"Mardi..!" teriakan itu membuatnya tersentak. Dia bergegas menarik sendal dari kolong tempat tidur dengan ujung jempol kaki. Hujan gerimis masih setia merawat pagi. Tempiasnya mengukir kaca jendela seakan mengajak lelap tetap rapat.
Tiba-tiba dia melirik almanak. Matanya berhenti tepat di angka sepuluh bulan Februari. Angka itu dilingkari merah. Ada yang istimewakah? Valentine day! Ah, itu kan tanggal 14!
Wadow! Dia menepuk jidat kesal, baru sadar bahwa hari itu hari pertamanya bekerja. Dia melirik jam di atas meja. Perasaan tadi malam alarm sudah di posisi on. Sial, jam itu kehabisan baterai!
Mardi lagi apes. Terlambat bangun, hujan gerimis, jam mati, apalagi? Nah, wajah Mak yang kusut menyambutnya. Serentet emolen seakan dilesakkan dari mulut meriam. Menyakitkan telinga. Itu sudah menjadi makanan Mardi sehari-hari. Kalau tak ngomel, bukan Mak namanya.
"Mak, air di bak sedikit sekali." Dia menekuk bibir bawahnya. Mak hanya menjawab, itu upah terlambat bangun pagi. PAM lagi merajuk. Lalu, hening.
Sepuluh menit kemudian, Mak terbelalak. "Sudah mandi, Mar? Cepat amat?"
"Ogah! Cuci muka aja. Ini lagi buru-buru." Dia menyalami, dan mencium tangan si mak.
"Dadah Mamak," lanjutnya sambil berlari menuju teras. Tinggal mak yang hanya bisa geleng-geleng.
Bagai kesetanan Mardi menghidupkan motor, lalu melenggang di jalanan yang masih lengang. Tumben pagi itu jalanan cukup ramah. Hmm, jadi tak terlambat di tempat kerjaan.
Tapi harapan terkadang tak sesuai kenyataan. Genangan air sisa hujan deras tadi malam, menghadang di depan. Tak usah cemas, urusan begitu, kecil. Zigzag sudah bisa menyelesaikan masalah.
Hanya saja menjadi masalah ketika sebuah mobil big foot berkecepatan sedang, seperti sengaja menghantam genangan air itu. Mardi meradang. Seragam barunya kotor. Tambah meradang karena si Joki, motornya itu, setiap kena air langsung demam, persis kambing.
Hasilnya, Mardi hanya bisa mengacungkan tinju ke arah mobil brengsek itu. Hasil lainnya, dia terpaksa menerima omelan kepala bengkel. Hari pertama kerja sudah terlambat. Bagaimana dia bisa lolos masa percobaan selama tiga bulan?
Hari itu memang hari sialnya. Dia benci hujan. Andai saja hujan tak turun semalaman, mungkin dia bisa bangun cepat. Andai saja hujan tak membuat genangan air di jalan, dia barangkali tak berurusan dengan mobil brengsek itu. Awas pembalasan Mardi! Belum tahu, dia itu jago karate. Kesal, Mardi menghantam ban motor yang sedang dia perbaiki.
"Apalagi?" Kepala bengkel melotot.
"Eh, aku teringat lagi latihan karate."
"Gundulmu! Kerja yang benar!"
Mardi salah tingkah. Masih muda kok pemarah! Cepat tua tahu!
Seseorang mengintip Mardi dari jendela kaca sambil tersenyum.
***
Mardi masih kesal senja itu. Daripada merutuk terus, dia memilih rebahan sambil bersiul-siul menyenangkan hati. Tantangan bekerja adalah hari pertama. Jika enjoy melakukannya, mudah-mudahan ke depan berjalan baik-baik saja
"Eh, pamali selepas ashar tiduran." Mak mengomel lagi. Wajahnya menyembul di sela pintu. Mardi hampir tertawa melihat perempuan itu maskeran. Ternyata dia juga ingin terlihat cantik. Bukankah cantik itu luka? Entah di mana Mardi pernah membaca kalimat itu. "Bantu Mak belanja mangga muda, ya?" Akhirnya Mardi menelan rasa ingin tertawanya.
