Bentuk tanggung jawab yang ditunjukkan Pemerintah Hindia Belanda karena kolonisasi merupakan program terencana. Wakidi menuturkan, perpindahan penduduk dari wilayah padat, khususnya Jawa, ke wilayah lain yang relatif lebih lapang di luar Jawa telah menjadi wacana sejak lama. Wacana itu muncul jauh sebelum kolonisasi akhirnya direalisasikan.
Pemikiran untuk memindahkan penduduk Jawa pertama kali diungkapkan Thomas Stamford Raffles pada 1814. Raffles, yang tengah menjadi penguasa di Indonesia ketika Inggris menjajah, mencatat jumlah penduduk Jawa pada tahun tersebut sebanyak 4,6 juta jiwa. Jumlah itu diperkirakan akan berlipat ganda dalam tiga sampai empat dasawarsa.
Kecemasan penambahan penduduk Jawa berlipat ganda pada masa mendatang juga disampaikan Leonard Pierre Joseph du Bus de Gisignies saat menjadi penguasa Hindia Belanda pada 1827.
Pernyataan Raffles dan Gisignies bukan tanpa perhitungan. Keduanya memperkirakan, sistem liberal yang diterapkan pada masa itu memberikan kesempatan masyarakat pribumi sedikit peningkatan kesejahteraan. Penduduk Jawa pun telah mendapatkan pangan yang lebih baik dibandingkan waktu-waktu sebelumnya. Dugaan tersebut terbukti, pada pertengahan abad ke-19, penduduk Jawa telah berjumlah sekitar 8,9 juta jiwa.
Meskipun jumlah penduduk Jawa meningkat, perkiraan Raffles dan Gisignies ternyata tidak sepenuhnya benar. Sistem liberal, yang memberikan kesempatan lebih luas kepada swasta, diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan penduduk pribumi, nyatanya tidak terealisasi.
Hal tersebut diperparah ketika penerus Gisignies, Johannes van den Bosch, menerapkan sistem tanam paksa. Wakidi menerangkan, sistem tanam paksa telah menghisap habis tenaga tanpa memberikan kesejahteraan kepada penduduk Jawa.
"Tetapi, jumlah penduduk Jawa ternyata tetap semakin meningkat. Secara logika, ini tidak bisa dipikir. Kesejahteraan menurun, tetapi penduduk malah bertambah," ucap Wakidi.
Terjadinya peningkatan penduduk ternyata untuk menutupi beban kerja yang banyak maupun besaran pajak yang tinggi. Wakidi mengatakan, kepala keluarga merasa tidak sanggup apabila harus menghadapi seluruh beban tersebut seorang diri.
"Makanya, mereka banyak melahirkan anak. Harapannya, beban kepala keluarga dapat ditanggung bersama," kata peraih gelar magister humaniora Universitas Gadjah Mada (UGM) pada 1997 tersebut.
Sekitar tahun 1980-an, banyak industri tekstil di Belanda mengalami kebangkrutan. Hal itu terjadi karena produk tekstil yang mereka hasilkan tidak laku dijual ketika dipasarkan di Indonesia, terutama di Jawa. Penyebabnya, penduduk Jawa tidak mampu membeli tekstil tersebut akibat penghasilan mereka yang minim. Upah buruh yang dibayarkan pengusaha perkebunan swasta yang bermunculan di Indonesia tergolong murah.
Menurunnya kesejahteraan hidup penduduk Jawa pada masa penjajahan, ungkap Wakidi, disebabkan tiga faktor, yaitu pertumbuhan penduduk yang pesat tidak terimbangi kenaikan produksi pangan, sistem tanam paksa dan kerja wajib yang hasilnya tidak dinikmati penduduk, serta tanggung jawab Jawa yang telah menjadi penopang finansial kepentingan politik Pemerintah Hindia Belanda di luar Jawa maupun untuk peningkatan kemakmuran negeri induk selama abad ke-19.