Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kotanopan Kala Itu

30 Maret 2019   10:08 Diperbarui: 30 Maret 2019   11:25 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Tapi harta lebih menarik!" gerutuku.

"Ya, siapa tahu  kita menjadi kaya mendadak!" balas Bokor. "Sekali mendayung, dua-tiga pulau terlampaui."

"Kita bisa kuwalat!"

"Tak ada itu dalam kamus kehidupanku," jawabku.

Pukul satu dini hari, ketika hanya suara jangkrik yang terdengar, aku, Matdirin dan Bokor pergi menuju tangga pasanggrahan. Kami mengetuk-ngetuk tangga agar tahu bagian mana yang kopong. Matdirin lalu turun ke parit di bawah tangga. 

Dia mencari celah yang bisa dijadikan pertanda awal bahwa di situ benar ada harta benda peninggalan Belanda. Tapi ketika keluar dari parit di bawah tangga, hanya muka masam bercampur lumut yang dibawanya. Aku tersenyum. Bokor memegangi perutnya menahan tawa.

"Ada tanda-tanda?" tanyaku.

"Tanda-tanda badanku basah, ada!" geram Matdirin. Dia bermaksud mengurungkan rencana gila itu, kemudian memilih tidur serupa Bari. Namun aku tetap memaksa, kalau perlu memecahkan tangga dengan batu-batu besar yang tersusun di bawah mahoni. 

Matdirin menganggapku gila. Bagaimana mungkin memecahkan tangga peninggalan Belanda yang sangat keras itu? Lagipula berapa jam dihabiskan demi menemukan sebuah lobang di bawahnya?

Sedikit timbul pertengkaran di antara kami. Saat aku ingin mengambil batu besar di bawah mahoni, angin dingin tiba-tiba berhembus semilir. Bau bunga melati menyengat. Aku melihat wajah Matdirin dan Bokor pias. Gerangan apa ini?

Tanpa sadar aku melihat ke koridor pasanggarahan. Seorang perempuan mengenakan blouse putih, tengah berdiri menghadap kami. Kulitnya pucat. Rambutnya sepunggung berwarna pirang. Matanya biru serupa bule.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun