"Langsung lewat?" Ups, harusnya aku menggunakan kalimat tanya yang lebih halus.
"Iyalah. Untungnya begitu, saya malas tinggal di rumah sakit dan dicekoki segala macam kabel. Begini lebih enak buat semua."
"Ibu ga apa-apa?"
"Sudah bisa nerima. Dia sudah nyangka sih stroke saya bakal kambuh lagi, wong saya ga pernah mau minum obat."
"Obatnya banyak ya, Pak?"
"Ratusan."
"Lebih."
Kemudian kami tertawa bersama. Kami terbang ke arah atap rumah tetanggaku dan hinggap di sana, mengamati para kuli berbadan gelap menggotong lemari antik yang kubeli untuk ulang tahun pernikahan yang kedua belas dan memasukkannya ke dalam truk.
"Jangan sedih, Bu. Kita semua akan terlupakan. Pada akhirnya."
"Saya tidak menyangka akan secepat itu, Pak," tukasku getir. "Kalau saya ingat semua pengorbanan saya untuk pernikahan itu, semua yang saya tinggalkan untuk membina keluarga. Cuma perlu tujuh bulan untuk meniadakan kehadiran saya."
"Jadi Ibu menyesal sekarang?"