Mohon tunggu...
Rifqi Pratama
Rifqi Pratama Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya memiliki hobi membaca dan menyukai topik yang bersangkutan hukum

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perspektif Perbandingan Hukum Pidana Positif dan Islam Terhadap Pencemaran Nama Baik di Media Sosial

22 April 2024   00:53 Diperbarui: 22 April 2024   00:59 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama : Rifqi Andi Pratama

Nim : 30302100282

Mata kuliah : Perbandingan Hukum Pidana

Dosen : Ida musofiana,S.H.,M.H , Dr.Achmad Sulchan,S.H.,M.H

                               ABSTRAK

Perkembangan teknologi komunikasi telah mengubah lanskap sosial dengan membawa masyarakat ke dalam era informasi yang memunculkan masyarakat informasi. Pemanfaatan media sosial dan teknologi informasi membuka peluang baru dalam berinteraksi, berbagi informasi, dan berekspresi secara bebas. Namun, kemajuan ini juga membawa risiko, terutama dalam hal pencemaran nama baik melalui media sosial. Di Indonesia, kasus pencemaran nama baik diatur oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), namun peran Hukum Islam dalam konteks ini perlu dieksplorasi. Studi ini bertujuan untuk membandingkan perspektif hukum pidana positif dan Islam terhadap tindak pidana pencemaran nama baik di media sosial. Tujuannya adalah untuk memahami pendekatan hukum positif dan Islam, mengevaluasi penerapan norma hukum dalam penegakan hukum, dan menganalisis implikasi dari perspektif hukum yang berbeda terhadap kasus pencemaran nama baik di media sosial. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan studi kepustakaan dan pendekatan yuridis normatif. Data dianalisis melalui analisis teks hukum yang relevan dengan masalah yang diteliti, seperti undang-undang, putusan pengadilan, dan literatur hukum terkait. Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk memahami perbandingan antara hukum pidana positif dan Islam dalam konteks pencemaran nama baik di media sosial. Dari analisis, terungkap bahwa dalam hukum positif, pencemaran nama baik diatur oleh undang-undang yang berlaku, sementara dalam hukum Islam, hal ini diatur oleh prinsip-prinsip hukum yang berakar pada nilai-nilai moral dan etika Islam. Penegakan hukum dalam kedua perspektif ini mengandalkan pada regulasi yang telah ditetapkan dan peran hakim dalam menjatuhkan putusan yang adil. Namun, terdapat perbedaan dalam model penyelesaian perkara, di mana hukum Islam menekankan pada konsep restoratif.

Kata Kunci: Pencemaran Nama Baik, Media Sosial, Hukum Positif dan Islam

 

 

ABSTRACT

The development of communication technology has transformed the social landscape by ushering society into the information age, creating an information society. The utilization of social media and information technology opens up new opportunities for interaction, information sharing, and free expression. However, this advancement also brings risks, particularly in terms of defamation through social media. In Indonesia, cases of defamation are regulated by Law Number 19 of 2016 concerning Information and Electronic Transactions (ITE), but the role of Islamic Law in this context needs to be explored. This study aims to compare the perspectives of positive criminal law and Islam regarding the crime of defamation on social media. The objective is to understand the approaches of positive law and Islam, evaluate the application of legal norms in law enforcement, and analyze the implications of different legal perspectives on cases of defamation on social media. This research adopts a qualitative approach with literature review and normative juridical approach. Data are analyzed through the analysis of relevant legal texts related to the issue under study, such as laws, court decisions, and related legal literature. This approach enables researchers to understand the comparison between positive criminal law and Islam in the context of defamation on social media. From the analysis, it is revealed that in positive law, defamation is regulated by applicable laws, while in Islamic law, it is governed by principles rooted in Islamic moral and ethical values. Law enforcement in both perspectives relies on established regulations and the role of judges in delivering fair judgments. However, there are differences in the model of case resolution, where Islamic law emphasizes the concept of restorative justice.

