METODE
Penelitian ini mengadopsi metode penelitian kualitatif yang dikenal sebagai studi kepustakaan dengan pendekatan yuridis normatif. Pendekatan ini memungkinkan peneliti untuk menyelidiki masalah hukum dengan menggunakan analisis teks-teks hukum yang ada, seperti undang-undang dan putusan pengadilan, serta memahami konteks hukum yang mengatur suatu isu tertentu. Dalam hal ini, peneliti mengacu pada bahan-bahan hukum yang memiliki kekuatan mengikat sebagai sumber data utama. Proses pengumpulan data dilakukan melalui studi pustaka, di mana peneliti memeriksa dan menganalisis literatur hukum yang relevan dengan permasalahan penelitian. Langkah ini memungkinkan peneliti untuk mendapatkan pemahaman yang mendalam tentang isu yang diteliti, serta melacak perkembangan dan pendekatan hukum yang telah diterapkan dalam konteks tersebut.
Analisis data dalam penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis, yang mengacu pada kerangka hukum yang ada. Ini mencakup penelitian terhadap undang-undang yang relevan, putusan pengadilan terkait, peraturan hukum, dan buku-buku hukum lainnya. Dengan mendasarkan analisis pada kerangka hukum yang ada, peneliti dapat mengidentifikasi dan menganalisis aspek-aspek hukum yang terkait dengan permasalahan yang diteliti. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis kualitatif, yang memungkinkan peneliti untuk memahami dan menginterpretasikan data secara mendalam. Ini meliputi pemaparan, uraian, dan gambaran atas hasil penelitian, sehingga memungkinkan peneliti untuk menyajikan temuan dengan cara yang jelas dan komprehensif. Dengan demikian, pendekatan kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini memberikan pemahaman yang mendalam tentang isu hukum yang diteliti dan relevansinya dalam konteks hukum yang lebih luas.
Â
PEMBAHASAN
Tindak Pidana Pencemaran Nama Baik Melalui Media Sosial menurut Hukum Positif.
Defamasi, yang dikenal sebagai pencemaran nama baik dalam bahasa Inggris, sering disebut sebagai Slander, Calumny, dan Vilification di negara lain, dengan tiga istilah pertama digunakan untuk pencemaran nama baik secara lisan dan yang terakhir merujuk pada pencemaran nama baik secara tertulis, yang umumnya dikenal sebagai fitnah. Menurut Kamus Hukum Black, Defamasi melibatkan tindakan yang merusak reputasi seseorang dengan membuat pernyataan yang salah kepada pihak ketiga. Di yurisdiksi hukum sipil, pencemaran nama baik sering dikategorikan sebagai tindak pidana. Pencemaran nama baik melibatkan tindakan yang menyerang reputasi seseorang melalui kata-kata, pernyataan tertulis, atau media yang merendahkan kehormatan dan martabatnya, potensial menurunkan harga diri mereka.
Hal ini bisa mencakup tuduhan terhadap seseorang yang disebarkan ke masyarakat. Unsur-unsur pencemaran nama baik meliputi niat, serangan terhadap kehormatan dan reputasi, serta publikasi. Di Indonesia, beberapa tindakan dikategorikan sebagai pencemaran nama baik, termasuk tuduhan lisan sesuai Pasal 310 ayat 1 KUHP, tuduhan tertulis sesuai Pasal 310 ayat KUHP, fitnah sesuai Pasal 311 KUHP dan Pasal 36 ayat 5 UU No. 32 tahun 2002 tentang penyiaran, pengaduan fitnah sesuai Pasal 317 KUHP, serta distribusi, transmisi, atau pembuatan informasi elektronik atau dokumen elektronik yang mengandung penghinaan atau pencemaran nama baik sesuai Pasal 27 ayat 3 UU ITE. Regulasi tindak pidana di Indonesia didasarkan pada prinsip legalitas, yang dikenal sebagai "Nullum delictum nulla poena sine praevia lege" (tidak ada tindakan pidana atau hukuman tanpa hukum sebelumnya).
Prinsip ini, yang berasal dari Konstitusi Amerika Serikat tahun 1776 dan kemudian diintegrasikan ke dalam berbagai kode hukum, termasuk KUHP Indonesia, menekankan perlunya ketentuan hukum sebelum memberlakukan hukuman. Namun, efektivitas penegakan hukum bergantung pada adaptasi terhadap perubahan sosial, kemajuan teknologi, dan kompleksitas kejahatan cyber, yang sering kali melebihi perkembangan hukum. Tantangan dalam sistem hukum cyber Indonesia meliputi menjaga kepastian hukum, keahlian terbatas dalam hukum cyber, dan sumber daya manusia yang tidak memadai. Proliferasi hoaks politik, seperti yang terjadi dalam pemilihan umum daerah tahun 2018-2019 di Jakarta, menunjukkan urgensi untuk mengatasi kemajuan teknologi dan kesiapan masyarakat terhadap teknologi informasi dan komunikasi (TIK).
Amandemen Undang-Undang ITE tahun 2016, khususnya yang menargetkan pencemaran nama baik, mencerminkan upaya untuk menyesuaikan kerangka hukum dengan lanskap digital yang berkembang. Studi kasus, seperti kasus Galih Bayu Ginanjar, Pablo Benua, dan Rey Utami, menyoroti konsekuensi hukum dari penyebaran konten pencemaran di media daring. Diskresi yudisial memainkan peran penting dalam adjudikasi, memungkinkan hakim untuk memberikan putusan berdasarkan bukti dan preseden hukum. Kemandirian yudisial, yang dijamin oleh Pasal 24 Konstitusi Indonesia, memastikan otonomi yudikatif dalam menegakkan hukum dan keadilan, dipandu oleh Pancasila dan Konstitusi. Selain itu, berdasarkan Pasal 8 ayat (2) Undang-Undang No. 48 tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim bertugas menilai karakter moral terdakwa, memengaruhi interpretasi dan penerapan undang-undang pidana dalam batas-batas hukum.
Tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial merupakan isu yang semakin relevan dalam konteks perkembangan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) di era digital. Dalam hukum positif, termasuk di Indonesia, pencemaran nama baik melalui media sosial diatur oleh berbagai undang-undang dan peraturan yang berlaku. Pertama-tama, kita perlu memahami bahwa tindak pidana pencemaran nama baik melalui media sosial memiliki karakteristik yang unik. Hal ini karena media sosial memberikan platform yang luas dan mudah diakses oleh masyarakat umum, sehingga informasi yang diunggah dapat dengan cepat menyebar dan memiliki dampak yang signifikan terhadap reputasi seseorang. Oleh karena itu, regulasi yang mengatur tindak pidana ini harus mampu menyesuaikan dengan dinamika serta kompleksitas lingkungan digital.