[caption caption="Presiden RI Ke-6 SBY Dengan Seragam Kopassus "][/caption]
Isu kudeta militer terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi) menjadi topik pembicaraan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam acara bedah buku di Kantor Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Jakarta Pusat, Senin (29/9). "Saya akan pasang badan jika TNI melakukan kudeta" Ungkap SBY yang dilansir semua media nasional. SBY memang salahsatu Jenderal yang merintis program reformasi TNI bersama koleganya Letjend Agus Widjoyo, sehingga merasa wajib untuk terus mengawal agar TNI tetap dalam koridornya sebagai alat pertahanan negara bukan sebagai alat politik, apalagi melakukan "coup" terhadap pemerintahan yang sah.
Pertanyaan menggelitiknya, benarkah Tentara di Indonesia akan tergoda melakukan Kudeta? Sepengetahuan Penulis, yang terbukti telah melakukan kudeta berkali-kali hanya Partai Komunis Indonesia (PKI). TNI tidak memiliki sejarah melakukan Kudeta di Negeri ini.
Di usia TNI yang ke-70 tahun ini, kajian tentang Tentara hubungannya dengan politik memang selalui menarik untuk dibahas dan tidak akan pernah basi. TNI sebagai garda terdepan untuk menjaga keutuhan NKRI tetap harus mendapat dukungan rakyat, diluar ada sisi sejarah yang kelam terkait dekatnya Tentara dengan kekuasaan di era pemerintahan Orde Baru.
Tentara dan Politik
Pemilu Tahun 2004 merupakan momentum penting bagi Tentara Nasional Indonesia (TNI). Berdasarkan amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, TNI tidak lagi berada di Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) setelah Pemilu 2004. Dalam UUD 1945 yang telah diamandemen pada tahun 2003, semua anggota MPR-RI harus melalui pemilihan dan tidak ada wakil rakyat berdasarkan pengangkatan.
Dengan adanya amandemen tersebut, TNI terpaksa “angkat kaki” dari Perlemen. Sejak tahun 2004 tidak ada lagi Fraksi TNI/ABRI di MPR-RI. Keluarnya TNI dari Parlemen, merupakan tuntutan dari gerakan reformasi yang menghendaki TNI/ABRI keluar dari politik praktis. Istilah populer dikalangan aktivis Mahasiswa tahun 1998, “TNI/ABRI harus kembali ke barak”. Maka sejak itu, konsep dwifungsi TNI/ABRI sudah tidak ada lagi.
Dwifungsi adalah suatu doktrin di lingkungan Militer Indonesia yang menyebutkan bahwa TNI memiliki dua tugas, pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara. Dengan peran ganda ini, militer diizinkan untuk memegang posisi di dalam pemerintahan.
Konsep dwifungsi TNI pertama kali muncul dalam bentuk konsep "Jalan Tengah" yang diusulkan pada tahun 1958 oleh Jendral A.H. Nasution, pimpinan TNI-AD pada saat itu kepada Presiden Soekarno untuk memberikan peluang bagi peranan terbatas TNI di dalam pemerintahan sipil.
Namun, pada masa pemerintahan Pak Harto, konsep ini mengalami perubahan tujuan awalnya. Dwifungsi era rezim Orde Baru menjadikan TNI secara organisatoris (bukan perorangan) menduduki jabatan-jabatan strategis di lingkungan pemerintahan seperti Menteri, Gubernur, Bupati, serta lembaga-lembaga legislatif dalam wadah Fraksi ABRI/TNI. Akibatnya TNI/ABRI menjadi sangat kuat sebagai penyokong utama rezim Orde Baru yang cenderung otoriter terhadap kelompok atau kekuatan politik yang tidak sejalan dengan Pak Harto.
Beberapa "Jenderal Pemikir" seperti SBY dan Agus Widjoyo menilai dengan Dwifungsi TNI/ABRI, seolah ada dikotomi antara sipil dan militer, kesannya ada perpecahan atau pemisahan antara sipil dan militer. Oleh karena itu, Dwifungsi TNI/ABRI secara perlahan-lahan dihapuskan pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Pada rapat pimpinan ABRI tahun 2000, disepakati untuk menghapus doktrin ini yang akan dimulai setelah Pemilu 2004.
TNI di Masa Reformasi
Ada fenomena menarik pada Pemilu 2004, 2009 dan 2014, walaupun dwifungsi TNI tidak ada lagi, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) yang berlatarbelakang militer terpilih sebagai Presiden, dan banyak purnawirawan TNI yang berdiaspora atau menyebar ke berbagai partai politik untuk bertarung mendapatkan kursi di Parlemen. Dan tahun 2014, Prabowo sebagai Capres berlatar belakang militer mendapat dukungan signifikan walaupun kalah tipis oleh Jokowi. Ini menandakan Rakyat masih mendambakan kepemimpinan nasional yang berlatarbelakang militer.
Terkait peran TNI dalam kehidupan sosial politik di Indonesia, penulis jadi ingat dalam sebuah seminar di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) Bandung, medio tahun 2001 yang menghadirkan Kepala Staf Teritorial (Kaster) TNI saat itu, Letjend Agus Widjoyo. Dalam presentasinya, Agus Widjoyo memaparkan dengan grafik peran TNI dalam kepemimpinan nasional pasca 1998. Letjen Agus Widjoyo menggambarkan tren penurunan peran TNI dalam kepemimpinan nasional periode 1998-2003.
Dengan analisanya, Letjen Agus Widjoyo meramalkan, tren penurunan tersebut hanya sementara. Diprediksi paling cepat 5 - 10 tahun, kepemimpinan nasional akan kembali ke TNI. Prediksi Agus Widjoyo ternyata benar, bahkan lebih cepat. Tahun 2004, melalui Presiden SBY, TNI kembali jadi pemimpin nasional, walaupun kapasitas SBY waktu itu sebagai purnawirawan TNI.
Peneliti dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) Dr Kusnanto Anggoro berpendapat, terpilihnya SBY yang berlatarbelakang militer dan menyebarnya purnawirawan TNI ke partai politik adalah gejala biasa, karena dalam masa transisinya Indonesia menganut sistem hibrida. Berbeda dengan pengalaman negara Amerika Latin, seperti Argentina, yang memutus secara tegas antara rezim militer dan sipil. Menurut Dr Kusnanto Anggoro, jika masih ada pemikiran lama atau “konservatif” dibawa oleh pensiunan TNI ke parlemen dan eksekutif, yang akan terjadi adalah pemerintahan otoritarian semu (quazi-otoritarian government).
Namun, kekhawatiran banyak pihak akan kembalinya quazi-otoritarian government dengan terpilihnya Presiden SBY selama dua priode, serta banyaknya purnawirawan TNI menjadi anggota legislatif, sampai saat ini tidak terbukti. TNI sebagai institusi tampaknya tidak lagi tergoda dalam politik praktis. Hal ini terbukti dalam Pemilihan Presiden tahun 2014, TNI sangat netral walaupun ada Capres dari kalangan purnawirawan militer.
Perkuatan Alutsista TNI
Setelah menarik diri dari Parlemen pada tahun 2004, TNI terus berbenah diri. Dimasa awal Pemerintahan Presiden SBY, reformasi di internal TNI dimulai. Dalam rentang tahun 2005 – 2015 TNI lebih fokus kepada peningkatan profesionalisme personil dan modernisasi alat utama sistem persenjataan (alutsista).
Saat ini, kinerja TNI meski tak selalu berjalan mulus, dinilai sudah membaik. Reformasi di TNI telah menghasilkan tentara yang lebih profesional. Kini, berkat reformasi internal, kekuatan TNI mulai disegani kembali oleh negara tetangga dengan ‘Panen” alutsista terbaru yang mulai berdatangan sejak tahun 2004, setelah sekian lama “puasa” belanja alutsita modern.
Tahun 2015, lembaga analisa militer Global Firepower merilis kekuatan militer Indonesia berada di urutan 12 dunia sejak Januari 2015. Sebelumnya, tahun 2011 lalu Indonesia masih berada di peringkat 18 besar dunia. Hal ini tidak terlepas dari keberhasilan program MEF (Minimum Essensial Force) atau pembangunan kekuatan dasar minimum yang dicanangkan Presiden SBY.
Apakah dengan reformasi TNI yang telah berjalan selama 10 tahun ini, TNI tergoda kembali oleh "Kekuasaan Politik"? Saya yakin TNI tetap akan pada "Khittah-nya" sebagai Tentara Rakyat dan tidak akan melakukan kudeta. TNI pasti akan mengawal supremasi sipil.
Dirgahayu TNI ke-70 (05 Oktober 1945-O5 Oktober 2015).
Referensi:
1.id.wikipedia.or.id
Baca juga:
Wow, Indonesia Memiliki Potensi 100 Juta Kader Bela Negara
Kontrak Karya Freeport Tidak Diperpanjang, NKRI Terancam Bubar?
Hari Santri Nasional Akan Mendistorsi Makna Santri
Pilkada: Proses Demokrasi yang Melahirkan Oligarki
Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi Saran dari IMF?
Analisis Marxis Tentang Islam Politik
Radikalisme Islam bukan Produk Impor, tapi "Home Ground"
Detik-detik Menentukan Perubahan Piagam Jakarta
Kelompok Syiah Rencanakan "Revolusi" Tahun 2018?
Jokowi SalahSatu Pemimpin Muslim Terkuat, tapi "Lembek" Soal Konflik di Suriah
Konflik Yaman, Perang Terselubung Arab Saudi-Iran
HTI Tidak Mengakui ISIS Sebagai Negara Islam
Perceraian Kang Jalal, Allah Pecah-Belah Rencana Makar Syiah di Indonesia
Lembaran Putih Petisi 50, Mengingat Kembali Tragedi Tanjung Priok 1984
Dari Tun Abdul Razak ke Najib Razak, Lompatan Besar Mahathir dan Relasi Sosial di Malaysia
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H