Penelitian mula-mula mengkaji kelayakan tanah. Tanah di lokasi tujuan kolonisasi harus datar dan subur. Selain itu, sumber air pun harus banyak tersedia. Kajian tersebut bertujuan agar pertanian yang akan dilakukan bisa berhasil.
"Lampung dipilih karena semua hal itu tersedia. Tanah di Gedong Tataan memenuhi syarat. Sumber air pun banyak. Sampai sekarang sumber air di sana pun masih bagus," kata Muhajir.
Hal lain yang menjadi penelitian adalah aspek sosial budaya masyarakat. Muhajir menerangkan, budaya masyarakat lokal Lampung dinilai memiliki penerimaan yang baik terhadap masyarakat pendatang. Hal itu untuk menghindari terjadinya konflik pada kemudian hari antara masyarakat pendatang dan lokal.
Aspek sosial budaya masyarakat yang akan didatangkan pun menjadi penilaian. Muhajir menuturkan, Pemerintah Hindia Belanda melakukan seleksi dengan menetapkan kriteria calon kolonis. Kriteria itu, antara lain mau bekerja keras, siap menderita, berani, serta dapat beradaptasi, bukan hanya kepada lingkungan ekologi tetapi juga masyarakat.
"Mengapa dipilih penduduk dari Kedu, karena pemerintah telah melakukan studi di sana. Jadi, kolonisasi dilakukan dilandasi dengan kajian-kajian yang akademis," ungkap Muhajir.
Dalam melaksanakan perekrutan, Pemerintah Hindia Belanda memanfaatkan etnis Tionghoa sebagai petugas lapangan yang mencari calon kolonis. Wakidi menuturkan, para pencari calon kolonis tersebut dikenal sebagai laokeh. Mereka bekerjasama dengan aparat keamanan yang melakukan pencatatan calon kolonis yang memenuhi kriteria.
Pemerintah Hindia Belanda pun menerbitkan buku propaganda kolonisasi. Buku-buku propaganda mengajak penduduk Jawa untuk mengikuti kolonisasi. Penduduk Jawa diberikan penjelasan mengenai keuntungan mengikuti kolonisasi.
Buku propaganda juga bertujuan untuk menangkis pemberitaan media massa saat itu yang dianggap telah membentuk ketakutan masyarakat mengenai lokasi kolonisasi. Persepsi masyarakat terbentuk karena media massa memberikan keterangan Lampung yang masih banyak gajah dan harimau. Kedua binatang tersebut dianggap sewaktu-waktu dapat memakan manusia yang tinggal di Lampung.
Keberadaan laokeh dan buku propaganda, sambung Wakidi, supaya target kuota kolonisasi terpenuhi. Sebab pada masa itu, sistem liberalisasi yang diterapkan telah memunculkan banyak perusahaan perkebunan swasta. Kebutuhan tenaga kerja telah menimbulkan migrasi penduduk dari Jawa ke lokasi perkebunan.
"Jadi, pemerintah dan swasta sebenarnya bersaing. Makanya, ada laokeh dan pemerintah membuat buku propaganda. Dulu yang paling banyak migrasi tenaga kerja, ke perkebunan tembakau di Deli, Sumatera Utara," papar Wakidi.
Sembari melakukan perekrutan, Pemerintah Hindia Belanda menyiapkan lahan untuk kolonisasi di Gedong Tataan, Lampung. Proses persiapan lahan diawali dengan permintaan izin kepada pemangku adat Lampung di Padang Ratu Kedondong untuk menggunakan lahan di Gedong Tataan. Hal itu dilakukan karena masyarakat lokal lekat dengan tanah ulayat atau adat. Sementara, luasan tanah ulayat tidak pernah memiliki ukuran yang jelas.