Keywords: Defamation, Social Media, Positive and Islamic Law

 

PENDAHULUAN

Pemanfaatan teknologi komunikasi telah menjadi kebutuhan yang tidak dapat dihindari dalam era global, dimana masyarakat memiliki akses yang luas terhadap beragam informasi yang bermanfaat. Perubahan perilaku sosial terjadi seiring dengan peralihan dari era industrialisasi ke era informasi, yang memunculkan apa yang disebut sebagai masyarakat informasi. Sebagaimana dikutip oleh Amar Ahmad, Rogers menyatakan bahwa masyarakat informasi adalah masyarakat di mana sebagian besar anggotanya bekerja di sektor informasi, dan informasi menjadi unsur kunci dalam kehidupan mereka.

Perkembangan teknologi informasi telah menjadi pendorong utama dalam mengarahkan aktivitas manusia menuju efisiensi di berbagai sektor, termasuk politik, ekonomi, dan budaya. Perusahaan-perusahaan di bidang teknologi informasi atau yang memanfaatkannya telah mengalami pertumbuhan yang signifikan dalam strategi pemasaran mereka, memanfaatkan platform-platform digital untuk menjangkau audiens lebih luas serta meningkatkan visibilitas produk mereka. Selain itu, masyarakat juga telah merasakan dampak positif dari kemajuan ini dengan mendapatkan akses terbuka dan kemudahan dalam memperoleh berbagai produk dan layanan melalui internet. Platform-platform media sosial dan pasar daring telah menjadi wadah bagi individu untuk berinteraksi, berbelanja, dan mengekspresikan diri secara bebas, menciptakan ruang yang inklusif bagi keragaman budaya dan ekspresi pribadi.

Dalam konteks budaya, teknologi informasi juga telah mengubah cara masyarakat berekspresi dan berkomunikasi. Media sosial, sebagai contohnya, memberikan platform bagi individu untuk berbagi pendapat, cerita, dan pengalaman mereka dengan cepat dan luas. Hal ini tidak hanya memperluas jaringan sosial mereka, tetapi juga memungkinkan terbentuknya komunitas online dengan minat dan nilai bersama. Selain itu, kemudahan akses terhadap berbagai bentuk hiburan digital, seperti musik, film, dan buku elektronik, telah mengubah cara masyarakat mengkonsumsi dan mengapresiasi budaya. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa kemajuan teknologi informasi telah mengubah lanskap budaya dan ekonomi secara signifikan, membuka peluang baru dan memberikan kebebasan yang lebih besar bagi individu dalam berbagai aspek kehidupan mereka.

Namun, dampak dari kemajuan teknologi informasi tidak hanya positif bagi kehidupan manusia, mengingat prinsip kebebasan yang mendasari penggunaan teknologi informasi ini. Oleh karena itu, meskipun pengguna diberikan persyaratan dan ketentuan saat mengakses dan menggunakan platform seperti YouTube, Instagram, dan Facebook, belum ada aplikasi yang dapat secara otomatis mendeteksi pernyataan yang tidak pantas atau penghinaan yang ditulis oleh pengguna dan mengambil tindakan pencegahan sebelum pernyataan tersebut disebarluaskan. Hal ini memungkinkan seseorang dengan mudah menyebarkan konten yang merugikan, mencemarkan nama baik, atau melakukan perilaku tidak terpuji lainnya.

Di Indonesia, kasus pencemaran nama baik melalui media sosial telah diatur dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Pasal 27 ayat (3) dari undang-undang tersebut menetapkan bahwa pelanggaran semacam itu dapat dikenai hukuman penjara hingga 4 tahun dan/atau denda maksimal Rp. 750.000.000,00. Namun, proses penegakan hukum ini bergantung pada kewenangan pengadilan, yang ditentukan oleh berbagai undang-undang, termasuk prinsip-prinsip doktrin kebebasan hakim.

