melupakan Mama. Sebelum Mama meninggal, Papa bilang akan menikah lagi karena tidak mau kesepian, karena tidak kuat kalau mengurus kami sendirian. Well, guess what, kami ga butuh ibu tiri. Aku bisa mengurus diriku dan adik. Kami cuma perlu uang Papa."
"Mas!" Kali ini suamiku membanting piring di hadapannya. Spageti dan sausnya berhamburan ke mana-mana. Wanita yang dimaksud anakku hanya terkesiap, tapi kemudian ia sigap mengambil tisu dan mulai membereskan kekacauan yang dibuat suamiku.
Anak bungsuku hanya tertegun memandangi gelasnya yang berisi soda. Soda. Untuk makan malam. Huh. Kalau aku masih hidup, ini tidak akan terjadi.
Suamiku memang selalu ceroboh soal makanan yang bergizi untuk anak-anak. Ketika yang sulung berusia lima tahun dia sukses diopname di rumah sakit karena diare berkepanjangan. Lima hari dan dua puluh juta Rupiah hanya gara-gara dua potong cireng.
Percakapan selanjutnya tak kuikuti karena aku sibuk memandangi anak bungsuku. Anakku sayang, anakku malang. Aku meninggalkannya ketika dia bahkan belum akil baligh. Aku meninggalkannya terlalu tiba-tiba.
Dialah orang yang mendapatiku sudah meninggal dalam tidur. Hanya gara-gara aku tak kunjung menjemputnya, dia nekat pulang jalan kaki dari sekolahnya yang terletak lumayan jauh dari rumah. Waktu itu rohku sudah keluar dari tubuhku, tapi masih bisa kulihat ia menjerit histeris memanggil namaku dari balik pintu kawat nyamuk.
Tanganku ingin menggapainya, namun ragaku sudah tertinggal. Semua usahaku untuk mendekati dan memeluknya hanyalah usaha menjaring angin. Hatiku pedih tercabik-cabik, tapi tak ada tangis yang bisa keluar.
Dengan putus asa kulihat para tetangga merusak lubang kunci dan memaksa masuk ke dalam. Kupandangi anak bungsuku yang memelukku erat sambil berteriak minta maaf.
"Jangan pergi, Mama, jangan mati! Aku janji matematika ga akan dapat nilai nol lagi!"
Dia terus-menerus mengulangi kata-kata itu sambil melolong kesakitan. Para tetangga tak berusaha lagi memisahkannya dari tubuhku yang sudah mendingin. Mereka hanya bisa menundukkan kepala, ikut merasakan kepiluan anakku.
Aku menyesali waktu kami bersama di dunia yang tak banyak, tapi anakku menyesali nilainya yang buruk sesaat sebelum aku meninggal. Betapa satu momen bisa diartikan berbeda oleh isi kepala yang tak sama.
Aku mengayunkan kedua kakiku sambil duduk di atap rumahku. Peristiwa demi peristiwa berkelebat di benakku. Sudah satu bulan berlalu sejak kulihat suamiku membawa pulang wanita itu. Sudah tiga hari berlalu sejak kulihat truk-truk datang silih-berganti mengangkut barang-barang keluar dari rumah yang telah kutinggali selama dua puluh tahun.
Dari jauh aku bisa melihat anak-anakku sibuk berkemas. Aku tidak tahu apakah mereka akan mengikuti ayah mereka dan istri barunya, atau mereka akan tinggal di rumah yang berisi kenangan bersamaku.
Seandainya aku masih punya pita suara, seandainya aku masih punya kantung air mata, seandainya aku masih punya kuku untuk mencakar wajah pria yang pernah berjanji akan selalu setia padaku.
Manusia adalah makhluk dengan ingatan paling pendek. Dulu dia berjanji tidak akan menikah lagi jika aku meninggal duluan. Memulai suatu hubungan lagi dari awal sangatlah melelahkan, begitu katanya. Aku akan fokus mengurus anak-anak saja, sumpahnya.
Empat bulan setelah aku pergi, dia mulai mengirimkan banyak pesan ke telepon genggam seorang wanita di kantornya. Tiga bulan kemudian dia nekat memperkenalkannya kepada anak-anak.
Jiwaku belum bisa lepas dari rumah itu, dari anak-anakku; aku masih terikat pada mereka. Batas-batas alam roh tidak mengijinkanku mengikuti suamiku ke manapun dia pergi. Akan tetapi, aku bisa mengintip dia yang tersenyum simpul setiap kali memandang layar HP sambil menonton televisi. Aku tahu dia tidak lagi mendengar anak-anak bercerita tentang hari mereka. Aku tahu ada seseorang memenuhi benaknya.
Kupandangi tanganku yang tembus pandang. Jika ragaku masih ada, maka aku masih bisa melihat sepasang cincin emas melekat di jari manis kedua tanganku. Cincin kawin di tangan kanan dan cincin dengan ukiran nama anak-anak di tangan kiri.