"Mangga muda? Jam segini pasar sudah tutup, Mak." Jurus ngeles Mardi mulai keluar.
"Bukan di pasar, tapi di mall. Ayolah, adik kau yang pengen."
"Adik?" gumam Mardi bingung. Melihat perempuan itu menunjuk ke arah perutnya sendiri, Mardi mulai paham sekaligus agak kesal. Kenapa sih bakal adiknya baru muncul setamat dia SMK? Bagaimana kalau kelak orang-orang menebak kalau si adik itu sepupunya? Kan malu!
"Jangan pikir macam-macam, Mar. Terima saja amanah dari Allah." Mak seakan tahu apa yang ada di batok kepala anaknya.
"Iya, iya. Ngerti!" Mardi tak ingin memperuncing masalah. Dia melesat membelah suasana kota yang mulai mendung. Bisa berabe bila hujan turun lagi. Mangga muda tak dapat, omelan mak juga akan tayang semalam suntuk seperti tanggapan wayang kulit.
Nomong-nomong apakah di mall ada mangga muda? Perasaan semua mangga yang dipajang di situ mangga masak semua. Haruskah Mardi mengelilingi seluruh kota untuk mencarinya? Mak, Mak, sekali-kali memberikan tugas yang menyenangkan hati dong.
Dan apes itu tetap setia mengikuti langkah Mardi. Si mbak penjual menggoda, "Lagi ngidam, ya!"
"Iya, mak aku." Dia cemberut. Si Mbak hendak menyambung omongannya, tapi Mardi sudah beranjak ke luar mall. Eh, ternyata hujan turun deras. Nah, kan? Mardi hanya bisa merengut sambil memukul angin. Memukul angin? Hei, sejak kapan angin bisa bersuara ketika dipukul? Mardi ketakutan ketika angin itu adalah seorang lelaki yang merah pipinya akibat ditonjok.
"Mau mukul lihat-lihat, tau!" Lelaki itu merengut. Mardi malahan berteriak senang sambil mendaratkan pukulan pelan ke pipi kiri si lelaki. Mungkin maksudnya biar bekas pukulan itu tak gimbal. Sebelah kanan ada, sebelah kiri juga harus ada.
"Herman! Ini kau, ya? Waduh lama kita tak jumpa."
"Mar! Ini kau? Aku mau...." Herman tak jadi melanjutkan omongannya karena sudah diseret Mardi ke bangku di pojokan mall. Di sana Mardi  tak bertanya macam-macam layaknya orang yang bertemu setelah sekian lama terpisah.  Tapi dia hanya membuat pusing Herman tentang mak. Tentang mangga muda. Tentang a.... Oh, tak jadi, dia malu.
"Begitulah, Man. Di mana dong mencari mangga muda senja begini? Mana hujan lagi. Selalu saja hujan membuatku kesal."
"Huss! Hujan itu rahmat, tau!" Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
"Oiya. Maaf deh!"
"Maafnya sama Tuhan."
Sesaat hening. Tapi tak lama kemudian suara girang Mardi terdengar. Ternyata Herman membawa berita bahagia. Mak Herman sedang ngidam. Jadi, tadi pagi beli mangga lima kilo. Herman tak tahu apa maknya mau ngerujak atau ganti profesi dari sekretaris menjadi penjual mangga.
"Kalau begitu kita ambil dulu mangganya. Rumahku di dekat sini kok. Selepas itu temani aku beli ke kemeja baru, ya?"
Ciyee, Mardi mengacungkan jempol. Herman sekarang cakep, ya? Tak ingusan lagi seperti sewaktu esde. Â Apakah? Ah sudah, ah!
Setelah Shalat Maghrib dan ngomong sebentar dengan  mak Herman, giliran berburu kemeja. Bukan main senangnya hati Mardi. Apalagi beroleh lima buah mangga. Dia membayangkan maknya di rumah akan tersenyum bahagia sebab kehendaknya dipenuhi. Dia semakin senang, Herman membelikannya sekotak coklat. Hehe, tinggal beberapa hari lagi valentine day. Aha! Apa maksud Herman membelikannya coklat?