Pentingnya diskusi mengenai peran Hukum Islam sebagai landasan tidak tertulis dalam perumusan hukum positif di Indonesia menjadi fokus penelitian ini. Penelitian akan mengulas hubungan antara Hukum Islam dan hukum positif terutama dalam konteks penerapan hukum pidana terkait pencemaran nama baik melalui media sosial. Perlu dipahami bahwa dalam hukum Islam, aspek teknologi informasi termasuk dalam ranah perkara yang belum eksis pada masa Nabi Muhammad. Oleh karena itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengevaluasi berbagai norma yang digunakan dalam proses penegakan hukum, khususnya dalam kasus-kasus yang melibatkan penggunaan media sosial.

Al-Qur'an, sebagai sumber hukum utama dalam Islam, menegaskan bahwa pencemaran nama baik, yang dikenal sebagai Qozf/Tasyhir, termasuk dalam kategori kejahatan yang dapat dipidanakan. Ayat 6 dari Surah An Nur secara gamblang mengatur bahwa pelaku tindak pencemaran akan dikenai hukuman 80 cambukan. Selain itu, dalam tradisi hadis Rasulullah SAW, Qazf dinyatakan sebagai salah satu dari tujuh dosa besar yang harus dihindari dengan sungguh-sungguh, seperti yang diajarkan oleh Abu Hurairah RA.

 

METODE

Penelitian ini mengadopsi metode penelitian kualitatif yang dikenal sebagai studi kepustakaan dengan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk menyelidiki masalah hukum dengan menggunakan analisis teks-teks hukum yang ada, seperti undang-undang dan putusan pengadilan, serta memahami konteks hukum yang mengatur suatu isu tertentu. Dalam hal ini, peneliti mengacu pada bahan-bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat sebagai sumber data utama. Proses pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, di mana peneliti memeriksa dan menganalisis literatur hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Langkah ini memungkinkan peneliti untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang isu yang diteliti, serta melacak perkembangan dan pendekatan hukum yang telah diterapkan dalam konteks tersebut.

Analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis, yang mengacu pada kerangka hukum yang ada. Ini mencakup penelitian terhadap undang-undang yang relevan, putusan pengadilan terkait, peraturan hukum, dan buku-buku hukum lainnya. Dengan mendasarkan analisis pada kerangka hukum yang ada, peneliti dapat mengidentifikasi dan menganalisis aspek-aspek hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif, yang memungkinkan peneliti untuk memahami dan menginterpretasikan data secara mendalam. Ini meliputi pemaparan, uraian, dan gambaran atas hasil penelitian, sehingga memungkinkan peneliti untuk menyajikan temuan dengan cara yang jelas dan komprehensif. Dengan demikian, pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang isu hukum yang diteliti dan relevansinya dalam konteks hukum yang lebih luas.

 

PEMBAHASAN

Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial menurut Hukum Positif.

Defamasi, yang dikenal sebagai pencemaran nama baik dalam bahasa Inggris, sering disebut sebagai Slander, Calumny, dan Vilification di negara lain, dengan tiga istilah pertama digunakan untuk pencemaran nama baik secara lisan dan yang terakhir merujuk pada pencemaran nama baik secara tertulis, yang umumnya dikenal sebagai fitnah. Menurut Kamus Hukum Black, Defamasi melibatkan tindakan yang merusak reputasi seseorang dengan membuat pernyataan yang salah kepada pihak ketiga. Di yurisdiksi hukum sipil, pencemaran nama baik sering dikategorikan sebagai tindak pidana. Pencemaran nama baik melibatkan tindakan yang menyerang reputasi seseorang melalui kata-kata, pernyataan tertulis, atau media yang merendahkan kehormatan dan martabatnya, potensial menurunkan harga diri mereka.

