Kuingat setiap kali meneleponku, Hilal telah mengucapkan berbagai tempat untuk pertemuan kami. Kantin kampus, Benteng Kuto Besak, mall, bioskop dan berbagai tempat yang sungguh tak kuingat satu per satu. Kini dia mengajakku bertemu di kafe itu.Â
O, aku ingat kenangan sekian tahun lalu ketika begitu saja aku menurut diajak Hilal ke kafe itu. Hilal merasa seperti pangeranku, sementara aku merasa dia pengawalku. Aku lebih banyak tertawa menjawab rayuannya. Hingga kecupan seorang pencuri cinta hinggap di pipiku. Hilal telah melakukannya.
Aku marah besar dan meninggalkannya yang hanya bisa terpelongo. Tapi jujur, kecupan kurang ajar itu terus kuingat. Kecupan itu sama sekali tak sepadan dengan kecupan Warok yang terlalu formal. Mungkin aku salah untuk hal ini. Tapi itulah kenyataannya.
* * *
Siang yang menipis dikerat-kerat petang yang mematangkan diri. Di luar sana hujan tak muncul seperti biasa. Alangkah indahnya merenung sambil menonton telenovela di tivi sambil sesekali menyuruput teh yang sudah dingin.
Tapi semua itu tak dapat kulakukan. Tentu saja setelah Warok menelepon akan datang terlambat. Terlebih-lebih kemudian pintu diketuk pelan. Seorang lelaki memaksa masuk dengan wajah penuh birahi berpoles cinta. Aku mencoba mendorongnya keluar karena merasa tak pantas menerima lelaki lain saat suamiku tak ada.
Tapi kekuatan birahi dan cinta lelaki itu, yang mencoba meniup-niup bara di dadaku, sungguh telah mengalahkan segalanya. Aku merasa terdorong oleh sesuatu yang tak nyata. Seperti tangan yang kokoh. Aku merasa terjajar ke sofa tanpa seorang pun yang berusaha menjajarku. Kecuali mata lelaki itu. Lelaki yang kini duduk di sofa sambil menatapku, antara sendu dan nyalang.
"Kenapa Mbak tak berusaha keluar dari masalah ini? Mbak jangan bodoh! Ini sudah jaman emansipasi wanita. Tak selayaknya seorang wanita menjadi bulan-bulanan lelaki." Dia menatap secangkir susu panas di atas meja. Barusan aku membuatnya dengan sangat tergesa, gugup dan tangan gemetar. Dia meraih cangkir itu. Dia menyeruput susu panas itu pelan. Hilal, Hilal. Kau sungguh membuatku gelagapan.
"Aku tak ingin berbuat seperti Warok. Biarlah dia bermain dengan perempuan lain, asal aku tetap menjadi istri yang setia?"
"Istri yang setia?" Hilal tertawa lebar. Dia menepuk-nepuk punggung tanganku. Cara yang cocok untuk menguasai diriku. Nyatanya, aku tak berusaha menarik tanganku. Aku hanya tertunduk seolah menikmatinya.Â
"Berapa kali Warok mengkhianatimu, Mbak? Berapa kali kau dikasari? Kenapa menjadi orang bodoh yang bertahan menjadi istri setia untuk seorang suami yang durjana? Sementara di luar sana ada lelaki yang mencintaimu dengan tulus."