Telepon itu berdering sekali. Kubiarkan saja. Telepon itu berdering kedua kali. Aku melemparkan selimut, lalu mencari-cari sandal di bawah dipan dengan ujung jempol kaki. Telepon itu berdering ketiga kali.
Aku menjangkau kursi, duduk sebentar dan meraup wajah. Kuperhatikan mataku di cermin. Sembab. Tanganku perlahan ingin meraih horn telepon. Tak ada dering lagi. Ujung horn telepon kudekatkan ke telinga. Hanya suara tuuut panjang yang terdengar.
Di luar masih hujan. Hampir pagi. Aku mengingat-ingat kejadian tadi malam sebelum aku menangis. Sebelum akhirnya aku kelelahan dan tak sadar terlelap. Tangan suamiku yang kasar, untuk kesekian kali membungkam mulutku. Untuk kesekian kali aku merasakan tidur sendirian karena suamiku minggat dari rumah memeram amarahnya.Â
Seharusnya aku yang berhak marah, toh?
Bagaimana mungkin dia tak main mata dengan perempuan lain. Setiap bulan muda, gajinya sering berkurang. Dia memberi alasan-alasan penggunaan gaji itu, tapi tetap tak masuk di akal. Berkali pula aku menemukan hal aneh di badannya. Semacam wangi parfum yang tak biasa dia gunakan.
Berkali pula aku menemukan sesuatu yang baru di kemejanya. Warna merah seperti lipstik. Dan dari tatapnya, aku seakan menyelam di dalam kedustaan yang amat dalam dan gelap.
Bila hatiku tak tahan, bergerilyalah mulutku memuntahkan kata-kata penuh kecurigaan. Kutahu akhirnya aku dikalahkan amarahnya. Amarahku digelungnya dengan amarahnya. Seperti tadi malam, aku terkena knock out langsung dan mengaku kalah kepada kasur.
Telepon itu berdering lagi. Aku tak ingin kehilangannya. Kuraih horn, dan membiarkan sapa mengelus lembut lobang telingaku.
"Baru bangun, Mbak?"
"Hmm!" Aku mencoba tersenyum kepada cermin.
"Jadi kita bertemu di kafe biasa tempat kita bersua saat kuliah dulu?"