Hal ini bisa mencakup tuduhan terhadap seseorang yang disebarkan ke masyarakat. Unsur-unsur pencemaran nama baik meliputi niat, serangan terhadap kehormatan dan reputasi, serta publikasi. Di Indonesia, beberapa tindakan dikategorikan sebagai pencemaran nama baik, termasuk tuduhan lisan sesuai Pasal 310 ayat 1 KUHP, tuduhan tertulis sesuai Pasal 310 ayat KUHP, fitnah sesuai Pasal 311 KUHP dan Pasal 36 ayat 5 UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran, pengaduan fitnah sesuai Pasal 317 KUHP, serta distribusi, transmisi, atau pembuatan informasi elektronik atau dokumen elektronik yang mengandung penghinaan atau pencemaran nama baik sesuai Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Regulasi tindak pidana di Indonesia didasarkan pada prinsip legalitas, yang dikenal sebagai "Nullum delictum nulla poena sine praevia lege" (tidak ada tindakan pidana atau hukuman tanpa hukum sebelumnya).

Prinsip ini, yang berasal dari Konstitusi Amerika Serikat tahun 1776 dan kemudian diintegrasikan ke dalam berbagai kode hukum, termasuk KUHP Indonesia, menekankan perlunya ketentuan hukum sebelum memberlakukan hukuman. Namun, efektivitas penegakan hukum bergantung pada adaptasi terhadap perubahan sosial, kemajuan teknologi, dan kompleksitas kejahatan cyber, yang sering kali melebihi perkembangan hukum. Tantangan dalam sistem hukum cyber Indonesia meliputi menjaga kepastian hukum, keahlian terbatas dalam hukum cyber, dan sumber daya manusia yang tidak memadai. Proliferasi hoaks politik, seperti yang terjadi dalam pemilihan umum daerah tahun 2018-2019 di Jakarta, menunjukkan urgensi untuk mengatasi kemajuan teknologi dan kesiapan masyarakat terhadap teknologi informasi dan komunikasi (TIK).

Amandemen Undang-Undang ITE tahun 2016, khususnya yang menargetkan pencemaran nama baik, mencerminkan upaya untuk menyesuaikan kerangka hukum dengan lanskap digital yang berkembang. Studi kasus, seperti kasus Galih Bayu Ginanjar, Pablo Benua, dan Rey Utami, menyoroti konsekuensi hukum dari penyebaran konten pencemaran di media daring. Diskresi yudisial memainkan peran penting dalam adjudikasi, memungkinkan hakim untuk memberikan putusan berdasarkan bukti dan preseden hukum. Kemandirian yudisial, yang dijamin oleh Pasal 24 Konstitusi Indonesia, memastikan otonomi yudikatif dalam menegakkan hukum dan keadilan, dipandu oleh Pancasila dan Konstitusi. Selain itu, berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim bertugas menilai karakter moral terdakwa, memengaruhi interpretasi dan penerapan undang-undang pidana dalam batas-batas hukum.

Tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial merupakan isu yang semakin relevan dalam konteks perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di era digital. Dalam hukum positif, termasuk di Indonesia, pencemaran nama baik melalui media sosial diatur oleh berbagai undang-undang dan peraturan yang berlaku. Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial memiliki karakteristik yang unik. Hal ini karena media sosial memberikan platform yang luas dan mudah diakses oleh masyarakat umum, sehingga informasi yang diunggah dapat dengan cepat menyebar dan memiliki dampak yang signifikan terhadap reputasi seseorang. Oleh karena itu, regulasi yang mengatur tindak pidana ini harus mampu menyesuaikan dengan dinamika serta kompleksitas lingkungan digital.

Di Indonesia, tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial diatur oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal 27 ayat (3) dalam UU ITE secara tegas menyatakan bahwa mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik merupakan tindak pidana yang dapat dikenai sanksi pidana. Selain itu, pasal-pasal lain dalam KUHP juga mengatur tindak pidana pencemaran nama baik, baik secara lisan maupun tertulis. Contohnya adalah Pasal 310 ayat 1 KUHP yang mengatur tentang pencemaran nama baik secara lisan, serta Pasal 310 ayat 2 KUHP yang mengatur tentang pencemaran nama baik secara tertulis. Pasal-pasal ini memberikan landasan hukum bagi penegakan hukum terhadap tindak pidana pencemaran nama baik di media sosial.

