"Tentu saja."
"Mau lihat proyeksi kehidupan Ibu kalau waktu itu tidak jadi menikah dengan suami?"
Aku melongo. "Memang bisa?"
Pak RT memandangku dengan pongah. "Ga di alam nyata, ga di alam gaib, saya tetap jadi ketua RT, Bu." Dia kemudian mengembangkan kedua tangan dan mengarahkannya ke langit, seakan-akan memanggil hujan. "Sim salabim!" serunya dan voila, sebuah layar putih terkembang di hadapan kami.
Aku tambah terkesima ketika pada layar itu cuplikan adegan demi adegan hadir. Mulai dari saat suami meminang dan aku mengiyakan, acara perpisahan di kantor yang sangat kucintai, hari-hari sepi hanya dengan dua anak di rumah ketika suamiku sibuk bekerja sambil melancong.
Depresi yang menghantamku tanpa kusadari. Ketidakbahagiaan yang mengepungku dan membuatku sulit bernafas. Pelarianku ke makanan karena aku merasa hidupku gagal. Kemarahanku pada anak-anak yang selalu membuat rumah berantakan dan sulit mengerti pelajaran.
Semuanya diputar di depan mataku. Semuanya tambah menderaku dengan sesal. Semuanya membuat aku ingin mati untuk kedua kali.
Tiba-tiba semuanya berganti dengan latar belakang sebuah kantor di lantai teratas sebuah gedung pencakar langit. Diriku yang terlihat sangat berbeda duduk sambil menyilangkan kaki di belakang meja. Gagang kacamataku dilapisi emas, semua kukuku cantik karena dirawat secara rutin.
Aku melihat wanita itu, diriku di dalam kehidupan yang tidak pernah terjadi, berbicara dengan santai dan luwes di depan layar. Senyumnya terkembang mendengar kata-kata lawan bicaranya, bibirnya komat-kamit membalas dalam bahasa Perancis. Begitu telepon ditutup, seorang karyawan menghampirinya membawakan koper dan tiket untuknya. Tujuan Paris malam ini.
Aku pada layar itu tampak bahagia. Aku tampak puas. Sepertinya wanita itu tidak punya penyesalan. Ketika duduk menanti di bandara, sekilas dia memandangi dengan iri seorang ibu yang sedang menggendong bayinya. Setelah itu dia kembali tampak percaya diri dan baik-baik saja. Paling dia hanya iri sebentar, pikirku, dia tidak akan menjerumuskan diri ke dalam siksa neraka di dunia seperti yang telah kulakukan.
Dengan nanar kupandangi langit penuh bintang di atas sana. Layar putih itu tiba-tiba hilang, entah ke mana. Di sampingku Pak RT berdeham pelan. Tangannya dia gerakkan sedemikian rupa seolah-olah dia memberikan sehelai tisu kepadaku.