Kedua cincin itu entah bagaimana nasibnya, sama seperti anak-anakku. Dengan cepat kukitari lagi rumahku yang berbentuk bujur sangkar. Ketika aku lewat pohon-pohon bergoyang kencang, rumput-rumput hampir rebah, dan anjing Pak RT menggonggong di kejauhan.
Brengsek, jahanam, penipu, umpatku.
Tak setia, tak bisa dipercaya, lebih baik mati saja, makiku.
Kalau saja aku tahu akan begini, dulu tak kuterima pinangannya. Dulu aku akan puas dengan karirku yang sedang menanjak. Dulu aku tidak akan mengorbankan banyak hal untuk membesarkan anak-anak tanpa bantuan.
Kenapa aku baru menyesal sekarang, setelah aku menjadi hantu?
"Penyesalan itu datangnya belakangan, kalau duluan namanya antisipasi."
Aku berhenti berkeliling ketika kudengar kalimat itu. Aku menoleh ke kanan dan ke kiri sebelum kusadari yang barusan bicara sedang melayang-layang di atasku. Kalau aku masih punya jantung, pasti jantungku sudah berhenti.
"Lho, Pak RT?"
"Apa kabar, Bu? Sehat-sehat saja, bukan?"
Kalau aku masih punya mulut pasti aku akan ternganga. Pak RT yang rumahnya hanya berjarak sebelas rumah dari rumahku kini terbang di udara sepertiku. Tubuhnya berwarna putih transparan, namun wajahnya masih terukir jelas, tanda bahwa dia belum lama meninggal.
"Kok bisa, Pak?" tanyaku setelah sekian menit termangu.
"Ya bisa dong, semua orang mati, Bu," kelakarnya.
Aku menoleh ke arah suara anjing yang melolong di kejauhan.
"Si Bleki tahu saya masih di sini makanya dia masih suka manggil saya."
"Kapan ..., Pak?" Dengan hati-hati aku melontarkan pertanyaan itu. Aku masih ingat betul temperamennya yang kasar dan meledak-ledak di balik wajahnya yang terlihat santun dan manis.
"Dua hari lalu, Bu. Stroke."
"Langsung lewat?" Ups, harusnya aku menggunakan kalimat tanya yang lebih halus.
"Iyalah. Untungnya begitu, saya malas tinggal di rumah sakit dan dicekoki segala macam kabel. Begini lebih enak buat semua."
"Ibu ga apa-apa?"
"Sudah bisa nerima. Dia sudah nyangka sih stroke saya bakal kambuh lagi, wong saya ga pernah mau minum obat."
"Obatnya banyak ya, Pak?"
"Ratusan."
"Lebih."
Kemudian kami tertawa bersama. Kami terbang ke arah atap rumah tetanggaku dan hinggap di sana, mengamati para kuli berbadan gelap menggotong lemari antik yang kubeli untuk ulang tahun pernikahan yang kedua belas dan memasukkannya ke dalam truk.
"Jangan sedih, Bu. Kita semua akan terlupakan. Pada akhirnya."
"Saya tidak menyangka akan secepat itu, Pak," tukasku getir. "Kalau saya ingat semua pengorbanan saya untuk pernikahan itu, semua yang saya tinggalkan untuk membina keluarga. Cuma perlu tujuh bulan untuk meniadakan kehadiran saya."
"Jadi Ibu menyesal sekarang?"
"Tentu saja."
"Mau lihat proyeksi kehidupan Ibu kalau waktu itu tidak jadi menikah dengan suami?"
Aku melongo. "Memang bisa?"
Pak RT memandangku dengan pongah. "Ga di alam nyata, ga di alam gaib, saya tetap jadi ketua RT, Bu." Dia kemudian mengembangkan kedua tangan dan mengarahkannya ke langit, seakan-akan memanggil hujan. "Sim salabim!" serunya dan voila, sebuah layar putih terkembang di hadapan kami.
Aku tambah terkesima ketika pada layar itu cuplikan adegan demi adegan hadir. Mulai dari saat suami meminang dan aku mengiyakan, acara perpisahan di kantor yang sangat kucintai, hari-hari sepi hanya dengan dua anak di rumah ketika suamiku sibuk bekerja sambil melancong.
Depresi yang menghantamku tanpa kusadari. Ketidakbahagiaan yang mengepungku dan membuatku sulit bernafas. Pelarianku ke makanan karena aku merasa hidupku gagal. Kemarahanku pada anak-anak yang selalu membuat rumah berantakan dan sulit mengerti pelajaran.
Semuanya diputar di depan mataku. Semuanya tambah menderaku dengan sesal. Semuanya membuat aku ingin mati untuk kedua kali.
Tiba-tiba semuanya berganti dengan latar belakang sebuah kantor di lantai teratas sebuah gedung pencakar langit. Diriku yang terlihat sangat berbeda duduk sambil menyilangkan kaki di belakang meja. Gagang kacamataku dilapisi emas, semua kukuku cantik karena dirawat secara rutin.
Aku melihat wanita itu, diriku di dalam kehidupan yang tidak pernah terjadi, berbicara dengan santai dan luwes di depan layar. Senyumnya terkembang mendengar kata-kata lawan bicaranya, bibirnya komat-kamit membalas dalam bahasa Perancis. Begitu telepon ditutup, seorang karyawan menghampirinya membawakan koper dan tiket untuknya. Tujuan Paris malam ini.
Aku pada layar itu tampak bahagia. Aku tampak puas. Sepertinya wanita itu tidak punya penyesalan. Ketika duduk menanti di bandara, sekilas dia memandangi dengan iri seorang ibu yang sedang menggendong bayinya. Setelah itu dia kembali tampak percaya diri dan baik-baik saja. Paling dia hanya iri sebentar, pikirku, dia tidak akan menjerumuskan diri ke dalam siksa neraka di dunia seperti yang telah kulakukan.
Dengan nanar kupandangi langit penuh bintang di atas sana. Layar putih itu tiba-tiba hilang, entah ke mana. Di sampingku Pak RT berdeham pelan. Tangannya dia gerakkan sedemikian rupa seolah-olah dia memberikan sehelai tisu kepadaku.
"Menangislah selagi bisa, Bu. Penyesalan dan kesedihan itu memang pasangan sejati."
Dengan lunglai aku menengadahkan kedua telapak tangan, berandai-andai air mataku masih bisa menetes ke situ.
"Saya menyesal, Pak," ujarku setelah beberapa saat. "Saya menyesali kehidupan dan kematian saya. Saya tidak ada artinya untuk siapa pun. Bahkan anak-anak saya pada akhirnya melupakan saya."
"Memang benar, Bu. Anak Ibu yang sulung sepertinya menentang bapaknya kawin lagi, tapi dia masih perlu uang bapaknya. Kuliah tidak murah, Bu, dan dia terlalu malas untuk bekerja sambilan."
Aku mendengus. Memang benar kata pepatah: "kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah".
"Kenapa tidak balas dendam saja, Bu?"
"Maksud Bapak?"
"Gentayangan saja. Hantui mereka. Jangan bikin mereka hidup tenang. Jangan bikin mereka lupa sama Ibu. Siksa mereka dengan gangguan siang dan malam."
Hatiku menyambut hangat ide gila itu. Sebenar-benarnya aku ingin membalas dendam pada suamiku, tapi pada anak-anakku, apakah aku akan tega?
"Mereka pindah ke kota sebelah. Mulai dari awal lagi, kata Bapak. Saya dengar sendiri dari mulutnya waktu dia minta surat keterangan pindah domisili."
"Rumah saya?"
"Akan dibiarkan kosong."
Aku tertegun. Jika anak-anakku pindah, maka hari ini adalah hari terakhir bagi kami semua. Batas-batas alam roh tidak mengijinkanku berkelana terlalu jauh.
"Ibu bisa pindah juga. Saya bantu urus deh," kata Pak RT tiba-tiba.
"Karena Bapak Pak RT?"
"Iya," jawabnya sambil menyeringai. "Setidaknya Ibu masih bisa lihat anak-anak."
"Mereka juga mengkhianati saya," tukasku geram.
"Tidak juga. Semua foto Ibu dibawa sama anak yang besar ke rumah baru. Tadi saya sempat mengintip waktu dia sedang memasukkan barang ke dalam koper. Ikuti mereka, Bu, jangan biarkan mereka lupa sama Ibu," ulangnya.
Aku merenungkan saran Pak RT sambil menghitung jumlah truk dan jumlah kuli yang sudah bekerja sedari pagi mengosongkan rumahku. Truk-truk itu, para kuli itu, dan penghuninya yang sekarang akan meninggalkannya seperti puing-puing yang tak diinginkan.
Hanya segitu arti dari cinta dan janji. Sependek itu ingatan manusia akan puluhan tahun yang sudah dilewati bersama, akan kenangan yang telah dibuat. Aku ingin mengamuk, tapi aku tidak tahu kepada siapa. Yang aku tahu, kalau aku mengikhlaskan mereka, aku akan pindah ke tempat penyimpanan. Ingatanku akan mereka pun akan hilang.
Apakah itu yang kuinginkan?
Tidak. Walaupun pada kehidupan sebelumnya aku mengambang tanpa arah, pada kehidupanku yang ini aku ingin memiliki tujuan. Dan tujuanku adalah jangan sampai terpisah dari suami dan anak-anakku. Jangan sampai tercerai dari mereka yang sudah mengabaikanku.
"Buat pindah ke kota sebelah ..., saya perlu bikin surat juga?"
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H