Namun, dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial, terdapat beberapa tantangan yang perlu dihadapi. Salah satunya adalah kesulitan dalam menentukan yurisdiksi, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan platform media sosial internasional. Selain itu, kecepatan dan luasnya penyebaran informasi di media sosial juga dapat membuat proses penegakan hukum menjadi lebih rumit. Dalam konteks hukum positif, penerapan asas legalitas atau prinsip kepastian hukum menjadi penting dalam menegakkan undang-undang terkait pencemaran nama baik melalui media sosial. Asas ini menjamin bahwa tindakan pidana hanya dapat dikenakan jika telah diatur dalam undang-undang yang berlaku. Namun demikian, penegakan hukum tidak hanya bergantung pada asas legalitas, tetapi juga pada kemampuan sistem hukum untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan dinamika sosial.

Dalam hal ini, peran hakim juga sangat penting dalam menjatuhkan putusan yang adil dan seimbang. Hakim harus dapat mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk dampak sosial dan psikologis dari tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial. Dengan demikian, penegakan hukum dapat dilakukan secara efektif dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Secara keseluruhan, tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial merupakan tantangan yang kompleks dalam sistem hukum. Namun, dengan adanya regulasi yang jelas dan efektif, serta peran aktif dari lembaga penegak hukum dan hakim, diharapkan dapat mengurangi kasus-kasus pencemaran nama baik dan menjaga integritas serta martabat individu dalam dunia digital yang semakin kompleks ini.

 

 

Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Dalam Media Sosial Menurut Hukum Pidana Islam

Tindak pidana pencemaran nama baik merupakan persoalan yang kompleks dan penting dalam konteks hukum pidana, terutama dalam perspektif hukum Islam. Hukum Islam memiliki pandangan yang tegas terhadap pencemaran nama baik, menganggapnya sebagai pelanggaran serius terhadap kehormatan dan martabat individu. Konsep ini memiliki akar dalam nilai-nilai moral dan etika yang dipegang teguh oleh masyarakat Muslim.

Menurut hukum pidana Islam, mencemarkan nama baik seseorang atau kelompok dianggap sebagai Jarimah Qadzf, yang memiliki berbagai bentuk dan tingkat keparahan. Jarimah Qadzf terbagi menjadi dua macam: Qadzf yang dihukum dengan had (hukuman yang telah ditetapkan) dan Qadzf yang dihukum dengan ta'zir (hukuman yang ditentukan oleh keputusan hakim). Qadzf yang dihukum dengan had meliputi menuduh seseorang berzina dan mengingkari nasabnya, sedangkan Qadzf yang dihukum dengan ta'zir meliputi menuduh seseorang dengan tuduhan selain zina dan tidak mengingkari nasabnya, seperti mencaci dan memaki orang lain.

Pencemaran nama baik dalam Islam memiliki dampak yang serius, tidak hanya pada individu yang diserang, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan. Menurut Imam Jalaludin, pencemaran nama baik dapat dibagi menjadi tiga bagian: sukhriyyah (meremehkan seseorang karena alasan tertentu), lamzu (menjelek-jelekan seseorang dengan cacian dan makian), dan tanabuz (memanggil seseorang dengan nama atau panggilan yang buruk). Tindak pidana pencemaran nama baik dihukum dengan ta'zir, dan keputusan hukuman berada di tangan hakim dan penguasa.

Dalam konteks penerapan hukum pidana Islam, masa tahanan ta'zir biasanya tidak lebih dari satu tahun. Hukuman ini dimaksudkan untuk mendidik atau memperbaiki pelaku, bukan hanya untuk mencapai kepastian hukum semata. Namun, dalam penegakan hukum Islam, penting untuk mempertimbangkan konteks dan situasi yang kompleks yang mungkin melibatkan berbagai faktor seperti budaya, tradisi, dan norma-norma lokal.

