Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - PENULIS
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Hutan kata; di hutan aku merawat kata-kata.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kidung Cemburu

27 Februari 2019   22:35 Diperbarui: 27 Februari 2019   22:48 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Dia masih suamiku, Hilal! Pergilah! Aku tak ingin diganggu."

Hilal pergi seperti seorang remaja tanggung yang tak berhasil mengecup pipi calon kekasihnya. Aku tahu dia marah besar. Tapi biarlah, ini adalah pilihan terbaik. Kuperhatikan punggungnya hingga lenyap di dalam mobil sedan hitam metalik. Pintu pun kututup pelan-pelan.

Buru-buru aku mandi seolah tubuhku telah digerayangi ratusan ulat bulu. Aku ingin melenyapkan bekas sentuhan Hilal. Aku ingin menghapus bekas dengusannya yang hampir menjangkau pangkal leherku. Kusabuni sekujur tubuh ini dengan kuat-kuat, seolah ingin kulit mulusku ikut mengelupas. 

Bunyi bel kemudian menghentikan ritual mandiku. Buru-buru kukeringkan badan dan mengenakan kimono. Di sana, di pintu depan, telah berdiri Warok dengan senyum manisnya. Dia meminta maaf karena telah memarahi dan memukulku. Dia meminta ampun karena minggat dari rumah hingga pagi. Dia juga merasa sangat bersalah karena tadi pagi buru pergi bekerja tanpa sedikitpun mengajakku bercakap.

Inilah kebiasaan yang terjadi setelah amukan Warok padam. Dia tiba-tiba seolah sangat menyayangiku. Dia seolah pengantin baru yang begitu hangat. Meskipun aku merasa mual oleh bau badannya yang asing. Meskipun aku merasa segala gerak tubuh dan tatap matanya penuh dusta. Sebagai istri aku menerimanya di peraduan. Aku harus menunjukkan rasa suka, kendati itu sama saja bedak yang menutupi hati yang luka.

* * *

Hal yang aneh tiba-tiba terjadi kepadaku. Meskipun Warok tak berperangai ganas beberapa hari belakangan ini---tentu saja karena memang aku tak memicunya---ingatanku kepada Hilal mengental. 

Ada rasa yang merusuh di dada ini. Aku ingin bertemu Hilal di kafe itu. Perbuatannya terakhir kali yang hampir mengecup mesra pangkal leherku, mungkin menjadi pemantik api yang menjalar hangat ini. 

Aku buru-buru menyetop taksi setelah menelepon Hilal. Lelaki itu lumayan terkejut ketika kuutarakan aku memenuhi ajakannya bertemu di kafe. Dia bahkan sampai gelagapan menyusun rencana menemuiku. Dia harus ijin kantor dulu dengan alasan yang masuk ukul. Bukankah sekarang baru jam sepuluh pagi, dimana para karyawan sedang dalam posisi on? Posisi yang membuatnya harus sibuk dalam pekerjaan dan tak ingin diganggu.

"Baik, Baik. Aku segera menemui, Mbak!" Dia tertawa renyah. "Terima kasih, Tuhan!" Aku tak tahu apakah ucapannya Hilal itu wajar. Kenapa harus berterimakasih kepada Tuhan, kalau apa yang akan kami lakukan sebenarnya membuat Tuhan marah?

"Ke mana kita, Bu?" Sopir taksi menyadarkanku. Aku menjawab dengan menyebutkan nama sebuah kafe. Dia tersenyum. Taksi melaju pelan di jalan yang lengang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun