Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kidung Cemburu

27 Februari 2019   22:35 Diperbarui: 27 Februari 2019   22:48 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pikiranku berkecamuk. Di sisi yang satu, aku ingin sekali bertemu Hilal. Setan lelaki itu. Dia berhasil menghipnotisku. Sementara di sisi yang lain, aku merasa sangat bersalah mengkhianati Warok.

Tiba-tiba taksi berhenti. Jalanan di depan situ macet total. Aku menggaruk-garuk kepala kesal. Dan tiba-tiba pula aku tersentak melihat seseorang di seberang trotoar. Seseorang berpakaian rapi yang sangat kukenal. Dia menawarkan, ah seperti parfum kepada para pejalan kaki yang melintas. Juga beberapa alat make up, sepertinya bedak, dan lipstick. 

Jalan kembali lancar. Taksi berjalan pelan. 

Aku meraih ponsel dan menghubungi seseorang.

"Hai, tumben meneleponku. Ada apa, Inggit?" Suara cempreng perempuan menjawabku di seberang.

"Anu, apakah Warok tak masuk kerja hari ini?" Aku merasa benar-benar dikadali oleh suamiku sendiri. Untuk apa coba berjualan pernak-pernik perempuan di pinggir jalan? Memalukan! O, apakah dia telah berpacaran dengan pramuniaga? Apakah dia sengaja membantu pacarnya karena sang pacar sedang kebelet buang air besar?

"Tak masuk kerja? Warok tak bercerita kepadamu, Inggit? Sudah enam bulan perusahaan kami bangkrut. Sekarang saja aku terpaksa membuat kue-kue pesanan tetangga untuk membantu suami membiayai rumah tangga. Kenapa Warok sampai tak memberitahumu?"

Aku terperanjat. "Terima kasih, ya, Fel. Nanti kita sambung lagi," ucapku memutuskan telepeon. Aku mendadak lunglai. Merasa sangat bersalah. Betapa Warok sangat rapi menyembunyikan rahasianya kepadaku. 

Berarti selama ini, segala sesuatu yang asing  dan melekat di badannya, dan membuatku marah, dan membuat mau muntah, adalah akibat dia menjadi pramuniaga tetek-bengek perempuan. Tuhan, betapa kejamnya aku menilai Warok. Kenapa pula setiap kusembur tentang perselingkuhan dan bau asing di tubuhnya, noda lipstik di bajunya, dia tak berterusterang saja. Kenapa dia harus menutupinya dengan amukan? Warok, harusnya kau jangan merasa malu bila istrimu tahu sekarang ini kau bukan sebagai orang kantoran lagi. 

"Pak, kita ke mall saja!" seruku cepat.

"Lho, kita harus berbalik arah, dong!"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun