"Warok tak sampai menjadi suami durjana menurutku. Dia hanya seperti banteng yang mengamuk setiap kali aku menuduhnya selingkuh. Dia bersumpah tetap menjadi suamiku yang setia, dengan tentu saja memastikannya dengan kata-kata kasar bahkan pukulan."
Hilal tertawa. Dia semakin menusuk dengan kata-kata. Dengan tatap. Dengan sentuhan tangan yang lembut.Â
Kurasakan badanku menjadi hangat. Kurasakan angin berhembus menderu. Tak hanya dari luar sana yang menyelinap dari sela pintu depan, pun dari mulut Hilal yang semakin dekat dariku.
Ternyata kesucian hati bisa tergoyah begitu saja bila cinta melekat di dada. Bila cinta kemudian dipanaskan dengan nyala api sedang. Maka, sungguh dia akan bergolak birahi. Menjadi syahwat seperti gelenyar yang indah. Seperti saat kau menyeruput sampanye.
Aku telah melupakan segalanya. Diterkam serigala bernama Hilal.
Petang yang merangkak cepat, seakan bergoyang. Tapi seraut wajah seolah muncul di balik tengkuk lelaki yang mencoba melumatku. Wajah Warok dengan tatapan seperti ingin membunuh. Begitu saja langsung kudorong kuat-kuat tubuh Hilal. Wajah Warok sekejap lenyap. Aku merasa bersalah telah menelikung di belakang suamiku.
"Kenapa kau menolak, Mbak?" Hilal masih memendan birahi di matanya. "Mbak menginginkannya seperti apa yang kupendam selama ini. Kendati Warok akhirnya menceraikanmu, akulah orang pertama yang menerimamu, Mbak!"
"Kataku pergi, Hilal!"
"Tapi Warok telah mengkhianatimu, Mbak!"
"Aku sebatas curiga, belum pernah melihat Warok berselingkuh di depan mata kepalaku sendiri."
"Tapi dia telah mengasarimu!" Hilal menepuk punggung sofa.