Dalam menyelesaikan perkara pidana, terdapat dua model penyelesaian yang dapat diterapkan. Model pertama adalah model diskresif (istihsan) yang diperkenalkan oleh madzhab Hanafi. Model ini memungkinkan hakim untuk menetapkan hukum berdasarkan keputusan yang dianggap lebih tepat dalam kasus-kasus yang tidak memiliki ketentuan hukum yang jelas. Model kedua adalah model benefisial (istihlah) yang diperkenalkan oleh Madzhab Maliki dan Syafi'i. Model ini memungkinkan hakim untuk menetapkan hukum berdasarkan pertimbangan kepentingan umum dan kemaslahatan yang dianggap sah.

Konsep keadilan restoratif menjadi semakin relevan dalam penyelesaian perkara pidana. Konsep ini menekankan pada pemulihan korban dan perbaikan pelaku, bukan hanya pada hukuman mati. Indonesia telah mengambil langkah-langkah untuk mendorong penerapan keadilan restoratif melalui berbagai regulasi dan kebijakan, termasuk surat edaran, peraturan kejaksaan, dan keputusan direktur jenderal. Hal ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk mengembangkan sistem peradilan pidana yang lebih adil dan berkelanjutan. Dengan demikian, pengertian dan penerapan hukum pidana Islam tentang pencemaran nama baik dapat memberikan landasan yang kuat bagi penegakan hukum yang adil dan efektif dalam masyarakat Muslim.

Tindak pidana pencemaran nama baik dalam media sosial menjadi isu yang semakin penting dalam konteks hukum pidana Islam. Dalam Islam, mencemarkan nama baik seseorang atau suatu golongan dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap nilai-nilai moral dan etika yang dipegang teguh oleh masyarakat Muslim. Hal ini juga dipandang sebagai pelanggaran terhadap prinsip-prinsip hukum Islam yang mendasarkan pada keadilan, kemaslahatan, dan perlindungan terhadap kehormatan individu.

Menurut hukum pidana Islam, tindak pidana pencemaran nama baik termasuk dalam kategori Jarimah Qadzf, yang dapat dihukum dengan had atau ta'zir. Jarimah Qadzf mencakup tuduhan-tuduhan yang merendahkan martabat seseorang, baik dengan menuduh seseorang melakukan perbuatan tercela maupun dengan mencaci dan memaki orang lain. Tindak pidana ini telah memenuhi tiga unsur pencemaran nama baik, yaitu unsur kesengajaan, unsur dilakukan di muka umum, dan unsur menyerang kehormatan atau martabat individu.

Dalam konteks hukum pidana Islam, hukuman atas tindak pidana pencemaran nama baik ditentukan berdasarkan madzhab yang dianut. Salah satu madzhab yang menentukan hukuman atas tindak pidana ini adalah madzhab Syafi'i, yang membatasi masa tahanan ta'zir tidak lebih dari satu tahun. Hukuman penjara dalam Islam memiliki tujuan mendidik atau memperbaiki pelaku, bukan sekadar mencapai kepastian hukum semata.

Dalam menyelesaikan perkara pidana, Islam mengenal dua model penyelesaian, yaitu model diskresif (istihsan) dan model benefisial (istihlah). Kedua model ini memungkinkan adanya proses mediasi bagi pelaku dan korban, sejalan dengan konsep penegakan hukum restoratif. Konsep ini menekankan pentingnya pemulihan korban dan perbaikan pelaku, bukan hanya pada pemberian hukuman mati.

Di Indonesia, penerapan konsep keadilan restoratif dalam penyelesaian perkara pidana menjadi semakin relevan. Langkah-langkah seperti surat edaran kapolri, peraturan kejaksaan, dan keputusan direktur jenderal badan peradilan umum mahkamah agung mendukung penerapan keadilan restoratif dalam konteks hukum pidana. Ini menunjukkan komitmen Indonesia untuk mengembangkan sistem peradilan pidana yang lebih adil dan berkelanjutan, yang sejalan dengan prinsip-prinsip hukum Islam.

 

Perbandingan Hukum

Perbandingan antara hukum pidana positif dan Islam terhadap pencemaran nama baik dalam media sosial mengungkap perbedaan dan persamaan dalam pendekatan, prinsip, serta penegakan hukumnya. Mari kita tinjau beberapa perbandingan yang relevan:

1. Definisi dan Lingkup Tindak Pidana:

* Hukum Positif: Dalam hukum positif, tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial meliputi pembagian berdasarkan cara penyampaian informasi, seperti lisan, tertulis, atau melalui media elektronik. Hal ini mencakup tindakan yang merusak reputasi seseorang dengan membuat pernyataan yang salah kepada pihak ketiga. Di Indonesia, regulasi tindak pidana ini termasuk dalam Undang-Undang ITE dan KUHP.

* Hukum Islam: Dalam hukum Islam, pencemaran nama baik termasuk dalam kategori Jarimah Qadzf, yang mencakup tuduhan yang merendahkan martabat seseorang melalui kata-kata, pernyataan tertulis, atau media lainnya. Tindak pidana ini dianggap sebagai pelanggaran serius terhadap kehormatan individu dan dapat dihukum dengan had atau ta'zir.

2. Hukuman dan Penegakan Hukum:

* Hukum Positif: Penegakan hukum dalam hukum positif mengacu pada regulasi yang telah ditetapkan dalam undang-undang dan peraturan yang berlaku. Hukuman atas tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial dapat mencakup sanksi pidana berupa denda, penjara, atau kombinasi keduanya.

* Hukum Islam: Dalam hukum Islam, hukuman atas tindak pidana pencemaran nama baik ditentukan berdasarkan madzhab yang dianut. Hukuman tersebut dapat berupa masa tahanan ta'zir yang tidak lebih dari satu tahun. Tujuan hukuman penjara dalam Islam adalah mendidik atau memperbaiki pelaku, bukan hanya mencapai kepastian hukum semata.

3. Model Penyelesaian Perkara:

* Hukum Positif: Dalam hukum positif, terdapat proses penyelesaian perkara yang mengacu pada prinsip-prinsip hukum yang telah ditetapkan. Proses ini mungkin melibatkan mediasi antara pelaku dan korban, tetapi lebih banyak bergantung pada regulasi yang berlaku dan penegakan hukum oleh lembaga yang berwenang.

* Hukum Islam: Dalam hukum Islam, terdapat dua model penyelesaian perkara, yaitu model diskresif (istihsan) dan model benefisial (istihlah). Kedua model ini memungkinkan adanya proses mediasi bagi pelaku dan korban, sejalan dengan konsep penegakan hukum restoratif. Konsep ini menekankan pentingnya pemulihan korban dan perbaikan pelaku, bukan hanya pada pemberian hukuman mati.

 

PENUTUP

Kesimpulan

Jurnal ini menguraikan dampak kemajuan teknologi informasi terhadap perilaku sosial dan hukum, khususnya terkait dengan isu pencemaran nama baik di media sosial. Di Indonesia, regulasi tindak pidana pencemaran nama baik melalui Undang-Undang ITE dan KUHP, namun penegakan hukumnya dihadapkan pada berbagai tantangan, termasuk kesulitan dalam menentukan yurisdiksi dan kecepatan penyebaran informasi di platform media sosial.

Di sisi lain, hukum Islam juga memiliki ketentuan yang tegas terkait pencemaran nama baik, menganggapnya sebagai pelanggaran serius terhadap martabat individu. Meskipun ada perbedaan dalam pendekatan dan hukuman antara hukum positif dan Islam, keduanya memiliki tujuan yang sama dalam melindungi kehormatan individu dan menjaga integritas sosial. Dengan demikian, penegakan hukum atas tindak pidana pencemaran nama baik di media sosial menjadi isu yang kompleks, membutuhkan adaptasi terhadap perkembangan teknologi dan dinamika sosial, serta pemahaman yang mendalam tentang prinsip-prinsip hukum baik dari perspektif positif maupun Islam.

