Di Indonesia, tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial diatur oleh Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal 27 ayat (3) dalam UU ITE secara tegas menyatakan bahwa mendistribusikan, mentransmisikan, atau membuat dapat diaksesnya informasi elektronik atau dokumen elektronik yang memiliki muatan penghinaan atau pencemaran nama baik merupakan tindak pidana yang dapat dikenai sanksi pidana. Selain itu, pasal-pasal lain dalam KUHP juga mengatur tindak pidana pencemaran nama baik, baik secara lisan maupun tertulis. Contohnya adalah Pasal 310 ayat 1 KUHP yang mengatur tentang pencemaran nama baik secara lisan, serta Pasal 310 ayat 2 KUHP yang mengatur tentang pencemaran nama baik secara tertulis. Pasal-pasal ini memberikan landasan hukum bagi penegakan hukum terhadap tindak pidana pencemaran nama baik di media sosial.
Namun, dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial, terdapat beberapa tantangan yang perlu dihadapi. Salah satunya adalah kesulitan dalam menentukan yurisdiksi, terutama dalam kasus-kasus yang melibatkan platform media sosial internasional. Selain itu, kecepatan dan luasnya penyebaran informasi di media sosial juga dapat membuat proses penegakan hukum menjadi lebih rumit. Dalam konteks hukum positif, penerapan asas legalitas atau prinsip kepastian hukum menjadi penting dalam menegakkan undang-undang terkait pencemaran nama baik melalui media sosial. Asas ini menjamin bahwa tindakan pidana hanya dapat dikenakan jika telah diatur dalam undang-undang yang berlaku. Namun demikian, penegakan hukum tidak hanya bergantung pada asas legalitas, tetapi juga pada kemampuan sistem hukum untuk beradaptasi dengan perkembangan teknologi dan dinamika sosial.
Dalam hal ini, peran hakim juga sangat penting dalam menjatuhkan putusan yang adil dan seimbang. Hakim harus dapat mempertimbangkan berbagai faktor, termasuk dampak sosial dan psikologis dari tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial. Dengan demikian, penegakan hukum dapat dilakukan secara efektif dan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan. Secara keseluruhan, tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial merupakan tantangan yang kompleks dalam sistem hukum. Namun, dengan adanya regulasi yang jelas dan efektif, serta peran aktif dari lembaga penegak hukum dan hakim, diharapkan dapat mengurangi kasus-kasus pencemaran nama baik dan menjaga integritas serta martabat individu dalam dunia digital yang semakin kompleks ini.
Â
Â
Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Dalam Media Sosial Menurut Hukum Pidana Islam
Tindak pidana pencemaran nama baik merupakan persoalan yang kompleks dan penting dalam konteks hukum pidana, terutama dalam perspektif hukum Islam. Hukum Islam memiliki pandangan yang tegas terhadap pencemaran nama baik, menganggapnya sebagai pelanggaran serius terhadap kehormatan dan martabat individu. Konsep ini memiliki akar dalam nilai-nilai moral dan etika yang dipegang teguh oleh masyarakat Muslim.
Menurut hukum pidana Islam, mencemarkan nama baik seseorang atau kelompok dianggap sebagai Jarimah Qadzf, yang memiliki berbagai bentuk dan tingkat keparahan. Jarimah Qadzf terbagi menjadi dua macam: Qadzf yang dihukum dengan had (hukuman yang telah ditetapkan) dan Qadzf yang dihukum dengan ta'zir (hukuman yang ditentukan oleh keputusan hakim). Qadzf yang dihukum dengan had meliputi menuduh seseorang berzina dan mengingkari nasabnya, sedangkan Qadzf yang dihukum dengan ta'zir meliputi menuduh seseorang dengan tuduhan selain zina dan tidak mengingkari nasabnya, seperti mencaci dan memaki orang lain.
Pencemaran nama baik dalam Islam memiliki dampak yang serius, tidak hanya pada individu yang diserang, tetapi juga pada masyarakat secara keseluruhan. Menurut Imam Jalaludin, pencemaran nama baik dapat dibagi menjadi tiga bagian: sukhriyyah (meremehkan seseorang karena alasan tertentu), lamzu (menjelek-jelekan seseorang dengan cacian dan makian), dan tanabuz (memanggil seseorang dengan nama atau panggilan yang buruk). Tindak pidana pencemaran nama baik dihukum dengan ta'zir, dan keputusan hukuman berada di tangan hakim dan penguasa.
Dalam konteks penerapan hukum pidana Islam, masa tahanan ta'zir biasanya tidak lebih dari satu tahun. Hukuman ini dimaksudkan untuk mendidik atau memperbaiki pelaku, bukan hanya untuk mencapai kepastian hukum semata. Namun, dalam penegakan hukum Islam, penting untuk mempertimbangkan konteks dan situasi yang kompleks yang mungkin melibatkan berbagai faktor seperti budaya, tradisi, dan norma-norma lokal.
Dalam menyelesaikan perkara pidana, terdapat dua model penyelesaian yang dapat diterapkan. Model pertama adalah model diskresif (istihsan) yang diperkenalkan oleh madzhab Hanafi. Model ini memungkinkan hakim untuk menetapkan hukum berdasarkan keputusan yang dianggap lebih tepat dalam kasus-kasus yang tidak memiliki ketentuan hukum yang jelas. Model kedua adalah model benefisial (istihlah) yang diperkenalkan oleh Madzhab Maliki dan Syafi'i. Model ini memungkinkan hakim untuk menetapkan hukum berdasarkan pertimbangan kepentingan umum dan kemaslahatan yang dianggap sah.