Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kotanopan Kala Itu

30 Maret 2019   10:08 Diperbarui: 30 Maret 2019   11:25 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : www.bayosuti.blogspot.com

Dia membocorkan rahasia bahwa konon di tangga depan pasanggrahan tersimpan harta peninggalan Belanda.

"Kenapa tak ada yang mengambilnya?" tanyaku.

"Orang-orang takut. Lagipula mereka ragu apakah itu benar adanya atau sekedar isu. Lagian pikiran orang di sini sesederhana kehidupan mereka. Mereka tak terlalu ganas mencari penghidupan dan harta benda. Sekedarnya saja, asal bisa tenang dan makan kenyang.

Lihatlah bagaimana rutinitas penduduk yang rata-rata bertani atau berkebun. Pagi-pagi, ketika pandangan masih rabun dan suasana masih kabur, para lelaki sudah pergi menderes karet. Pukul delapan atau sembilan, sudah berada kembali di kampung. Mereka berkumpul di lepau dan membincangkan tentang tanaman-tamanan berikut rejeki yang mereka peroleh. 

Selanjutnya berkelakar sampai lohor diselang-selingi bermain kartu atau catur yang selalu berakhir pertengkaran. Meski tak berujung permusuhan. Usai lohor, lanjut lagi dengan cerita yang lain. Menjelang ashar stop, kemudian semua kembali ke rumah masing-masing. 

Selepas maghrib mengumpal pula di lepau sampai jam sepuluh atau sebelas malam. Usai itu barulah tidur di rumah mengeloni istri demi membuat anak. Apalagi yang harus dikerjakan?" kata Matdirin dengan lagak jenaka.

"Sedangkan perempuannya, usai menggenapkan tugas di dapur pagi hari sekitaran pukul tujuh, beriiring-iring menuju sawah. Di sana mereka menggebuk hidup demi sebuah harapan panen nanti berhasil dan melimpah-ruah. Ada juga kesempatan berleha-leha, atau sedikit berpoya. Misalnya membeli pakaian baru di pasar Kotanopan. Atau setidaknya menonton beramai-ramai di Bioskop Tapanuli. Hahaha, tak sadar orang-orang dari pedalaman datang berbondong, berjalan kaki. Malam-malam semua kendaraan tidur. Mereka membiarkan kaki-kaki yang beralas, bahkan satu-dua telanjang melampaui jarak berkilometer. Sampai urat betis mereka kencang. Sampai napas mereka memburu. Ya, ya. Itu adalah kesempatan yang memang ditunggu-tunggu. Ketimbang tinggal di dusun bersama nyala teplok, lebih enak menikmati suasana pasar Kotanopan yang terang-benderang karena dibantu oleh perusahaan listrik daerah. Sama seperti yang lain, peninggalan kolonial Belanda. Juga telepon engkol yang harus diputar serupa gasing. Juga gedung telekomunikasi yang berkapur putih dindingnya. Dan setengah badan bawahnya tersusun dari batu kali sebesar paha orang dewasa."

"Bagaimana kalau kita alihkan pembicaraan ini dengan harta benda di tangga depan pasanggrahan?" Aku mengeluarkan ide gila. Matdirin mendelik. Bokor menyetujui ideku.

"Maksudmu?"

"Kita menggalinya?"

"Kau sudah gila? Orang-orang di sini akan memergoki kita. Bisa-bisa kita diarak ke kantor polisi dan dicap sebagai pendatang yang hanya ingin menghancurkan barang-barang bersejarah. Padahal tujuan semula hanyalah menjadikan budaya dan suasana berkehidupan di kota ini sebagai kisah dalam catatan kita, yang kelak akan kita paparkan ketika sidang. Kau tak ingin menjadi mahasiswa abadi, kan? Siapkanlah skripsimu lebih menarik!" ketus Matdirin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun