"Biar aku aja yang tutup, Sayang." Wanita itu bangkit dari kursinya dan menutup semua jendela yang kulewati tadi. Badannya tinggi langsing, rambutnya panjang sepinggang, gerak-geriknya cekatan. Begitu kembali ke meja makan, dia menggosok kedua bahu anakku yang bungsu.
"Ga kedinginan lagi 'kan, Nak?"
"Dia bukan anakmu."
"Mas."
"Siapa dia dan ngapain dia di sini?"
Aku menoleh ke arah suamiku. Pembawaannya biasanya tenang, namun kali ini tidak. Telinganya memerah dan jakunnya naik-turun tanda angkara-murka.
"Dia tamu Papa."
"Apa dia akan menggantikan Mama?"
"Jaga bicaramu, Mas!"
"Apa dia akan menggantikan Mama?" Suara anakku yang sulung meninggi seiring dengan tangisnya yang pecah.
"Aku tahu Papa akan melupakan Mama. Sebelum Mama meninggal, Papa bilang akan menikah lagi karena tidak mau kesepian, karena tidak kuat kalau mengurus kami sendirian. Well, guess what, kami ga butuh ibu tiri. Aku bisa mengurus diriku dan adik. Kami cuma perlu uang Papa."