 

DAFTAR PUSTAKA

Dari Buku

1. Darmoko Yuti Witanto dan Arya Putra Negara Kutawaringin, Diskresi Hakim Sebuah Instrumen Menegakkan Keadilan Substantif Dalam Perkara-Perkara Pidana, Cetakan Pertama, Alfabeta: Bandung, 2013, hlm. 192

2. Dikdik M Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, Bandung: Refika Aditama, 2009, hlm. 4.

3. Imam Jalaluddin, Tafsir Jalalain, Sinar Baru Algensindo, Bandung, 2010, hlm. 428

4. Muhammad Sulaiman dan Abdullah Al-Asyraf, Al-Wadhih Fi Ushul al-Fiqh Lil Mubtadiin, Amman: Dar al-Nafais 1992, hlm. 140

5. Zainiddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Sinar Grafika, 2019, hlm 105.

Dari Jurnal

1. Amar Ahmad, "Perkembangan Teknologi Komunikasi dan Informasi: Akar Revolusi dan Berbagai Standarnya", Jurnal Dakwah Tabligh, Vol. 13, No. 1, Juni 2012, hlm. 138

2. Achmadudin Rajab, "Urgensi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Sebagai Solusi Guna Membangun Etika Bagi Pengguna Media", Jurnal Legislasi Indonesia, Vol. 14 No. 04, 2017, hlm 463.

3. Ari Wibowo, "Kebijakan Kriminalisasi Delik Pencemaran Nama Baik di Indonesia", Jurnal Pandecta, Vol. 7, No. 1, 2012, hlm. 3.

4. Shah Rangga Wira Prastya, "Tinjauan Yuridis Mengenai Sanksi Pidana Terhadap Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial", E-Journal Kertha Wicara Fakultas Hukum Universitas Udayana Fakultas Hukum, Vol. 05, No. 02, Juni 2015, hlm.2.

5. Sri Rahayu, "Implikasi Asas Legalitas Terhadap Penegakan Hukum dan Keadilan", Jurnal Inovatif, Volume VII Nomor III September 2014, hlm. 2

6. Maharidiawan Putra, "Hukum dan Perubahan Sosial: Tinjauan Terhadap Modernisasi Dari Aspek Kemajuan Teknologi", Jurnal Morality Volume 4 Nomor 1, Juni 2018, hlm. 47.

7. Anton Hendrik Samudra, "Pencemaran Nama Baik dan Penghinaan Melalui Media Teknologi Informasi Komunikasi di Indonesia Pasca Amandemen UU ITE", Jurnal Hukum dan Pembangunan Universitas Indonesia, Vol. 50, No. 1, 2020, hlm. 92.

8. Rahman Amin, Muhammad Fikri Al Aziz, dan Iren Manalu, "Penerapan Keadilan Restoratif Dalam Penyelesaian Perkara Kecelakaan Lalu Lintas Berat Di Kepolisian Resort Metro Jakarta Pusat", Krtha Bhayangkara, Vol. 14 No. 1 2020, hlm. 12

Dari Referensi:

1. Fatmawati, Nurul (2021) "Pengaruh Positif dan Negatif Media Sosial Terhadap Masyarakat." Online : https://www.djkn.kemenkeu.go.id/kpknl-semarang/baca-artikel/14366/Pengaruh-Positif-dan-Negatif-Media-Sosial-Terhadap-Masyarakat.html

2. Waruwu, Riki Perdana Raya. (2017 ) "Aspek Hukum Pencemaran Nama Baik melalui Facebook." 2017. Online: https://badilum.mahkamahagung.go.id/artikel-hukum/2452-aspek-hukum-pencemaran-nama-baik-melalui-facebook.html

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun