Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kotanopan Kala Itu

30 Maret 2019   10:08 Diperbarui: 30 Maret 2019   11:25 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : www.bayosuti.blogspot.com

Kata Matdirin yang sudah berulang kali bertandang ke kota ini, nyaris seluruh penduduknya muslim Hanya ada satu keluarga beragama Budha. Tionghoa totok. Entah kapan mereka menetap. Entah kapan mereka hijrah. Selebihnya ada yang beragama Kristen. Itu pun kaum pendatang dan pekerja kantoran, seperti kepala penjara dan jajarannya, kepala polisi dan jajarannya, juga guru-guru.

Kami sudah melihat geliat yang manis ketika pekan digelar di hari Sabtu. Ramai juga dengan jualan aneka rupa. Sayur-mayur beragam, juga buah-buahan hutan yang rata-rata asam. Kata Matdirin, peduduk senang yang asam-asam untuk dirujak. Mungkin kegemaran saja tersebab dingin kota yang menuntutnya.

Di halaman pasanggrahan pastilah ada pagelaran jualan obat. Penontonnya merubung. Terkadang ada sulap yang hanya setengah episode dipertunjukkan. Selebihnya hanya menjaja obat. Tapi penonton tak reda sampai pukul tiga sore. Menjelang pukul lima, pasar dilipat kembali.

Orang-orang berjejal di mobil omprengan dan bis yang mengantar mereka ke negeri jauh, atau ke pelosokan. Beberapa naik pedati dengan kerbau-kerbau bertanduk panjang yang senang melenguh. Bunyi cak-cek-cak, terdengar halus begitu pedati bergerak.

"Bagaimana catatanmu tentang kegiatan markusip di Simandolam itu?" Matdirin masih mengenakan handuk. Tapi dia sudah memakai kaos oblong. Segelas teh hangat ditiupnya. Dia duduk di seberangku, di atas kursi rotan yang jalinannya sudah banyak lepas.

"Hmm, cukup menarik, dan kelak akan kubahas lebih detail di catatan perjalanan kita. Markusip itu unik. Di mana para pemuda menjadikannya kesempatan untuk mencari jodoh."

Baca juga : https://www.kompasiana.com/rifannazhif/5c9d733f95760e479d50ed72/partokariun-dan-cerita-ceritanya

Itulah salah satu yang membuat kami betah menetap sementara di kota ini. Seperti kata kepala desa Simandolam, markusip memang menjadi kebiasaan pemuda di desanya dalam mencari jodoh. 

Biasanya saat malam berudara cerah dan bulan benar-benar bunting, mereka sudah mengintai-intai serupa maling yang menelungkupkan kain sarung hingga kepala. Mereka bersenjatakan lidi. Mengendap-endap ke kamar perempuan yang mereka incar. Sambil berdehem, perempuan yang ditaksir akan beringsut mendekati lantai papan yang memiliki celah sempit. 

Pemuda akan menjuluk-julukkan lidi, hingga perbincangan menjadi lepas kekang. Biasanya masing-masing pasangan sudah saling mengenal dengan kode masing-masing. Hingga tak ada kesalahan, semisal pacar si A diambil si B. Begitu sebaliknya. Saat markusip itulah dirangkai cerita untuk jangka pendek, misalnya rencana pergi bersama di acara pesta kawinan si anu. Atau, cerita jangka panjang, seperti kapan si pemuda berani meminang si pemudi.

Percintaaan yang aneh! Tapi para orangtua membiarkannya. Mereka tahu, tapi pura-pura tak tahu. Itu sudah menjadi tradisi. Percintaan hanya berlanjut lewat lantai. Tak bisa saling meraba, apalagi mencium. Kalaupun di siang harinya bersua, biasanya si pemudi ditemani pengusir nyamuk, semacam pengawal, tatkala ingin bersua dengan pujaan hatinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun