"Tapi harta lebih menarik!" gerutuku.
"Ya, siapa tahu  kita menjadi kaya mendadak!" balas Bokor. "Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui."
"Kita bisa kuwalat!"
"Tak ada itu dalam kamus kehidupanku," jawabku.
Pukul satu dini hari, ketika hanya suara jangkrik yang terdengar, aku, Matdirin dan Bokor pergi menuju tangga pasanggrahan. Kami mengetuk-ngetuk tangga agar tahu bagian mana yang kopong. Matdirin lalu turun ke parit di bawah tangga.Â
Dia mencari celah yang bisa dijadikan pertanda awal bahwa di situ benar ada harta benda peninggalan Belanda. Tapi ketika keluar dari parit di bawah tangga, hanya muka masam bercampur lumut yang dibawanya. Aku tersenyum. Bokor memegangi perutnya menahan tawa.
"Ada tanda-tanda?" tanyaku.
"Tanda-tanda badanku basah, ada!" geram Matdirin. Dia bermaksud mengurungkan rencana gila itu, kemudian memilih tidur serupa Bari. Namun aku tetap memaksa, kalau perlu memecahkan tangga dengan batu-batu besar yang tersusun di bawah mahoni.Â
Matdirin menganggapku gila. Bagaimana mungkin memecahkan tangga peninggalan Belanda yang sangat keras itu? Lagipula berapa jam dihabiskan demi menemukan sebuah lobang di bawahnya?
Sedikit timbul pertengkaran di antara kami. Saat aku ingin mengambil batu besar di bawah mahoni, angin dingin tiba-tiba berhembus semilir. Bau bunga melati menyengat. Aku melihat wajah Matdirin dan Bokor pias. Gerangan apa ini?
Tanpa sadar aku melihat ke koridor pasanggarahan. Seorang perempuan mengenakan blouse putih, tengah berdiri menghadap kami. Kulitnya pucat. Rambutnya sepunggung berwarna pirang. Matanya biru serupa bule.