***
"Mardi!" Suara mak bagaikan petir di siang bolong. Yang diteriakin hanya mesem-mesem. Dia semakin mesem-mesem ketika Herman muncul di belakangnya. Mak salah tingkah. "Eh, Mardiana ada kawan. Mari masuk, Nak. Duduk! Kamu kawan Mardiana, ya?"
Herman menyalami dan mencium  punggung tangan mak. "Saya Herman, Mak. Kawan Mardiana saat esde." Dia duduk di atas sofa. Buru-buru si mak menyeret Mardi ke ruang tengah.
"Eh, kok tak pernah kasih tahu kalau kau punya teman cowok. Â Ganteng lagi. Mak jadi pengen." Perempuan itu terkikik.
"Pengen apa?"
"Pengen jadikan mantu."
Mardi buru-buru menutup mulut Mak, soalnya Herman tiba-tiba berdiri di belakang mereka sambil membawa sekantong kresek mangga. "Kelupaan mangga muda mak di mobil. Mak sedang ngidam, ya? Sama dong dengan Mak saya."
"Wah, itu artinya jodoh." Mak mematuk-matukkan dua jari telunjukkan gemes. Wajah Mardi bersemu merah. Herman tertawa sambil menggaruk-garuk kepalanya.
***
Pagi masih muram. Hujan gerimis turun pelan-pelan. Mak tak seperti biasanya mendadak kalem. Nasi goreng sudah terhidang di meja makan. PAM ngocor sangat deras. Â Mardi juga terlihat lebih feminin. Soal cantik, dari dulu dia sudah cantik, tapi tomboy.
"Pinjam parfumnya, Mak?" Â Â Â Â
"Apa mekanik perlu parfum, Mar? Biasanya mekanik itu memakai parfum oli. Lagi jatuh cinta, ya?"
"Ah, Mak. Nggak enak sama pelanggan. Mekanik boleh memakai parfum juga, kan?"
Sekonyong terdengar suara klakson. Mak buru-buru mengintip dari jendela. Dia tersenyum senang. Ternyata ada Herman di halaman depan. Buru-buru Mak mempersilahkannya masuk, dan sarapan sama-sama. Untung si mak cukup banyak memasak nasi goreng.
"Bapak mana, Mak?" tanya Herman.
"Oh, suami  mak bekerja di luar kota. Di perusahaan migas."
Mereka sepertinya bertambah akrab. Tape anehnya, Mardi agak pediam. Bahkan ketika berada di dalam mobil Herman, Mardi tetap tak banyak omong, kecuali Herman yang memulai pembicaraan.
"Ada yang aneh nggak dengan mobil ini, Mar?" tanya Herman.
"Aneh apanya?"
"Ya, tentang genangan air itu, mobil big foot." Herman cengengesan. Mardi kembali memutar memorinya. Saat itulah dia terdasar. Ternyata mobil yang dinaikinya adalah mobil yang sama saat dia diciprati genangan air. Anehnya lagi, kenapa saat diantar pulang dengan mobil itu tadi malam, dia tak menyadarinya. Apakah dia sedang jatuh cinta, sehingga seakan lupa ingatan? Â "Aku masih ingat wajahmu. Aku juga kenal seragam yang kau pakai."
"Kenal dari mana?" tanya Mardi. Belum sempat Herman menjawab, mobil sudah berhenti di depan sebuah bengkel, tempat Mardi bekerja. Berhubung Herman ada urusan yang diburu, setelah Mardi turun, mobil kembali melaju. Kepala bengkel terkejut. Dia menggamit lengan Mardi.
"Kok bisa diantar bapak itu?"
"Bapak mana? Herman maksudnya?" Â Mardi meletakkan tas ke dalam locker.
"Iya, dia itu pemilik bengkel ini!"
"Ha?"
Kemudian ada yang berubah pada diri Mardi. Dia menjadi perempuan yang tambah feminin, juga menjadi pecinta hujan. Ternyata hujan itu benar-benar rahmat, ya!
Plg, 07-02-2020
----000----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H