Untuk durasi waktu yang dibutuhkan ketika menggunakan kereta api maupun kapal laut, Wakidi menuturkan, dokumen Pemerintah Hindia Belanda tidak menyebutkan hal tersebut.
Setelah sampai di Lampung, rombongan kolonis kemudian menetap selama tiga hari di bedeng yang terletak tak jauh dari pelabuhan. Selama tinggal di bedeng, mereka diberikan pelatihan singkat mengenai pertanian yang akan dilaksanakan di wilayah kolonisasi. Hal itu karena tidak semua penduduk yang mengikuti kolonisasi memiliki mata pencarian sebelumnya sebagai petani.
Pemerintah Hindia Belanda menetapkan lokasi kolonisasi pertama di Lampung adalah daerah Gedong Tataan. Wakidi menuturkan, dirinya belum menemukan dokumen tertulis yang menjelaskan mengenai perjalanan dari bedeng di sekitar pelabuhan menuju Gedong Tataan.
Wakidi memperkirakan, rombongan kolonis menggunakan mobil milik Karesidenan Lampung untuk menempuh perjalanan tersebut. Perkiraan penggunaan mobil milik karesidenan karena transportasi yang melayani jalur tersebut tidak ada. Selain itu, infrastruktur jalan yang ditempuh pun masih sulit.
"Menggunakan mobil (milik karesidenan) paling jeep. Tetapi, ada yang mengatakan mereka berjalan kaki. Saya belum menemukan arsip bagaimana mereka melakukan perjalanan (dari bedeng ke Gedong Tataan). Perkiraan saya tersebut, berdasarkan bayangan transportasi waktu dulu, itu masuk akal," papar Wakidi.
Cerita perjalanan dengan berjalan kaki dari bedeng di sekitar Pelabuhan Telukbetung menuju Gedong Tataan disampaikan generasi ketiga kolonis Bagelen, Mariyanto. Hal itu merupakan pengalaman neneknya, Ahmad Dumar, yang mengikuti kolonisasi dari Bagelen, Kedu tahun 1927.
Meskipun bukan termasuk dalam rombongan pelopor kolonisasi, Mariyanto mengatakan, neneknya masih berjalan kaki selama dua hari tiga malam untuk bisa sampai di Gedong Tataan pada 1927. Jalan yang dilalui pun berupa jalan setapak.
"Dia sambil membawa anak yang masih berusia tiga bulan. Anak itu merupakan bapak saya," kata Mariyanto.
Menempati wilayah kolonisasi yang sama sekali baru, Wakidi menuturkan, rombongan kolonis sebenarnya telah memiliki persepsi tersendiri mengenai Lampung. Hal itu tak lepas dari pemberitaan media massa yang mereka dapatkan.
"Dulu (sebelum berangkat), mereka takut dimakan gajah dan harimau. Dua binatang itu terkenal karena pemberitaan buletin-buletin Belanda. Kalau datang ke Lampung, bisa dimakan gajah sama harimau," urai Wakidi.
Sebagai upaya membuat nyaman suasana, para kolonis kemudian mengusulkan agar nama tempat tinggal mereka dinamakan sama dengan nama wilayah yang sebelumnya mereka tinggali di Jawa.